Darah Pahlawan

Senin, 16 Juni 2014, 17:00 WIB

Letnan Jenderal Jamin Gintings layak dijadikan pahlawan nasional. Keputusannya menyerang sejumlah pos militer Belanda pada agresi militer kedua, mengangkat marwah Republik di mata internasional. Streteginya menyerang Belanda di Tanah Karo, membuat Belanda tidak bisa masuk ke wilayah Aceh.

Juni 1949. Seorang lelaki ber kulit sawo matang dengan pos tur tinggi sekitar 175 cm, me natap jauh dari atas pegu nung an di Tanah Karo. Mengenakan seragam militer berwarna krem, pakaian itu terlihat agak kebesaran dari ukuran tubuhnya yang ramping. Di kerah bajunya, ter semat pangkat mayor tentara. Lelaki serdadu berusia 28 tahun itu adalah Mayor Jamin Ginting Suka.

Ia kemudian lebih senang menying kat namanya dengan ejaan: Jamin Gin tings. Dia adalah Komandan Resimen IV atau dikenal juga dengan sebutan Re simen Rimba Raya (R3) yang merupakan bagian dari Divisi X Tentara Republik Indonesia (TRI). Setahun sebelumnya, ia adalah seorang perwira menengah dengan pangkat letnan kolonel.

Namun pada 1 Oktober 1948, Presi den Sukarno membuat keputusan reor ganisasi dan rasionalisasi TRI. Seluruh perwira diturunkan pangkatnya satu tingkat. Maka, Letkol Jamin Gintings pun menjadi Mayor Jamin Gintings. “Saya tidak peduli dengan pangkat dan jabatan. Yang paling penting, saya harus mengusir penjajah dari Bumi Indo nesia,” ungkap Jamin saat menghadapi pe nurunan pangkatnya.

Pak Kores, julukan nama yang diberikan anak buahnya, memang dike nal sebagai komandan lapangan. Kata kores, merupakan akronim dari koman dan resimen. (Pada era saat ini disebut Danmen). Sebagai komandan resimen, Jamin Gintings terkejut ketika menda patkan kabar pada 19 Desember 1948.

Pasukan militer Belanda telah me nyerang dan menduduki ibukota Re publik di Yogyakarta. Bukan itu saja, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama sejumlah petinggi Republik telah ditawan tentara Belanda.

“Para prajurit, bintara dan perwira tentara Republik. Melalui siaran radio dari Yogyakarta, ternyata Belanda telah mengingkari janjinya dengan mendu duki Yogyakarta. Presiden dan Wapres kita, telah ditawan Belanda,” kata Jamin dalam pidatonya di halaman Markas Resimen IV di Macan Kumbang, pada 25 Desember 1948.

“Kita juga dapat kabar bahwa Sektor III di Dairi di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting sudah diserang Belanda. Saya belum dapat perintah dari atasan langsung di Divisi X. Tetapi demi keselamatan Negara Republik Indonesia, saya bertanggung jawab untuk mulai menyerang Belanda,” ujar Jamin dengan bersemangat.

Selaku Komandan Resimen IV, ia memerintahkan untuk menyerang dae rah-daerah yang diduduki Belanda, se belum Belanda menyerang lebih da hulu. “Pertama, kita duduki Marding ding dan Lau Baleng!” teriak Jamin dengan nada berapi-api, seperti tertulis dalam buku ‘Bukit Kadir’ oleh Jamin Gintings (1921- 1974), editor Payung Bangun, penerbit Elpres, cetakan kedua, tahun 2009.

Maka, berangkatlah anggota pasuk an Batalyon XIV dari asramanya di Ku ta cane ke Lau Baleng dengan berjalan ka ki melewati Lawe Sigala-gala, Lawe Dua, Lawe Perbunga, dan terus hingga ke Kampung Kalimantan. Pertempuran he bat sudah terjadi pada 27 Desember 1948.

Begitu juga pasukan dari Batalyon XV berangkat menuju Mardingding pa da 28 Desember 1948. Di bukit itulah me reka menyerang pos militer Belanda yang berada di bawahnya.

Namun de ngan bantuan panser dan mortir, pa suk an Belanda menggempur lereng bukit. Tujuh anak buah Jamin Gintings, gugur dalam pertempuran sengit itu. Salah satunya adalah Letnan Kadir Saragih. Bukit itu kemudian dinamakan sebagai Bukit Kadir.

Namun, Belanda juga kehilangan delapan prajuritnya dan dua orang yang berhasil ditawan, yakni Van Werven dan De Ruyter. Dalam buku Hans Post, Bed wongen Banjir, Medan, halaman 180-181, dalam terjemahannya berbunyi: Belanda mengakui Resimen Infanteri 5-10 mendapatkan serangan dari gerom bolan yang mengadakan infiltrasi di sebelah barat laut Kabanjahe. Bahkan sampai jarak 40 meter dari pos militer Belanda. Kampung Juhar, dekat Tiga binanga diduduki kaum ekstrimis.

Setelah pertempuran Mardingding, ia pun mulai mengubah pola gerilya. Jika pada masa agresi militer pertama mene rapkan pola gerakan mundur teratur sambil bertempur, maka pada agresi kedua, pasukannya melancarkan gerakan maju teratur. Ia memompa semangat pasukannya sambil menyanyi kan lagulagu perjuangan asal Tanah Karo.

Sergap konvoi
Sejak Januari 1949, dimulai taktik gerilya. Diawali dengan serangan pada 20 Januari 1949 menyergap iring-iringan konvoi pasukan Belanda di Tigakicat, dekat kampung Berastepu. Kemudian menyergap konvoi Belanda di jalan menuju kampung Kutabuluh Berteng. Satu panser dan truk militer Belanda rusak, enam orang serdadu Belanda tewas, dan beberapa lainnya mengalami luka parah akibat tembakan pasukan Jamin Gintings.

