Pergolakan PRRI di Sumatera Barat

Kisah Tentara Banteng Raiders  Menyerang Kantor Dewan Banteng Masa Pergolakan PRRI

Penulis menyaksikan Tentara Banteng Raiders  sebagai bagian  dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mengambil alih  kantor Dewan Banteng dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan almarhum Letkol TNI Ahmad Yani (terakhir Pangad berpangkat Jendral yang meninggal sebagai korban G30 S PKI)) dari rumah penulis yang lokasinya persis didepan kantor tersebut. Suatu pengalaman yang tidak pernah dapat dilupakan seumur hidup.

Kisah ini ditulis saat kunjungan terakhir  Bulan Agustus 2010 saat upacara penguburan almarhum Ibu tercinta di Padang Panjang, setelah acara tersebut  nostalgia melihat bekas rumah  yang sudah dijual saat pindah ke Jakarta  dan oleh pemiliknya  didirikan Hotel Ambacang, yang hancur saat gempa besar tahun 2009 , sedih rasanya melihat rumah dimana kami sekeluarga tinggal dan dibesarkan sejak tahun 1950 hanya tinggal puing-puing di televisi  dan saat itu berupa tanah yang sedang diratakan.

Sedangkan kantor Dewan Banteng PRRI yang sesudah dibebaskan APRI dijadikan kantor POM TNI KODAM Tujuh Belas  Agustus (saat ini KOREM SUMBAR) masih berdiri megah.

Kisah ini adalah cuplikan sebagian  dari buku elektronik kreasi penulis yang belum dipublikasikan. Beberapa kisah menarik sebagai berikut:

1. Kisah Ultimatum 10 Februari  dan Porklamasi PRRI 15 Februari 1958

2. Kisah Kapal Perang APRI Membombardir Kota Padang 14 Juli 1958

Kapal Perang APRI dalam Operasi Militer 17 Agustus, membombardir kota Padang dengan Mortir dari Kapal Perang APRI sudah hampir sepuluh hari show of force di lautan Hindia didepan Pantai Kota padang, penulis melihat ratusan kapal besar kecil tersebut.

Pada tanggal 15 Juli 1958, sekitar  jam 02:00 wib  dini hari anggota militer kantor Dewan Banteng di depan rumah penulis di jalan Bundo Kandung no 16 (saat itu Jalan Gereja) mengedor pintu membangunkan almarhum ayah untuk mengajak mengungsi ke Ladang Padi dan Sukarami Solok yang dijadikan Markas baru, tetapi ayah tidak mau ikut , mereka mengatakan tentara Pusat maksudnya APRI akan menyerang dan menembak Kota Padang dengan Mortir. Pagi harinya ayah berangkat ke Sukarami dengan Paman untuk menjemput Uang untuk membayar alat-alat tulis milik Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya yang diambil oleh Tentara Dewan Banteng.

Saat ayah berangkat menuju Sukarami, jam 08:00 wib pagi tanggal 16 Juli 1958, terdengar tembakan Mortir yang bunyinya BOOM BOOM ….Sing..Sing…. ,bila bunyi mendesing berarti peluru mortir sudah lewat dan selamat. Kemudian siang hari suasana tenang, mulailah kami, saya dan kakak naik sepeda melihat rumah yang jadi korban, kantor Tentara bagian Zeni di pinggir Pantai Padang hancur, Rumah di Simpang Enam hancur, ini tembakan salah arah sebenarnya untuk Kantor KOMDAK (saat ini POLDA) PRRI di jalan Nipah, satu lagi peluru mortir jatuh di belakang Bioskop Karya tapi tidak meledak, salah arah sebenarnya ditujukan ke Kantor Dewan Banteng didepan rumah ,syukur rumah kami selamat.

Sore harinya syukur ayah selamat pulang kerumah dan berhasil memperoleh pembayaran atas alat tulis miliknya, saya salut pada tentara Dewan Banteng atas kejujuran mereka karena biasa saat genting seperti itu umumnya maen ambil semaunya dengan gratis.

Ayah membawa makanan lezat dari Sukaramai namanya Dendeng Batokok (diketok), masih say ingat saat makan malam dengan teman kakak ,tembakan mortir kembali mualai lagi, pembantu rumah tangga Kami namanya EKA ,saat bunyi BOOM BOOM segera sembunyikan kepalanya dibawah tungku Masak dari beton tetapi rokenya (bahsa slank minag buat bokong) masih kelihatan. Segera para wanita Ibu ,kakak dan adik sembunyi diruang perlindungan yang sudah diperdsiapkan satu minggu yang lalu dibuat dalam tumpukan karung berisi pasir mengeliling temapt tidur, tetapi karena seranggan bom mortir tambah genjar,serta lubang perlindingan sangat pengap, Para wanita dari keluarga kami malam tersebut saya dan akak lelaki mengantarkan mereka berlindung dirumah Paman di kompleks  kampung Pondok Namanya (sekarang jalan Niaga), hal ini dipurtuskan ayah berdasarkan pengalaman saat serangan pendudukan jepang tahnun 1942 yang lalu, Warga  di kampung Pondok juga telah mempersiapkan diri dengan perlindungan Polisi Rakyat (saat ini Satpam).

