PDRI

Ranah Minang menyimpan sepenggal sejarah yang ditoreh oleh tokoh-tokoh Islam. Nmaun sejarah itu seolah terkubur atau sengaja terkubur agar semangatnya tak diwarisi generasi selanjutnya. Penggalan sejarah itu terjadi pada bulan Desember 1948.

Saat itu Belanda melakukan agresi meliter kedua. Ibukota negara yang berkedudukan di Yogyakarta berhasil mereka rebut. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditawan. Kabinet lumpuh.

Beruntung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih bisa dipertahankan. Pusat pemeruintahan sekaligus penguasa negara langsung diambil alih tokoh-tokoh Muslim dari Sumatera Barat. Mereka membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Presiden dan Wakil Presiden sementara adalah “dwi tunggal” Sjafruddin Prawiranegara dan Sutan Mohammad Rasyid. Mereka berdua dikenal sebagai tokoh pergerakan Islam.

Peran laskar-laskar Islamseperti Hizbullah dan Barisan Sabilillah juga begitu besar dalam mengawal pemerintahan darurat ini. Ini membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang kompak. Pemimpin bangsa bisa tertangkap, presidennya bisa ditawan, tetapi negara ini tetap tegak berdiri.

PDRI diproklamirkan oleh Sjafruddin di Bukittinggi sehari setelah Yogyakarta jatuh dan Soekarno-Hatta ditawan Belanda, yaitu pada tanggal 20 Desember 1948. Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno memang telah “mengirim” mandat kepada Sjafruddin yang saat itu sedang berada di Bukittinggi, untuk membentuk PDRI.

Sebenarnya surat mandat tersebut tidak sempat dikawatkan (dikirim) karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Tetapi, seperti diakui Sjafruddin yang waktu itu menjabat Menteri Kemakmuran, ia berinisiatif mendirikan PDRI bersama-sama tokoh Islam setempat.

Setelah itu PDRI praktis menjadi target utama penjajah untuk dilenyapkan. Namun tak berhasil karena kukuhnya ring yang melingkari PDRI serta hebatnya strategi bertahan yang diterapkan para pejuang Islam. PDRI menjelma menjadi “pemerintahan berjalan” dengan empat titik pusat pemerintahan, yaitu di Bukittinggi, Halaban, Koto Tinggi, dan Bidar Alam.

Segenap pejuang bangsa ikut mendukung upaya Sjafruddin dkk. Bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan dengan bergerilya.

Kampanye PDRI atas perjuangan kemerdekaan Indonesia di Mesir dan India telah menyadarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa Indonesia memang memiliki hak untuk merdeka. PBB kemudian menggelar sidang darurat dan mengeluarkan resolusi yang isinya mengecam dan mendesak penghentian agresi Belanda.

Resolusi DK-PBB juga diperkuat dengan Konferensi Asia di New Delhi (India) satu bulan kemudian yang menuntut pembebasan segera pada pemimpin RI yang ditangkap, pengembalian ibukota Yogyakarta, dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang berdaulat.

Belanda akhirnya mengaku kalah. Resolusi PBB dipenuhi. PDRI kemudian mengembalikan mandat kepada Soekarno. Sayang sampai sekarang, HUT RI ke-61, Sjafruddin dan para pejuang yang menyelamatkan RI tak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah. Jangankan dimasukkan dalam daftar Pahlawan Nasional, ungkapan syukur atas perjuangan Sjafruddin dkk tak pernah terucap dari mulut pemerintah, baik pada masa Soekarno maupun Soeharto.

Detik-Detik Jatuhnya Ibukota

Bulan September hingga Desember 1948, nasib Republik Indonesia (RI) benar-benar di ujung tanduk. Di Madiun, Partai Komunis Indonsia (PKI) pimpinan Muso menusuk dari dalam dengan melancarkan pemberontakan bersenjata. Dari luar, tentara Belanda bersiap-siap melancarkan agresi meliternya yang kedua.

Pada awal tahun 1948, Belanda sebetulnya telah menandatangani Perjanjian Renville yang mengakui kedaulatan RI. Namun, pada penghujung 1948, terlihat gelagat Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Gelagat ini antara lain ditandai dengan berdirinya negara-negara boneka. Mereka mendekati beberapa tokoh yang bersedia diajak bekerjasama. Tujuannya tak lain memecah belah bangsa Indonesia.