Sampai April 1949. Tercatat, terjadi pertempuran di Lau Solu dan Lau Mulgap yang menewaskan 13 personil militer Belanda. Tidak kurang dari 17 kali serangan terhadap konvoi pasukan Belanda dari Medan menuju Brastagi. “Serangan-serangan pasukan Jamin Gintings berpengaruh terhadap jalannya perundingan Indonesia dan Belanda, sehingga meningkatkan posisi tawar Indonesia,” kata Suprayitno, doktor sejarah dari Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan, Senin (9/6/2014).

Begitulah, sejak Agresi Militer I dan II, pasukan Resimen IV yang dipimpin Jamin Gintings terus-menerus terlibat pertempuran dengan Belanda dari Medan Area, Tanah Karo, Tanah Alas, sampai Lang kat. Pasukannya telah ber operasi ra tusan kilometer jauhnya dari pang kal an pasukan untuk bertempur di Mar ding ding, Lau Baleng, Lau Mulgap, Buluh Pan cur, Tiga Bi nanga, Kineppen, Kinang kong, Sem ba he, Sibolangit, Kutu Buluh, Kuta Buluh Berteng, Barus Jahe, Tanjung Barus, Kuta Tengah, Lau Solu, Lau Ka pur, dan lain-lain.

Bagi Belanda, Jalan Lau Baleng dan Mardingding disebut sebagai ‘doden weg’ yang artinya jalan maut. Mereka menya takan sebagai pertempuran tujuh bulan yang berat.

Maut menjadi tamu di Tanah Karo. Sehingga mempengaruhi psikologi tentara Belanda akibat se rangan dadak an serta ranjau darat yang ditanam pasukan Resimen IV.

Dalam periode perang kemerdekaan itulah pasukan Resimen IV bergerilya di Tanah Alas, Tanah Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, dan Serdang Hulu. Gerakan pasukan Jamin Gintings itu membuk tikan kemampuannya menjaga keutuhan dan eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Serangan militer pasukannya ber hasil menyelamatkan marwah Republik Indonesia di mata dunia internasional. Serangan militer pasukannya, mampu menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Tanah Alas,” ujar Usman Pelly, guru besar antropologo sosial budaya dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (10/6/2014).

Berdasarkan Perjanjian Renville, Januari 1948, Tanah Karo sampai per batasan Tanah Alas (Kutacane) dinyata kan sebagai daerah kekuasaan pasukan Belanda. Sehingga, markas Resimen IV Tanah Karo yang dipimpin Jamin Gintings harus hijrah ke Kutacane.

Akibatnya, daerah Aceh tengah ter bu ka untuk diserang langsung oleh ten tara Belanda. Jamin pun meng ubah strategi politik dan menjadikan Tanah Karo tetap sebagai daerah perta hanan terdepan bagi Aceh. Caranya, dengan menyerang langsung benteng pertahanan Belanda dan menciptakan perang gerilya.

Pasukan Belanda akhirnya berputarputar antara Brastagi-Mardingding-Lau Belang-Kaban Jahe dalam menghadapi serangan strategi gerilya Jamin Gintings dan mengalami kerugian sangat besar.

Sehingga Belanda tidak mampu meng gerakkan pasukannya sampai menjamah Aceh Tengah (Kutacane). “Dengan stra tegi tersebut, Aceh dapat dimanfaatkan sebagai daerah modal Republik Indo nesia,” ujar Usman Pelly.

Akibatnya, selama sekitar delapan bulan, sejak Januari hingga Agustus 1949, Belanda tertahan di Tanah Karo dan terpaksa melupakan serangan ke Ta nah Alas (Kutacane) sampai penyerah an kedaulatan pada 1950.

Strategi dan perjuangan Jamin Gintings, menurut Suprayitno, membuk tikan kepada dunia bahwa pemerintah Republik Indonesia tetap eksis walaupun Yogyakarta dan Pematang Siantar sebagai pusat pemerintahan RI di Jawa dan Sumatra diduduki Belanda. Sekali pun Sukarno dan Hatta pun ditawan Belanda.

Upaya Belanda menghapus RI dan Tentara Republik Indonesia tidak pernah berhasil sampai akhirnya permusuhan Indonesia dan Belanda pun diselesaikan melalui jalur perundingan. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS).

Putra kedua dari Lantak Ginting Su ka itu lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Ia berhasil menye la mat kan Aceh sebagai daerah modal, sekali gus menyelamatkan martabat Re publik Indonesia di dunia internasional. “Di sinilah, antara lain letak kepah la wanan Jamin Gintings secara nasional. Iya layak dinobatkan sebagai pahlawan na sional,” cetus sejarawan Suprayitno.

oleh : Slamet Ginting

Kebesaran Jiwa Ibu Sebagai Pendamping Pejuang PRRI

Oleh: Prof. DR. Ir. Zoer’aini Djamal Irwan

Di lubuk hati ini terselip suatu kebanggan dibalik kepedihan, bahwa orang Minang hampir 45 tahun lebih maju memperjuangkan reformasi untuk mendapatkan keadilan dan pemerataan pembangunan.
PRRI adalah koreksi atas penyelewengan yang sudah menyelinap di tubuh parlemen.
PRRI bukanlah pemberontakan, PRRI bukanlah gerakan separatis.