3. Kisah Penyerangan Kantor Dewan Banteng PRRI dikota Padang oleh Tentara Banteng Raiders.17 April 1958

Sejak pagi hari beberapa pesawat terbang melayang-layang diudara, penduduk kota Padang sangat gembira, karena ada pengumuman diradio bahwa ada bantuan pesawat terbang dari Armada ke tujuh Amerika Serikat yang sudah mangkal di Perbatasa dekat kepulauan RIAU, untuk menyelamatkan ladang minyak Caltex di Rumai Pakan Baru milik mereka, tetapi kemudian ternyata itu pesawat APRI dari operasi Militer untuk melindungi pendaratan Tentara Payung di Lapangan terbang Tabing dan pendaratan Marinir dan Banteng raiders  dengan kapal Amfibi di wilayah dekat lapangan terbang di muara sunggai Batng Kuranji di Air Tawar dekat kompleks UNAND (saat ini UNAS) dan Universitas Bung Hatta.(info dari koleksi buku lama milik penulis). Tentara PRRI lari liwat selokan dan berusaha menembak Kapal Terbang dengna senjata modern hadiah dari luar Negeri seperti Thompson, juga ada Basoka dan juggle riffle serta Mitraliur dsbnya yang penulis tidak kenal namanya ,yang didaratkan liwat kapal selam dua minggu yang lalu dalam kontainer yang tiba di panati Padang,banyak rakyat yang menyaksikan termasuk penulis karena tempat itu dekat kediaman.

Malam hari lampu mati, saya,ayah dan kakak lelaki Edhie serta pembantu Lelaki si Panjang  (sudah menjadi pembantu sejak saat Ayah masih kecil). Suasana sangat sepi tidak ada bunyi apapun, tidak ada satupunmanusia dan kendaraan dijalan depan rumah, gelap mencekam . Kami berempat melihat dari ruangan tamu depan rumah dengan  jendela  kaca ke arah Kantor Dewan Banteng,pembantu si Panjang ketakuatn dan  menepok nyamuk yang  mengigitnya sampai dilarang ayah untuk buat suara dengan berkata bahwa bila ribut akan ditangkap dan dibunuh Tentara Pusat (maksudnya APRI) .

Sekitar jam 11.00 malam, tiba-tiba terdengan bunyi ledakan beberapa buah granat diiringi suara derap sepatu bot tentara, saya melihat tentara dengan wajah yang sudah digelapkan dan memakai penyamaran berlari berliku-liku menuju kantor Dewan Banteng, setalh setenga jam suar ribut tembakan ,kemudian suasana jadi sunyi lagi. Kamipun pergi tidur,pagi-pagi jam enam pagi waktu melihat keluar halaman rumah, sungguh kaget ada lebih kurang limaratus tentara Banteng Raiders tidur bergelimpangan diahalman rumah yang luasnay 3500 meter persegi, tidur pulas dengan senjata dan ranselnya dan yang lainnya madi dengan tela njang terjun kedlam sumur air tanah milik kami sampai airnya hasib terkuras, tetangga kami yang tinggal dipaviliun rumah ,kemudian bercerita bahwa putrinya tertawa cekikikan karena mengintip tentara banteng Raiders mandi telanjang masuk sumur sampai dilarah ayahnya.

Saya salut komandan Banteng raiders dan anak buahnya tidak membangunkan kami, dan dengan ramah meyalami kami semua, mereka berkata kami sudah sepuluh hari tidak mandi,mohon maaf air sumurnya kotor dan hasibis karena anak buahnya sangat gerah,rupanya tentara PRRI tidak memberikan perlawan,mereka sudah lari kemarkasnya yang baru di Sukaramai Solok dan Muarapanas.

Pagi harinya tentara Banteng Raiders dari APRI saya lihat patroli menyisir kota Padang dalam bentuk regu berjalan berbaris satu persatu dengan senjata Karaben dengan sangkur terhunus ,kasihan senjatanya masih kuno sisa perang dunia kedua jauh dibandingkan dengan milit tentara PRRI. Sinag hari rakyat sudah mulai ramai dijalan  dan kemudian diperintahkan agar selama satu bulan smapai 17 Agustus 1958 bendera harus dinaikkan siang hari dan diturunkan malam hari. Sungguh saya terharu melihat perjuang Tentara APRI dalam rangka melindungi Sang Saka Merah Puti,kendatipun PRRI tetap mengunakan bendera yang sama .