Pada 11 Desember 1948, Belanda menyatakan tidak bersedia lagi menjalin hubungan apapun dengan Pemerintah Indonesia. Tiga hari kemudian, tepatnya 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya persatuan negara-negara boneka atau Bijeenkomst voor Federaale Overleg (Musyawarah Negara Federal). Pemerintah Indonesia tak boleh ikut serta dalam perserikatan ini.

Dr. Beel diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia, menggantikan Van Mook yang juga menjabat Wakil Gubernur Jenderal. Betapa berambisinya Belanda untuk menjajah kembali negara yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 ini.

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, Radio Jakarta mengudarakan berita singkat bahwa Beel keesokan harinya akan mengumumkan sesuatu yang penting.

Badai Bom

Ahad pagi, 19 Desember 1948 pukul 05.45, lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, dilanda badai bom dan hujan tembakan oleh lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat Kittyhawk milik Belanda.

Beberapa saat kemudian Beel menyampaikan pidato lewat radio bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville.

Pengumuman Bell ini sekaligus isyarat dimulainya penyerbuan terhadap semua wilayah RI, baik di Jawa maupun Sumatera. Penyerbuan ini kemudian dikenal dengan Agresi Militer II. Target utama penyebuan adalah kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota RI, dan Bukittinggi (Sumatera Barat) yang menjadi pusat pemerintahan RI di wilayah Sumatera.

Operasi militer Belanda bernama Kraai ini dipimpin oleh Jenderal Spoor. Lapangan terbang Maguwo menjadi target pertama penyerangan Belanda. Di lapangan ini hanya ada 150 tentara Indonesia. Mereka dilengkapi sedikit persenjataan ringan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak.

Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung 25 menit. Pukul 07.10 Maguwo pun jatuh ke tangan Belanda yang dipimpin Kapten Eekhout. Dalam kontak senjata tak seimbang ini, 128 tentara Indonesia tewas, sedangkan di pihak Belanda tak seorang pun jatuh korban.

Setelah bandara Maguwo diduduki, mendaratlah pesawat yang membawa 432 tentara khusus dari Koprs Speciale Troopens (KST). Kemudian datang pula 2.600 tentara dari grup tempur serta 1.900 tentara brigade T. Tentara yang dilengkaip senjata canggih ini berada di bawah pimpinan Kolonel DRA van Langen.

Pasukan merangsek ke dalam kota. Kantor pertama yang diduduki Belanda adalah Pos Telegraf dan Telefoon Dienst (PTT) dan Radio Republik Indonesia (RRI). Jalur komunikasi praktis putus.

Tanpa menghadapi perlawanan berarti, pasukan Belanda sampai ke depan Istana tempat Soekarno, Hatta, dan para menteri kabinet sedang melaksanakan rapat darurat.Mereka semua ditangkap. Ibukota pun jatuh.

Mandat yang Tersendat

Sebelum Istana Negara dikuasai Belanda, Jenderal Soedirman sempat meminta Presiden Soekarno untuk ikut meninggalkan Yogyakarta. Apalagi Soekarno pernah berjanji akan memimpin langsung perang gerilya di hutan-hutan Jawa dan Sumatera. Ternyata saran itu ditolak Soekarno. Abu Hanafiah dalam Tales of a Revoution (1972) menyatakan, penolakan Soekarno membuat Soedirman sangat kecewa. Ia tak menyangka Pemimpin Besar Revolusi bersedia menyerah pada penjajah.

Wakil Komando Militer Jawa, Letkol Soekanda Bratamanggala, juga kecewa. Ia bahkan sempat mengancam akan memaksa Soekarno lari dari tahanan, bergerilya bersamanya di hutan. Untung niat Soekanda ini bisa dicegah oleh perwira lainnya.

Tokoh lain yang juga ditangkap Belanda adalah Sutan Syahrir, Agus Salim, Roem, Leimena, Ali Sastramijoyo, dan Mr. Asaat.

Mandat Darurat

Beberapa saat sebelum tertangkap, Soekarno-Hatta telah mengeluarkan dua mandat. Pertama, ditujukan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Isinya, “Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera.” (Yogyakarta, 19 Desember 1948).

Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, Soekarno-Hatta juga membuat surat mandat kepada Duta Besar RI di India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, LN Palar, dan Menteri Keuangan, AA Maramis, yang sedang berada di New Delhi.

Isinya, “Jika ikhtiar Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government of the Republic of Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.” (Yogyakarta, 19 Desember 1948).

Kedua surat tersebut ternyata tak bisa disampaikan. Kantor telepon, telegraf, serta RRI Yogyakarta telah lebih dulu diduduki Belanda. Surat kepada Sjafruddin tak bisa dikirimkan. Sjafruddin tak tahu akan mandat ini. Bagaimana nasib Indonesia selanjutnya?