PRRI sangat banyak memakan korban intelektual dan calon intelekrual Minang.
Bapakku pejuang PRRI hilang di penjara, kalau mati tiada kuburannya kalau hanyut tiada muaranya.
Kebesaran jiwa ibu dapat membawa kami bangkit dari kepedihan dan kesedihan ibu berhasil mendampingi kami selama 44 tahun sebagai single parents mendidik anak-anaknya sehingga semua dapat mandiri, Korban sosial budaya yang tidak terukur nilainya berupa hilangnya satu generasi intelektual Minang, hancurnya Rumah Gadang berukir yang sudah tua, dijadikan asrama tentara……?.

Latar Belakang

Dari dulu saya tidak pernah takut dan malu menyatakan bahwa saya ini adalah anak pejuang PRRI dari ranah Minang.
Pada saat itu pada tahun 80an memang ada orang yang malu atau takut mengakuinya, bahkan ada yang malu mangaku sebagai orang Minang, sampai ada yang menyatakan bahwa dia tidak suka makanan Padang.

Saya sendiri tidak mengerti kenapa demikian, saya heran, mungkin karena pernah terjadi pergolakan PRRI, yang dianggapnya pembrontakan, memang tidak bisa disalahkan karena mereka tidak tahu apa makna perjuangan PRRI sebenarnya.
Sesuai dengan rujukan panitia penyelenggara buku ini, PRRI adalah sebuah pergolakan fundamental yang menghasilkan sebuah kebanggaan, rasa sakit, sekaligus bahkan penghinaan bagi rakyat Minangkabau.

PRRI jika ditelaah lebih jauh, menjadi salah satu tonggak sosial yang menstimulus kemampuan bawaan rakyat Minangkabau untuk memandang dan berinteraksi dengan dunia lain di luar Alam Minangkabau.
Kisah ini membawa trauma panjang, juga kebanggaan diam-diam para generasi muda akan keberanian orang Minangkabau mengkoreksi sesuatu yang salah.

Saya berharap tulisan saya ini, mengkisahkan secuil pengalaman yang tersisa dan deritaan anak seorang camat militer PRRI bisa juga disebut sebagai anak orang kecil, semoga dapat memberikan masukan untuk penulisan buku ini.
Saya mencoba menceritakan apa yang kami rasakan dan hadapi dalam pergolakan PRRI, dan dampaknya terhadap keluarga kami.

Dengan demikian kita dapat menyampaikan pesan PRRI dengan indah dan berseni yang pada akhirnya menginspirasi pembaca, terutama anak muda Minangkabau untuk menjadi generasi yang pandai dapat melihat jauh ke depan yang memiliki keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.
Semoga apa yang saya tulis ini menambahkan jembatan sejarah, dan menanamkan kebanggaan akan ranah Minangkabau, bernilai dan dapat memperjuangkan menyumbang kebenaran dan keadilan.

Pesta Adat

Pada tahun 1957 ada pesta adat di Sawahlunto, dimana kedua orang tuaku ikut aktif, dengan berpakaian adat kebesaran, lengkap dengan payung kuning.

iba

Pesta adat dilaksanakan dalam menyambut kedatangan Bung Hatta ke Sawahlunto pada saat memperingati hari jadi Dewan Banteng.

Pada waktu itu kami sangat senang dan bangga, rasanya banyak kemajuan yang diperolah.
Masyarakat bergembira ria, merasakan perkembangan atau kemajuan pembangunan selama Dewan Banteng ada.
Bapak saya berfoto dengan berpakaian adat, saat penyambutan Bung Hatta yang datang ke Sawahlunto.

Kami berasal dari Talawi ibu kota Kecamatan Talawi, waktu itu masuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.
Bapak saya bernama Djamaluddin gelar Dt. Padoeko Labiah, penghulu suku Caniago di Sijantang Talawi.
Selain tokoh adat di negerinya Bapak saya waktu itu seorang Camat Talawi.
Ibu saya bernama Syamsiri anak Muhammad Dt. Sampanghulu, penghulu suku Patapang di Talawi.

ibu

Ibu saya kemenakan Dt. Indosati adalah penghulu pucuak di Talawi, secara otomatis menjadi Bundo Kanduang.
Pada waktu itu Bapak saya pengurus MTKAAM (Madjelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau, saya tidak tahu jabatannya.
Melihat foto Bapak yang dipayungi dalam upacara adat waktu upacara penyambutan Bung Hatta berkunjung ke Sawahlunto, mungkin saja Bapak saya sebagai ketua MTKAAM Sawahlunto Sijunjung.
Waktu itu Kecamatan Talawi adalah yang paling maju di kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

Sebenarnya saya tidak begitu paham apa yang akan terjadi, apalagi bicara politik.
Masih terngiang-ngiang di telinga saya ada kata-kata Bapak ke ibu.
Beliau berdiskusi dan Bapak mengatakan bahwa sepertinya ada ketidak cocokan antara Bung Hatta dan Bung Karno.
Bapak saya mengatakan kepada ibu bahwa Bung Hatta telah berhenti jadi Wakil Presiden.
Kata Bapak… yah semoga nanti bila ada pemilihan umum, Bung Hatta bisa terpilih menjadi presiden…….??

Ketika itu, ibu saya sebagai isteri seorang pegawai negeri atau isteri Camat, maka beliau disebut juga seorang Bundo Kanduang.
Selain itu beliau ikut pula jadi anggota Aisyiah.
Banyak sekali kesibukannya.
Saya tahu bahwa ibu saya, sering kumpul dengan ibu-ibu di kampungnya.
Saya ingat, ibu saya meminta kepada ibu ibu lainnya, bahwa sebelum memasak nasi, beras yang akan dimasak itu diambil 2 genggam dan ditabung (disimpan terpisah) untuk bantuan.
Bila sudah terkumpul kira-kira sebuntil, ada ibu lainnya yang mengumpulkannya.

