Pieter Erberveld, April Hitam di Batavia

Di era VOC berkuasa, ketidakadilan merebak di mana-mana. Sejumlah pemberontak pun muncul dipimpin beberapa nama. Salah satunya adalah Pieter, bangsawan berdarah Jerman asal Batavia.

Tugu peringatan tua itu berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Persis di badan tengah tembok itu,sebuah tulisan kuno berbaris kaku.

“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,”demikian kira-kira terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa itu.

Bersama ratusan nisan dan prasasti lainnya, tugu itu merupakan bagian dari Museum Prasasti, Jakarta Pusat. Aslinya benda tersebut berasal dari Kampung Pecah Kulit (sekarang Jalan Panggeran Jayakarta di Jakarta Utara). Namun sejak dijalankannya proyek relokasi oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1977, tembok berpenampilan angker itu dipindahkan ke sana. Lantas siapa Peter Erberveld yang disebut dalam prasasti itu?

“Saya tidak tahu pasti.Katanya sih dia itu dulu salah satu pemberontak yang paling dibenci kompeni,”ujar Asim (50), salah seorang penjaga di Museum Prasasti.

Keterangan Asim memang benar adanya. Adolf Heukeun dalam Historical Sites of Jakarta menyatakan pemberontakan Peter Erberveld memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada 1708.

Saat itu, pemerintah VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur yang merupakan wakil dari Kerajaan Belanda di Nusantara kala itu— lewat Dewan Hemradeen (Collage van Heemraden) menyita ratusan hektar tanah di Pondok Bambu atas nama kepemilikan Peter Erberverld.Alasannya, tanah itu tak memiliki akte yang disahkan oleh VOC.

Pieter Erberveld adalah seorang Indo.Ayahnya bernama Peter Erberveld senior, seorang pengusaha kulit binatang yang berasal dari kota Elberfeld (kini merupakan bagian kota Wuppertal di negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman).Ibu Pieter sendiri konon berasal dari Siam (Thailand). Namun berbeda dengan Heukeun, Alwi Sahab,sejarawan Betawi, menyebut sang ibu justru berasal dari Jawa.

Bisa jadi karena setengah inlander, Pieter jadi memiliki hubungan baik dengan orang-orang pribumi. Itu dibuktikan saat terjadi penyitaan tanah oleh VOC, rakyat kebanyakan berdiri di belakangnya. Namun kendati didukung masyarakat banyak, VOC tetap bersikeras menyita tanah juragan Jerman itu. Alih-alih membebaskannya, Gubernur Joan van Hoorn malah menambah hukuman dengan mewajibkan Pieter menyerahkan denda 3300 ikat padi kepada VOC.

Sejak peristiwa tersebut, Pieter memendam benci kepada VOC. Terlebih dalam menjalankan bisnisnya selain kerap licik dan kejam, maskapai dagang besar pertama di dunia itu juga bergelimang korupsi. Sebuah prilaku yang disebut oleh Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung,menjadi biang keladi kebangkrutan VOC pada 1799.

Insiden Pondok Bambu menjadikan hubungan antara Pieter dengan VOC berlangsung tegang dan penuh kecurigaan. Namun sebaliknya, di kalangan masyarakat pribumi, kejadian yang menimpa Pieter itu memunculkan sikap simpati yang lebih besar.Sebagai tanda hubungan baik itu berlangsung, Pieter sering berkunjung ke rumah-rumah masyarakat pribumi dan tak jarang mengadakan pertemuan di rumahnya yang terletak di kawasan yang sekarang bernama Kampung Pecah Kulit.

Pertemuan demi pertemuan memunculkan rasa senasib dan sepenanggungan. Dari ikatan emosional itu entah dari mana datangnya lantas muncul hasrat untuk melakukan pemberontakan. Bersama seorang ningrat asal Banten, Raden Ateng Kartadriya dan 25 pengikutnya,Pieter merencanakan aksi pembangkangan. Hari H-nya: 31 Desember 1721,bertepatan dengan pesta malam tahun baru 1722.

Selain berharap pada bantuan Kesultanan Banten yang sudah dikontak sebelumnya, pemberontakan itu juga rencananya akan melibatkan banyak bantuan dari berbagai pihak “Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17.000 prajurit yang telah siap memasuki kota,” ujar Raden Kartadriya seperti ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir.

Namun mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.Pemufakatan subversiv itu malah bocor sebelum waktunya kepada intelejen VOC. Lewat mulut seorang budak Pieter yang “bernyanyi”, Reykert Heere (Komisaris VOC untuk urusan bumiputera) bertindak cepat dengan menangkap 23 pelaku rencana pemberontakan tersebut termasuk Pieter dan Raden Kartadriya.

Sekitar 4 bulan pasca penangkapan, Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara) memutuskan hukuman mati untuk Pieter dan para pengikutnya. Namun hukuman mati itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa dan sangat kejam. Di sebuah lapangan sebelah selatan dekat Balai Kota, mereka menjalani hukuman sebagai pemberontak dengan punggung diikat pada sebuah salib, tangan kanan dibacok hingga putus, lengan dijepit, daging kaki dan dada dicungkil keluar.