Bukittinggi Diserang PDRI Melenggang

Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, telah lama menjadi target kedua pasukan Belanda untuk diduduki setelah Yogyakarta. Kota itu menjadi pusat Pemerintahan Republik Indonesia (RI) wilayah Sumatera.

Ahad pagi 19 Desember 1948, Bukittinggi juga diserbu Belanda. Kebetulan saat itu Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI dalam Kabinet Soekarno-Hatta, sedang berada di Bukittinggi. Sjafruddin datang ke Sumatera sejak 10 November 1948 dalam rangka melaksanakan tugas kementerian.

Belanda melakukan serangan membabi buta di Bukittinggi. Namun, Sjafruddin masih berani pergi ke luar rumah. Ia mendatangi Mr. Tengku Mohammad Hasan, Ketua Komisariat Pemerintahan Pusat, di rumahnya di Jl. Ateh Ngarai, Bukittinggi.

Dalam pertemuan itu, Sjafruddin menyampaikan usulan yang sangat menentukan nasib bangsa ini. Saat itu mereka tak tahu bagaimana nasib Soekarno-Hatta di Yogyakarta. Yang ia yakini, Indonesia saat itu sedang diserang, bukan hanya kota Bukittinggi. Kondisi republik sangat gawat.

Sjafruddin kemudian berinisiatif membentuk pemerintahan yang bersifat darurat. Ia tahu, hanya dialah satu-satunya Menteri yang berada di daerah. Anggota kabinet yang lain beserta presiden dan wakilnya sudah ditangkap.
Sjafruddin menyatakan kepada TM Hasan bahwa ia bersedia memimpin pemerintahan darurat tersebut. Ia meminta kesediaan TM Hasan untuk menjadi wakilnya. TM Hasan setuju.

Ketika ditanya apakah pemimpin PDRI nanti disebut Presiden atau Perdana Menteri? Sjafruddin memberikan jawaban yang tak terduga, “Pimpinan PDRI cukup disebut ‘ketua’. Dan wakilnya dengan sebutan ‘wakil ketua’.” Ini menunjukkan bahwa Sjafruddin sama sekali tak haus kekuasaan.

Belanda kian gencar menggempur Bukittinggi. Berbeda dengan Soekarno yang menolak diajak perang gerilya, ternyata Sjafruddin justru mendukungnya demi menyelamatkan pemerintahan darurat. Pada ahad malam kota Bukittinggi dikosongkan. Aksi ini dikomandoi oleh Residen Sumatera Tengah, Sutan Muhammad Rasyid.

Untuk menghindari sergapan Belanda, pasukan dibagi menjadi beberap rombongan. Pertama, dipimpin langsung oleh Sjafruddin, meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, sebuah kampung kecil sekitar 15 km dari Payakumbuh. Rombongan kedua dipimpin Panglima Sumatera, Kolonel Hidayat, menuju Aceh. Ketiga, rombongan Kepala Polisi Sumatera Barat, Komisaris Sulaiman Efendi, membawa anak buahnya menuju Rao Pasaman. Keempat, rombomgan Wakil Gubernur Sumatera Tengah, Mohammad Nasroen, pergi menuju Lubuk Sikaping. Dan terkahir, rombongan Residen Sumatera Tengah, Mohammad Rasyid, dilengkapi pemancar radio, berangkat menuju Halaban, terus ke Koto Tinggi, sebuah nagari pusat PDRI di pedalaman Kabupaten 50 Kota yang berjarak 30 km dari kota Payakumbuh.

Dalam situasi genting itu, kabar dari pemerintah pusat tak kunjung tiba juga. Sjafruddin semakin yakin bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Karena itulah, setiba di Halaban, Sjafruddin langsung memimpin rapat untuk menyusun Kabinet PDRI.

Di penghujung rapat menjelang berkumandangnya azan Subuh pada 22 Desember 1948, Kabinet Darurat PDRI berhasil dibentuk.

Di Koto Tinggi, stasiun radio dan telegram milik PDRI berhasil mengontak stasiun radio di Pulau Jawa. Kawat balasan pertama dari Jawa dikirim oleh Kepala Staf Umum Angkatan Perang Republik Indonesia, Kolonel Simatupang, pada 19 Januari 1949. Telegram berikutnya berasal dari Wakil Panglima, Kolonel Abdul Haris Nasution. Mereka semua mengaku keberadaan PDRI dan siap bekerja sama.