Kegiatan ini dilakukan oleh organisasi ibu-ibu yaitu yang disebut seksi G.
Memang organisasi ibu-ibu ini aktif dan sangat efektif, dan ibu saya adalah ketuanya.
Seperti sebelumnya saya sering menemani dan mengantar ibu saya setelah magrib dengan mengggunakan suluah (semacam obor yang terbuat dari daun kelapa tua yang disusun and diikat kuat, dibakar ujungnya sebagai penerang dijalan).

Ibu mengajak ibu-ibu lainnya, bersama saya, dan saya berteriak memanggil ibu-ibu itu.
Maklum kalau di kampuang memang harus berteriak agar terdengar, karena gelap dan juga halamannya luas-luas.
Kemudian ibu-ibu dikumpulkan dan diajak ke surau yang ada di kampung saya, yang disebut surau Gadang.

Surau di kampung saya banyak dan tiap suku ada yang punya.
Surau Gadang ini adalah surau yang menampung santri-santi dari mana saja, ada yang dari daerah lain.
Dengan menggunakan lampu minyak tanah, ibu saya mengajarkan ibu-ibu belajar membaca di surau itu.
Waktu itu di kampung saya belum masuk listrik.

APRI Datang Menyerang

Masih terbayang di benak saya, beberapa waktu setelah pengumuman dibentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, diikuti penyerangan oleh tentara Pusat ke Padang.
Nampaknya tidak mendapat perlawanan yang heroik, bahkan adanya batalyon yang datang menyambut kedatangan tentara Pusat.
Saya tidak mengerti kenapa demikian.

Kemudian tentara Pusat mulai menyerbu daerah-daerah pedalaman.
Akhirnya sampailah di daerah kami di Sawahlunto.
Semua kantor di kota Sawahlunto diduduki oleh tentara Pusat dan para pegawainya mulai mengungsi.
Begitu pula orang-orang dari kantor kabupaten yang mengungsi, mereka berdatangan ke kampung saya, tepatnya ke rumah saya.
Mereka makan dulu setelah itu, lalu berangkat lagi entah kemana.

Ibu dengan ibu-ibu seksi G sibuk memasak dan mendirikan Dapur Umum, untuk memberi makan.
Para pengungsi yang datang dari kota atau dari daerah lainnya, ada yang membawa berbagai macam peralatan kantor.
Bahkan Bupati sekeluarga juga mengungsi kerumah saya, dan mereka menginap di rumah saya.
Hanya sekitar seminggu.

Bupati tidak sanggup pindah atau mengungsi ke tempat lain, karena beliau ini sudah tua, dan juga bukan orang asli dari desa saya, keluarga mereka berasal dari Bukittinggi.
Istrinya minta maaf dan mohon izin untuk kembali ke Sawahlunto.
Setelah berunding, akhirnya mereka kembali ke Sawahlunto dengan membawa bekal yang cukup, terutama beras.

Dalam situsi yang tidak menentu ini, kami sudah tidak bersekolah lagi, sekolah pun semuanya sudah ditutup.
Saya juga tidak kembali sekolah ke SMA Batusangkar.
Situasi yang tidak jelas.
Sebelum pengumuman dibentuknya PRRI, saya bersekolah di SMA Batusangkar.
Ketika pulang berlibur, saya tidak kembali lagi.
Orang-orang banyak yang datang-pergi; Bapak saya sudah pergi mobile dengan urusan pemerintahannya.

Bapak waktu itu diangkat menjadi camat militer PRRI.
Waktu itu rahasia daerahnya ada di tangan Bapak, jadilah Bapak orang yang paling di cari-cari di desa saya oleh tentara Pusat.
Banyak rahasia ada pada beliau, akan tetapi kami tidak mengetahuinya karena beliau tidak pernah menceritakan kepada kami anak-anaknya.
Itu semua merupakan hal-hal yang bersifat dinas dan rahasia.

Semenjak Bapak pergi mobile dengan pemerintahannya, kami tidak tahu lagi di mana beliau berada.
Konon beliau selalu berpindah-pindah bersama stafnya dari satu desa ke desa lainnya.
Beliau jarang sekali pulang kerumah.
Kadang kadang Bapak pulang pada malam hari.
Pada saat Bapak pulang, kami sangat senang berjumpa dengan beliau dan mendengar cerita serta perkembangan perjuangan PRRI.

Pada awalnya kami senang sekali, karena perjuangan PRRI selalu mengalami kemajuan.
Sebagai naluri seorang ibu, setiap Bapak pulang, ibu selalu mengingatkan, karena bupati sekeluarga telah kembali ke kota Sawahlunto yang dikuasai APRI.
Sebaiknya Bapak pulang saja kerumah, dan kembali bekerja seperti biasa sebelum ada PRRI.
Usul ibu itu sangat manusiawi, karena mendengar cerita Bapak yang selalu mobil.
Tempat tinggal beliau tidak jelas, dan juga mengingat Bapak sudah tua dan tidak mempunyai anak laki-laki yang bisa membantu dan mengikuti Bapak.
ibu saya risau sekali, kalau terjadi apa-apa pada Bapak, siapa yang akan membantu.

Pertimbangan ibu juga mengingat anak-anak relative masih kecil-kecil, perempuan semua, belum ada yang mandiri.
Akan tetapi Bapak menolak dan sangat yakin dengan perjuangan PRRI, malah beliau menjawab bila terjadi apa-apa jangan risau.
Allah akan selalu melindungi, kata Bapak.

Selanjutnya kata beliau lagi, bila terjadi apa-apa, kan ada semut yang akan memakan.
Kami, anak-anakpun mendukung sikap Bapak, mengingat kami berada di kampung sendiri.