Seolah ingin lebih puas, jantung mereka dikeluarkan dan dilemparkan ke wajah para terhukum. Kepala dipancung dan tubuh mereka diikat oleh 4 ekor kuda yang berada pada 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh dan kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan pada sebuah tonggak di sebuah tempat di luar kota. Maksudnya agar menjadi makanan burung-burung sekaligus pembangkit efek jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC.

“Kelak bekas tempat eksekusi Pieter dan kawan-kawanya disebut sebagai Kampung Pecah Kulit,”ujar Alwi Shahab.

Benarkah Pieter dan kawan-kawan bumiputeranya merencanakan sebuah pemberontakan berdarah? Secara pasti hanya Tuhan dan para pejabat tinggi VOC-lah yang tahu. Namun 200 tahun setelah eksekusi barbar itu, seorang sejarawan Belanda bernama Prof.Dr.E.C.Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebut Insiden Pieter Erberveld sebagai peristiwa berdarah yang sarat konspirasi politik.

Selain faktor ketamakan ekonomi VOC, Prof.Godee menyatakan Insiden Pieter Erberveld terjadi karena adanya intrik dan nafsu politik di kalangan para pejabat maskapai dagang tersebut. Ia percaya bahwa isu rencana pemberontakan hanya bualan semata.Baginya tidaklah mungkin seorang Pieter yang terpelajar dan pintar berlaku sembrono dengan merencanakan kudeta tanpa persiapan dan serba mendadak.

“Itu mungkin sekali, karena berbagai keadaan pada masa itu, orang tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sengala rencana komplotan itu diperoleh dari hasil siksaan-siksaan,” ujar Prof.Godee dalam tulisan yang termuat dalam buku sejarah Geschiedenis van Nederlands Indie, jilid empat, himpunan Dr. F. W. Stapel itu.

Menurut Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937) itu, sekitar 3 minggu pasca komplotan Pieter diciduk, pemeriksaan intens dijalankan oleh Dewan Pejabat Tinggi Negara terhadap 23 orang. Termasuk Erberveld, Kartadriya dan Layeek, seorang lelaki asal Sumbawa yang merupakan terdakwa utama. Dalam pemeriksaan tersebut, ketiganya ngotot menyatakan diri tak merencanakan apapun.

Landdrost (semacam jaksa) lantas mengambil jalan pintas untuk memunculkan pengakuan. Caranya Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya dengan perkara sihir, kekuatan seorang terdakwa untuk membisu terletak pada rambutnya. Semua usaha itu sia-sia sebab Kartadriya tetap bungkam.

Lalu giliran Layeek. Begitu disiksa, orang Sumbawa itu lansung mengaku karena daya tahan fisik dan mentalnya tak setangguh Kartadriya. Menurut hasil “nyanyiannya” Pieter Erberveld memang telah membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil, Pieter akan menjadi raja atau gubernur dan para pendukungnya akan mendapat ganjaran menurut partisipasi masing-masing dalam pemberontakan itu.

Begitu pengakuan didapat, jaksa memerintahkan penyiksaan lebih sadis kepada Kartadriya dan Pieter. Usaha mereka tidak sia-sia, Pieter dan Kartadriya akhirnya mengaku salah karena tak tahan menghadapi siksaan yang makin kejam. Pieter mengiyakan bahwa dirinya dihasut oleh Kartadriya.

Tidak hanya itu, Pieter pun mengungkapkan dokumen rencana komplotan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan di lemari tua di rumahnya. Ia juga menyatakan telah mengadakan hubungan surat menyurat dengan putera Untung Suropati,pemberontak Bali di Kartasura. Dalam nada mengingau karena secara fisik dan mental sudah hancur lebur, Pieter menyebut sejumlah nama fiktif : 12 pangeran dari Banten serta 13 pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon.

”Namun anehnya, kendati dicari secara teliti, tak sepucuk suratpun ditemukan dalam sebuah kotak di almari tua di rumah Pieter,”tulis Godee.

Prof. Godee Molsbergen juga menyebut beberapa kenyataan yang tidak wajar dalam proses pengadilan itu. Menurutnya, perkara pengkhianatan yang tergolong criman leasae majestatis – kejahatan terhadap yang dipermuliakan- seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, bukan oleh Collage van Heemraden.

”Untuk pelaksanaan hukuman mati pun tidak boleh di sembarang tempat, tetapi harus di tempat yang biasa di pakai oleh raad van Justitie. Dalam kasus Pieter Erberveld para terdakwa tidak diberi pembela. Harta milik para terdakwa tidak hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, tetapi seluruhnya,”ujar sejarawan ahli Hindia Belanda itu.

Konspirasi politik semakin kentara, kala beberapa hari setelah pembantaian Pieter dan kawan-kawannya dilakukan. Reykert Heere, pejabat VOC yang merasa mendapat info pertama tentang “pengkhianatan” Erberveld, minta balas jasa. VOC sigap dengan menaikan pangkat Rykert dari seorang Komisaris menjadi Opperkoopman (pembeli tertingi).Gajinya pun naik jadi 100 gulden sebulan.

Kini hampir 300 tahun, tugu peringatan tua itu masih berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter dengan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat di puncak tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri angker menantang langit. Sebuah bentuk pemakluman atas hitamnya sejarah kemanusian di Batavia pada April 1722. (hendijo)

Sumber : disini