Setelah berkoordinasi dengan para pemimpin di Jawa, maka pada tanggal 31 Maret 1949, Sjafruddin menyempurnakan susunan kabinetnya. Sementara di Jawa, pada 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI yang dikoordinir oleh Mr. Susanto Tirtoprojo.

Susunan Kabinet PDRI

1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda
3. Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4. dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
5. Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6. Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7. KH. Masjkoer: Menteri Agama
8. Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9. Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10. Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
11. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial

Bidang Militer

1. Jenderal Soedirman: Panglima Besar Angkatan Perang RI
2. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion: Panglima Tentara dan Teritorium Jawa
3. Kolonel R. Hidayat Martaatmadja: Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera
4. Kolonel Nazir: Kepala Staf Angkatan Laut
5. Komodor Udara Hoebertoes Soejono: Kepala Staf Angkatan Udara
6. Komisaris Besar Polisi Oemar Said: Kepala Kepoisian Negara

Gerilya

Beberapa bulan sebelum perundingan Roem-Royen ditandatangani, Sjafruddin Prawiranegara terus menggelorakan perang gerilya dari hutan ke hutan. Pemerintahan dijalankan secara “bergerak” sehingga tentara Belanda sulit menjangkaunya.

Pada 22 Desember 1948, PDRI bergerak ke Halaban menuju Muaro Mahat, terus ke Bangkinang, Riau. Di sini, kedatangan Sjafruddin dan pasukannya tercium oleh Belanda. Mereka menghadiahi para gerilyawan itu dengan bom.
Beruntung Sjafruddin dan pasukannya bisa selamat. Mereka meneruskan perjalanan ke Taratakbuluh dan Lipatkain, berlanjut ke Muaralembu dan Teluk Kuantan.

Belanda mengendusnya di Teluk Kuantan. Pesawat tempur penjajah mencurahkan pelurunya. Sjafruddin dan pasukannya menyelamatkan diri ke Kiliranjao dan Sungai Dareh, terus ke Bidar Alam dan Sumpur Kudus.

Di tengah gerilya di hutan belantara, Sjafruddin menyusun strategi pemerintahan dan mengirimkan kawat kepada seluruh elemen pemerintahan, baik di Sumatera, Jawa, maupun luar negeri. Gerilya ini sungguh tidak mudah. Sebagian perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki. Kadang kala menyusuri sungai Batanghari dengan rakit.

Di Sumpur Kudus, Sjafruddin dan anggota kabinetnya melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) PDRI. Mereka menyusun strategi perjuangan untuk menyikapi hasil perundingan Roem-Roeyn yang dinilai merugikan kepentingan RI.

Usai Mubes, Sjafruddin kembali menggerakkan pemerintahan PDRI menuju Koto Tinggi dan Padang Japang, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Di sini Sjafruddin menemui utusan Soekarno-Hatta yang kemudian disebut “Kelompok Bangka” (karena sedang berada dalam pembuangan di Bangka). Utusan ini terdiri atas Mohammad Natsir, Ahmad Halim, Leimena, dan dua utusan dari PBB.

Pengembalian Mandat

Konferensi digelar di pada 6 Juli 1949 di sebuah rumah milik seorang penduduk di Padang Japang. Pertemuan berlangsung sangat alot. Segala persoalan dan unek-unek PDRI ditumpahkan, termasuk pertanyaan mengapa begitu mudahnya Soekarno-Hatta menyerah.

Pertanyaan lain, mengapa Kelompok Bangka mau berunding dengan Belanda padahal mereka masih berstatus sebagai tahanan. Akibatnya, mereka tak bisa bersikap kritis. Terbukti hasil perundingan Roem-Royen sangat merugikan RI.

Meski demikian, Sjafruddin akhirnya dengan ikhlas menyatakan kesediaan mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta. Esoknya, di lapangan Koto Kaciak Padang Japang, Sjafruddin, didampingi M. Natsir, memimpin rapat umum yang dihadiri ribuan pejuang republik. Banyak yang meneteskan air mata ketika Sjafruddin menyampaikan kesediaan mengembalikan mandat kepada Soekarno.

Pada 13 Juli 1949, secara resmi berakhirlah PDRI. Upacara pengembalian mandat dilaksanakan secara sederhana di hadapan para menteri dan pejabat tinggi negara yang baru kembali dari Yogyakarta. Sjafruddin didampingi Jenderal Soedirman memimpin langsung jalannya upacara tersebut. (Sumber : www.forumbebas.com)