Bagaimana malunya kita kalau Bapak menyerah, apalagi Bapak seorang kepala suku Caniago, orang yang dipanuti di kampung.
Bapak pulang ke rumah dengan sangat hati-hati, agar tidak terlihat oleh orang-orang yang tidak dipercaya atau mata-mata tentara Pusat.
Mata mata ini biasa disebut sebagai tukang tunjuk.
Tukang tunjuk inilah yang melaporkan kepulangan Bapak ke rumah.

Besoknya pasti kami diteror dan ada saja tentara Pusat yang datang ke rumah menanyakan Bapak dan pada malam hari mereka menembak di sekitar rumah.
Walaupun tembakannya diarahkan ke udara, kami tentu saja sangat takut, karena mereka menembaknya mungkin di depan rumah kami.
Bunyinya sangat keras, rasanya rumah kami turut bergetar.

Setiap Malam Diteror Dengan Tembakan Senapan

Situasi di kampung yang semula terasa meriah dan menggembirakan setelah terbentuknya PRRI tidak berlangsung lama.
Tak lama kemudian terjadi penyerbuan oleh tentara pusat, dan ada pula kabar bahwa dua batalyon tentara menyambut kedatangan tentara pusat.
Perasaan optimis kemudian terganggu, situasi semakin tidak jelas, penuh kekuatiran dan kecurigaan.
Orang-orang sudah merasa tidak aman lagi jalan sendirian, bisa saja ditangkap karena dicurigai.
Kita tidak tahu lagi siapa lawan dan siapa kawan ketika itu.

Ada saja orang kampung yang ditangkap, kemudian diinterogasi, dan dibebaskan kembali setelah beberapa hari kemudian.
Kadang-kadang dengan tiba-tiba bisa saja beberapa orang tentara Pusat datang ke kampung.
Bahkan ada juga yang datang sendirian jalan kaki… berani sekali dia.
Hampir setiap malam ada teror di lingkungan rumah saya.
Kalau pagi dan siang mereka datang ke rumah menanyakan Bapak sambil menggeledah rumah dan lemari.

Aneh juga mencari Bapak, kok lemari yang diperiksa.
Malam hari mereka menembakan senjatanya terus-terusan sehingga kami ketakutan sekali.
Ibu saya sangat tidak tahan dengan teror-teror terutama di malam hari.
Mereka melakukan penembakan ke udara, tapi sangat mencekam, karena bunyi tembakan itu sangat keras.
Kondisi yang demikian itu ternyata diketahui oleh Bapak, karena saya tahu dari kurirnya.

Pergi Mengungsi ke Nagari Lain

Dalam situasi sedemikian, ibu berkirim pesan kepada Bapak melalui kurir.
Atas isyarat dari Bapak, ibu mengambil keputusan, bahwa kami tak mampu menghadapi terror semacam itu.
Oleh sebab itu, maka kami mengungsi ke Padang Gantiang sesuai isyarat dari Bapak.

Suatu hari ibu dan kakak saya mencari pedati dan mengumpulkan barang-barang yang penting-penting saja untuk dibawa.
Agar tidak ketahuan oleh orang orang lainnya, kami diam-diam perginya.
Kalau masyarakat tahu, pastilah semua pada ikut mengungsi.
Ibu saya berpendapat kampung jangan ditinggal.

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul tiga pagi, pedati yang membawa barang barang bawaan kami berangkat duluan.
Kami buat tiga rombongan, seolah-olah ada urusan ke sawah, ke ladang, ke pasar atau ke mana saja.
Memang setiap ada yang melihat kami, orang orang selalu bertanya, mau kemana kalian?
Tapi kami sudah diberi tahu Bapak, kalau ada yang bertanya jangan dijawab pergi mengungsi.
Jawab saja pergi ke manalah.
Ketika itu rombongan kami terdiri 6 (enam) orang yaitu, ibu dan saya kakak beradik, semuanya perempuan, relative masih kecil-kecil.

Sebenarnya saya bersaudara 7 (tujuh) orang, hanya yang paling tua laki-laki, ketika itu sudah menjadi tentara Angkatan laut.
Dia ketika itu sedang bertugas di Belawan, Medan.

Tinggal di kampung enam orang lagi, semuanya perempuan dan seorang adik saya yang masih SR (Sekolah Rakyat) dibawa abang saya.
Tinggalah kami lima orang adik-beradik perempuan semua, dan dengan ibu menjadi berenam.

Akhirnya sampailah kami di nagari Padang Gantiang, yang ternyata masyarakatnya senang sekali menerima kami, dan kami ditempatkan di sebuah rumah gadang.
Selama di pengungsian kami selalu menjaga agar jangan ketahuan oleh orang lain bahwa kami adalah anak Camat militer Talawi.
Di pengungsian kami merasa lebih aman karena nagari Padang Gantiang tidak termasuk Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung.
Orang-orang kampung juga membantu kami.
Bila ada situasi yang mencurigakan, mereka segera memberi tahu kami.
Hampir setiap hari kami naik ke bukit, yang sebenarnya untuk menyembunyikan diri, seolah-olah sedang mencari kayu api.
Dengan demikian terkumpul banyak sekali kayu api di rumah gadang tempat kami mengungsi.

Suasana Kehidupan di Pengungsian

Di tempat pengungsian sekali-sekali Bapak datang, dan beliau membawa cerita baru.
Adakalanya Bapak datang dan berunding dengan para tokoh PRRI (militer, sipil, adat dan agama).
Kadang kadang sempat menginap semalam, dalam situasi seperti itu, orang rundo atau hansip di sekitar rumah jaga-jaga.
Bila ada orang yang dicurigai, Bapak segera lari ke seberang sungai di belakang rumah.