Penulis melihat tukang rokok didepan rumah,dekat bekas  kantor Dewan banteng yang sudah dijadikan Markas POM TNI, dimarahi dan dihukum push up dan menghormat bendera Merah Putih karena bender dan tiangnya jatuh dihembus angin,juga malamnya ayah penulis dibawa Ke KODIM Padang untuk menerima teguran dan menanda tangani pernyataa agar tidak lupa menurunkan bendera Merah Putih mmalam hari yang ditaruk di tingkat dua dekat jendela Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya.

Kisah lengkap akan diadd ke web blog penulis, setelah dikoreksi oleh pembaca web tersebut akan diedit dan diterbitkan dalam bentuk buku elektronik edisi terbatas pribadi.Kisah tentang pergolakan PRRI sudah banyak ditulis anatra lain dalam koleksi penulis Buku PRRI dan PERMESTA, Buku Operasi Militer tujuh Belas Agustus Menumpas PRRI, ” Buku Ahmad Yani Sebuah Kenang-kenangan “tulisan Ibu Ahmad Yani  dengan sekelumit kisah profile Ahmad Yani.

Almarmuh Ahmad Yani menempa dan memantapkan Korps Banteng Raiders yang kemudian tahun 1958 dipimpinnya dalam operasi militer untuk memulihkan keamanan Sumatera Barat yang menjadi terganggu karena adanya PRRI. Pak Yani berangkat operasi tanggal 14 April 1958 dengan motto  “Bagi saya hanya ada dua alternatif, pertama : berkubur didasar lautan dan kedua ialah mendarat dikota Padang”.” (hal 170-197), Buku Autobiografi Kolonel Simbolon, Kisah PRRI dlam Majallah Angkatan darat 1958, serta beberapa koleksi arsip-arsip PRRI yang penulis temui saat bertugas di Sumatera Barat 1974-1989, termasuk koleksi pribadi foto rumah penulis dan Kantor Dewan banteng tahun 1958 serta koleski uang PRRI, banyak jenisnya ada dengan stempel walinegeri, beberapa jenis  Tanda tangan dan  salah satunya denagn stempel PRRI tanpa tanda tangan terbitan tahun 1959 saat pemerintah RI menarik seluruh uang dan didevalausi uang lima ratus dan seribu rupiah jadi  lima puluh dan seratus rupiah baru,tetapi pecahan seratus kebawah tidak didevalausikan , terpaksa PRRI yang memiliki banyak uang pecahan besar tersbut membuhuhkan stempel dan tanda tangan , lihat illustrasi dibawah ini.

Bila pembaca ingin membaca kisah yang lengkap tentang Pergolakan PRRI dan Operasi Militer  Tentara Banteng Raiders dibawah Pimpinan Alamarhum Jendral Ahmad Yani, silahkan klik web blog penulis dan ajukan permintaan buku elektronik terbatas tersebut sebagai pesanan sebab jumlahnya terbatas hanya seratus buku, bila PT Gramedia berkenan membeli Hak Cipta buku ini. akan diterima dengan senang hati.

Terima kasih atas kesedian pembaca membaca kisah singkat ini yang masih belum rapi dan masih banyak kekurangannya sehingga saran, tambahan ifo  dan koreksi dari Pembaca sangat penulis dambakan, agar dapat diedit jadi lebih sempurna mungkin maklum saya bukan penulis profesional.

Sekian @hakcipta Dr Iwan Suwandy 2010.

Sumber

Rahasia Nama-Nama Kampung Betawi

Boplo di kawasan Menteng/Cikini yang berasal dari nama NV De Bouwploeg, sebuah perusahaan real estate yang membangun kawasan Menteng tahun 192-1930-an diganti jadi Jl RP Panji Suroso. Nama Kampung Sawah Besar yang hampir seusia kota Jakarta diganti jadi Jl Samanhudi, Jakarta Pusat.

Hampir bersamaan dengan itu hilang pula Kampung Jaga Monyet di kawasan antara Harmoni dan Petojo. Kini jadi Jl Sukardjo Wiryopranoto. Banyak yang tidak kenal siapa tokoh yang dijadikan nama jalan yang menghubungkan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat ini. Padahal Jaga Monyet sudah ada sejak zaman VOC.

Saat Batavia sering diserang gerilyawan Islam Banten dari arah Grogol dan Tangerang, maka Belanda membangun benteng. Karena lebih sering menghadapi monyet-monyet yang berkeliaran, katimbang musuh, maka tempat penjagaan itu dinamai Jaga Monyet. Sekaligus jadi nama kampung di sekitarnya.