Kalau tentara Pusat datang, kami tidak boleh menampakkan diri, kecuali saya.
Kenapa demikian ?
Katanya, saya adalah orang yang paling hitam kulitnya dalam keluarga dan tidak langsung mencirikan Bapak.
Kakak dan adik-adik biasanya naik ke loteng rumah gadang.

Di pengungsian sering sekali terjadi bakutembak, dan saya sering melihat para tentara pelajar, anak-anak kita yang masih muda muda dengan semangat tinggi, memakai baju seragam hijau-hijau.
Mereka semua memanggul senjata, ada juga senjatanya besar dan baru.
Para tentara pelajar itu sebenarnya calon intelektual Minang, tidak sedikit mereka yang tewas.
Kadang terjadi, hari ini saya melihat wajahnya, dan besoknya sudah ada kabar bahwa mereka sudah tertembak, sungguh menyedihkan kalau di ingat-ingat.

Di pengungsian kami sebenarnya kurang nyaman, dan merasa tidak enak dengan penduduk setempat.
Karena selama kami di pengungsian, sepertinya daerah itu menjadi agak terganggu.

Tentara Pusat mulai sering datang ke tempat pengungsian kami karena mereka sepertinya sudah tahu kalau kami mengungsi ke sana.
Suasana ini sudah tidak nyaman lagi, dan kami sudah dua bulan mengungi di sana.
Orang tua saya memutuskan bahwa kami akan mengungsi ke tempat lain.

Ada juga yang surprise, di pengungsian kami ketemu dengan keluarga yang sudah agak jauh.
Konon setelah ditelusuri mereka adalah belahan bako dari Mak Etek sepupu saya yang bernama Jusbar.
Salah seorang anaknya ternyata sudah menikah dengan Mak Etek selama bergolak itu.

Isterinya yang pertama tidak mau diajak mengungsi, saya tidak sempat berjumpa dengan Mak etek itu.
Dia itu terkenal dengan pasukannya, yang gagah berani dan disegani di tempat lain.
Memang Mak Etek saya komandan Batalyon dari tentara Dewan Banteng yang mobil gerakannya ke daerah lain seperti Kiliran Jao.
Sebelum pergolakan Mak Etek itu bertugas di Bukittinggi.

Orang Minang memang malu kalau tidak pandai, maka dalam situasi perangpun masyarakat sempat membuka sekolah-sekolah darurat yang biasanya dsebut sebagai Sekolah Penampungan.

Karena saya telah menjadi murid SMA sebelum PRRI meletus, maka saya pun sempat ikut sekolah di SMA darurat itu, walaupun jurusannya beda.
Situasi ini berjalan tidak lama.
Hanya sekitar dua bulan.

Bapak Tertangkap

Beberapa waktu kemudian, di suatu hari kebetulan malam-malam Bapak pulang, dan malam itu seperti biasanya beliau berunding dengan tiga tokoh, ada komandan tentara.
Saya masih ingat yaitu Kol Zein Yatim, Drs Mawardi Yunus (Kepala Jawatan Agama), paman Burhan Jusuf.

Setelah berunding malam itu, mereka langsung berpisah.
Rupanya kepulangan Bapak telah tercium oleh tentara pusat.
Pagi-pagi sekali Bapak dikasih tahu bahwa tentara pusat sudah masuk ke Padang Gantiang.
Bapak segera lari ke seberang sungai di belakang rumah.
Dalam kondisi seperti itu, seperti biasanya saudara-saudara saya segera bersembunyi di loteng.
Apa daya, malang tidak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, rupanya tentara pusat sudah menunggu Bapak diseberang sungai.

Bapak segera tertangkap dan digiring lalu dibawa ke jalan besar.
Kakak saya yang biasa mengintip gerak–gerik tentara pusat dari loteng melihat Bapak sedang digiring, maka kontan teriak-teriak, histeris… Bapak… Bapak….
Bapak tertangkap.

Bukan main kagetnya kami, rencana ditangan kita, keputusan Allah yang menentukan.
Senanglah tentara pusat waktu itu.
Saya sangat bersedih, apalagi ibu hanya terduduk lemah melihat kami berteriak-menangis agar Bapak dibebaskan.
Itulah suasana yang sangat mengharukan.
Saya ingat waktu itu tanggal 2 September 1959.
Berarti kami di pengungsian ada sekitar 2,5 bulan, padahal kami telah berencana mengungsi ketempat lain.

Proklamasi pembentukan PRRI terjadi pada tanggal 15 Februari 1958, dan ketika Bapak tertangkap nampaknya sudah banyak daerah PRRI yang dikuasai tentara pusat.

Bapak dibawa ke Sawahlunto dan dimasukkan ke dalam penjara.
Kami dalam waktu-waktu tertentu bisa melihat Bapak di penjara.
Selama di penjara Sawahlunto kami berusaha agar Bapak bisa dibebaskan.

Konon banyak juga di pihak orang Minang yang berkhianat, dan umumnya mereka dari golongan anggota PKI.
Ada di pihak keluarga bako saya, keluarga Bapak saya yang ingin menjadi Penghulu artinya ingin merebut gelar Bapak.
Secara adat, mereka itu masih jauh, belum berhak, tapi dia kepingin.

Ini juga provokator bagi Bapak saya.
Saudaranya itu berada di pihak organisasi Pemuda Rakyat, yang merupakan onderbow dari PKI.
Dia ingin agar Bapak dihukum terus, karena dia berfikir bahwa dengan demikian dia bisa merebut gelar tersebut.

Tepat 24 Desember 1959, pada hari ulang tahun saya yang ke-17, Bapak dibawa ke penjara Padang.
Kami tidak boleh datang menjenguk ke penjara Padang, bahkan sanak famili juga melarang.

Ini terjadi karena kami semua perempuan, takut kalau terjadi apa-apa.
Perjalanan dari kampung saya ke Padang yang jaraknya sekitar 130 km cukup rawan ketika itu.

Tentara bertebaran, ada dimana-mana dan tidak jelas mana tentara lawan dan mana tentara kawan.
Selama 3 bulan ibu masih sempat memonitor keadaan Bapak di penjara Padang.
Kadang kadang berkomunikasi lewat surat dan ibu mengirim makanan seperti Rendang, Samba Lado Tanak.

Suatu ketika Samba Lado Tanak yang dikirim ibu kembali, dan tidak ada khabar apa-apa.
Kakak saya yang jadi anggota Angkatan Laut mencari Bapak ke penjara di Padang.
Tidak ketemu Bapak, dokumen dan arsippun tidak ada.
Wallahu’alam.

Suatu kepedihan yang tiada taranya dan kami tidak dapat berbuat apa-apa.
Konon Bapak saya hilang bertiga, sejak awal ketangkap memang bertiga bersama pengawal pribadi Bapak, dan Bapak Mawardi Yunus, kepala Jawatan agama Sawahlunto.

Akhirnya kami tahu juga bahwa para tokoh yang berunding malam-malam dengan Bapak sebelum tertangkap, ternyata nasibnya serupa tapi tak sama.
Bapak saya hilang tiada tahu rimbanya, hanyut tiada tahu muaranya.
Kol Zain Jatim konon tertembak oleh tentara pusat.
Paman Burhan Jusuf menyerah ke tentara pusat.

Kelak setelah PRRI turun dari rimba dan kampung telah aman, paman Burhan Jusuf sempat menjadi sekretaris Gubernur.
Akan tetapi sewaktu gagalnya kudeta Gerakan 30 September/PKI beliau ditangkap dan masuk penjara, tanpa diadili, kemudian sempat dibebaskan dan akhirnya meninggal karena sakit.

Bantuan Dari Jawatan Sosial

Setelah Bapak ketangkap, kami semua kembali ke Talawi, ke runah kami.
Selama itu juga masih sering tentara Pusat datang ke rumah kami, mereka ingin mangambil semua barang kantor yang masih ada di rumah.
Pernah suatu ketika rumah saya didatangi tentara pusat dan menanyakan segala sesuatu kepada ibu dan ibu menjawab dengan ramah dan penuh wibawa.

Ada juga saya lihat, ibu mengembalikan beberapa alat tulis seperti mesin tik.
Menurut ibu barang-barang itu adalah milik negera maka harus dikembalikan.

Suatu ketika saya kesal melihat kelakuan tentara-tentara itu, mereka terlalu sering mendatangi rumah saya, lalu saya marah dan menggentak mereka.
ibu saya jadi khawatir, karena tentara itu marah dan mengancam saya.
ibu mengatakan kepada mereka dengan lembut dan sopan walaupun getir.
…..Maafkan pak, dia kan anak-anak, dia tidak mengerti dan takut.
Mereka jawab …..Kalau takut bukan seperti itu, diam sajalah !

Ibu dan adik saya tinggal di Talawi dan adik saya bersekolah di Talawi.
Saya melanjutkan pendidikan SMA di kota Sawahlunto.
Saya bersekolah di SMA di sana pada tahun 1959-1960.
Waktu itu berkat bantuan Pak Onga (suami adik Bapak), saya mendapat bantuan dari Jawatan Sosial Rp. 120.000,- per bulan.
Tiap bulan saya mengambil ke kantor Jawatan Sosial, lumayan untuk biaya sekolah.

Tapi tidak lama karena Mak Etek saya (adik ibu) yang bernama Lukmanulhakim, kebetulan juga anggota Angkatan laut yang tinggal di Jakarta, pulang ke kampung memohon kepada ibu, agar diizinkan untuk membawa saya ke Jakarta.

Tahun 1960, saya berangkat ke Jakarta bersama Mak Etek.
Karena Mak Etek itu memakai baju tentara, maka saya diisukan di kampung bahwa saya dibawa oleh tentara Pusat !

Diskriminasi Untuk Anak eks PRRI di SMA Budi Utomo Jakarta

Saya dimasukkan ke SMAN I Budi Utomo Jakarta.
Ternyata cukup banyak juga anak-anak ex-PRRI yang bersekolah disitu.

Karena kami sudah berantakan, namanya saja kami anak-anak yang datang dari daerah bergolak.

SMA I Budi Utomo ketika itu adalah sekolah yang terpopuler dan terbaik di Jakarta.
Untuk bisa mengikuti pelajaran saya terpaksa mengambil kursus ekstra.
Di SMA Budi Utomo saya mendapat kesempatan belajar seperti siswa lainnya, dan kamipun dapat meminjam buku di perpustakaan sekolah.

Kira-kira 2 bulan sebelum ujian, semua siswa disuruh mengembalikan buku yang dipinjam.
Kamipun dengan patuh mengembalikan buku-buku itu hanya siswa terheran-heran, kita mau ujian kok disuruh mengembalikan buku.
Ternyata pengembalian buku itu adalah adalah satu tahapan, untuk mengeluarkan kami siswa eks PRRI oleh kepala sekolah.
Tidak lama setelah urusan buku selesai, kami siswa eks PRRI dipanggil dan diberi surat, agar kami semua siswa eks PRRI disuruh pindah ke sekolah lain.