Ada lagi nama tempat di Jakarta yang sudah berusia ratusan tahun, yakni Paal Meriam. Terletak di antara perapatan Matraman dan Jatinegara. Asal usul nama tempat ini tahun 1813. Pada waktu itu terjadi pertempuran sengit antara pasukan artileri meriam Inggris dengan pasukan Belanda/Prancis. Pasukan meriam Inggris disiapkan di daerah ini untuk melakukan penyerangan ke kota Batavia. Peristiwa tersebut sangat terkesan bagi masyarakat sehingga disebut Pal Meriam.

Versi lain menyebutkan, ketika ketika gubernur jenderal Daendels membuka jalan Anyer (Banten) – Panarukan (Jatim) sejauh 1000 km, daerah pal mariam ini merupakan rute jalan trans Jawa tersebut. Di lokasi pal meriam di pasang patok jalan yang terbuat dari meriam yang tidak terpakai. Masyarakat yang melihat meriam tersebut sebagai patok jalan menyebut daerah itu Pal Meriam. Sayang nama bersejarah ini diganti dengan Jl KH Ahmad Dachlan. Padahal nama ini sudah banyak diabadikan untuk nama jalan di Jakarta.

Di dekat Pal Meriam, terdapat kampung Solitude, yang juga penduduknya kebanyakan warga Betawi. Solitude berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti ‘kesunyian’. Karena kala itu banyak anggota tentara Inggris yang mati ketika menggempur Batavia. Mayatnya bergeletakan di rawa-rawa. Hingga dinamakan Rawa Bangke. Entah kenapa nama yang punya sejarah kota Jakarta diganti jadi Rawa Bunga.

Kalau kita ke Jakarta Kota, di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan Tambora, terletak Jalan Tiang Bendera. Nama ini berasal dari bendera yang sehari-hari terpancang di depan rumah Kapiten Cina pada pertengahan zabad ke-18. Mulai 1743, tiap tanggal 1 penanggalan Masehi, pada tiang bendera di rumah tersebut dikibarkan bendera. Maksudnya untuk mengingatkan masyarakat Tionghoa untuk membayar pajak kepala, sewa rumah dan berbagai pajak lainnya. Bagi orang Cina di Batavia, tanggal 1 setiap bulan disebut dag der vlaghijsching (hari pengibaran bendera).

Mungkin banyak yang ingin tahu asal nama Kampung Petamburan, yang merupakan tetangga dari pusat pertokoan dan pebelanjaan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pada masa lalu rumah penduduk masih jarang dan banyak tumbuh pohon jati disekitarnya. Suatu ketika di daerah ini meninggal seorang penabuh tambur. Ia kemudian dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga jadilah nama kampung Jatipetamburan.

Pejambon terkenal karena terletak Departemen Luar Negeri. Di sebelahnya, yang merupakan bagian dari Deplu (kini disebut Gedung Pancasila), tempat sidang Volksraad (parlemen Belanda berlangsung) . Di tempat inilah Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 dan dikenal dengan hari kelahiran Pancasila. Sehari setelah kemerdekaan — 18 Agustus 1945 — Soekarno dan Hatta dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Pada waktu bersamaan disahkan UUD 1945.

Kampung Pejambon baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan Weltevreden. Kata ‘pejambon’ berasal dari kata ‘penjaga Ambon’. Penjagaan tersebut berada di sebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya orang Ambon. Pejambon juga tempat tinggal Nyai Dasima ketika dia menjadi nyai (istri piaraan) tuan Willem, seorang pembesar Inggris. Dia kemudian menjadi istri Samiun, tukang sado dari Kwitang, dan dibunuh oleh Bang Puase, jagoan Kwitang, atas perintah Hayati, istri tua Samiun.

Kawasan Pluit di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dikenal dengan perumahan mewahnya, yang hanya dapat dibeli oleh orang-orang yang benar-benar tajir. Banyak pedagang di Glodok yang omzetnya miliaran rupiah per hari memiliki perumahan di Pluit, di samping perumahan mewah lainnya. Menurut peta Topographish Bureau Batavia (1903), sebutan bagi kawasan ini adalah Fluit. Lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda Indonesia (Wojowasito) , fluit berarti suling, bunyi suling dan roti panjang sempit.

Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungbannya dengan sulit, atau pluit, semacam pluit wasit sepakbola atau polisi. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari fluit, lengkapnya fluitschip yang berarti kapal (layar) panjang berlunas ramping.

Sekitar 1660 di pantai sebelah timur muara Kali Angke diletakkan sebuah fluitschip, bernama Het Whitte Paert, yang sudah tidak laik laut. Dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijfhoek di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan-serangan sporadis pasukan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit, yang kemudian jadi Pluit hingga sekarang. (Sumber)

Dikoetip dari toelisannja Alwi Shihab di koran Repoeblika