Konon sang kepala sekolah takut nanti, kami-kami siswa eks PRRI tidak akan lulus dan dapat menjatuhkan prosentasi kelulusan sekolahnya.
Ini adalah suatu hal yang sangat menyakitkan.
Mereka hanya mempertahankan nama sekolahnya.
Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba tante saya Rostinah mengirimkan tiket garuda pulang pergi untuk saya, saya disuruh datang ke Tanjung Pinang.

Sampai di Tanjung Pinang, setelah berunding dengan abang saya yang tadinya di Medan, kebetulan juga sedang beada di Tanjung Pinang.
Diputuskan kalau saya sekolah saja dan menamatkannya SMA di Tanjung Pinang.

Berarti saya harus mengulang di kelas III B, dan selama 1 tahun saya di Tanjung Pinang, mengikuti ujian dan lulus pada tahun 1961.
Dari kejadiaan semacam ini jelas sekali bahwa sekolahpun takut sama anak-anak PRRI.
Namun apakah mereka sadar bahwa reformasi yang kita gulirkan pada tahun 1998 itu adalah perjuangan PRRI, 40 tahun yang lalu ? Artinya dibalik kesedihan kami, terselip suatu kebanggan menjadi orang Minang yang tahu dengan heriang jo gendiang, alun takilek alah takalam, merasa malu kalau tidak pandai dan pandai memprediksi jauh ke depan.
Inilah barangkali berkat filosofi urang Minang Alam takambang manjadi guru, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (AlQuran).

Selama di kota Tanjung Pinang saya tinggal dengan tante saya, uang sekolah dibayari oleh abang saya.
Saya masuk SMA Negeri jurusan B.
Kebetulan saya hanya satu-satunya perempuan dalam kelas saya.
Dengan modal nekat serta uang pemberian Abang, saya cari tiket kapal laut untuk berangkat ke Jakarta.
Dalam pelayaran di atas kapal laut, saya dititipkan kepada teman pak Etek Azwaer Rauf (suami Etek saya Rostinah).

Dengan berbagai usaha akhirnya saya berhasil masuk Pertguruan Tinggi Fakultas Pertanian UI, yang sekarang berubah menjadi IPB.
Enam bulan pertama saya dibantu oleh tante saya untuk bayar indekos.
Untung setelah itu saya dapat asrama Yayasan, dan biaya lumayan agak ringan, Selama setahun saya dibantu oleh mak Etek saya.
Setelah itu saya diberi biaya ikatan Dinas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tak lama kemudiaan saya masuk asrama putri IPB.

Abang saya membantu menguruskan pensiun untuk ibu karena Bapak memang seorang anggota pegawai negeri.
Beberapa tahun kemudian ibu mendapat uang pensiun, dan ibu saya minta kerelaan kepada saudara saya, mengikhlaskan uang pensiun semuanya dikirimkan untuk saya.
Itu tentang saya, tentang kakak dan tentang adik-adik saya, disekolahkan oleh ibu, kebetulan kakak saya yang perempuan tertua sudah menjadi guru.

Kakak saya perempuan yang kedua dapat masuk SGA di Bukittinggi.
ibu saya relatif masih muda saat ditinggal oleh Bapak, tanpa ada harta atau simpanan untuk menyekolahkan anak-anak.
ibu yang berumur 45 tahun, yang menjadi janda, mencari uang untuk biaya hidup dan sekolah saudara-saudara saya dengan membuat dan menjual kue-kue.

Membuat Kacang Tojin yang ditumpangkan di kedai-kedai serta menjadi perias penganten, yah apa sajalah yang dapat menghasilkan uang.
Memang tidak mudah, kadangkala ibu mengantarkan kue-kue itu ke kedai yang lumayan jauh dengan berjalan kaki atau naik sepeda.
Kakak saya perempuan yang paling tua bernama Zoerni, untung masih mau tinggal dan menjadi guru di kampung, sehingga bisa mendampingi ibu dalam mangarungi hidup.

Jasa kakak Zoerni ini cukup besar dan saya bersaudara sangat berterima kasih kepada beliau.
Disamping itu juga sekali-sekali biaya hidup dibantu oleh abang saya yang bernama Imran.

Itulah suatu perjuangan ibu saya, tidak mudah dan tidak lancar, tetapi dapat dilewati.
Perjuangan yang memerlukan keteguhan hati.
Semua itu dijalani dengan lapang dada.
ibu berprinsip, yang penting semua anak-anaknya sekolah dan kebetulan menjadi pegawai negeri.

Karena ibu saya mempunyai pemikiran yang moderen, bagi beliau merasa penting untuk memberikan pendidikan kepada anak anaknya.
Bagi ibu saya, semua anak-anak perlu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain atau tidak menyusahkan orang lain.
Bapak hilang tak tahu rimbanya, hanyut tak tahu muaranya

Kalau dipikir, kenapa tujuan PRRI itu sangat bagus, akan tetapi malah menimbulkan perang saudara.
Perang yang menimbulkan banyak sekali kerugian, baik fisik, materi maupun sumberdaya manusia.
Sangat banyak cendekiawan Minang yang menjadi korban, belum lagi korban calon intelektual Minang, bahkan korban sosial budaya yang tidak terukur nilainya.

Karena perang saudara pasti memakan anak sendiri, hilangnya satu generasi.
Bapak saya, orangnya sangat jujur, disiplin dan rajin serta penuh tanggung jawab.
Beliau sangat disegani di kampung saya.
Oleh karena itu ketika zaman pendudukan tentara Jepang, konon bapakku disayang dan dipercaya oleh bosnya.

Bapak Tak Jadi Ditembak Belanda, Karena Beliau Tokoh Adat

Sewaktu zaman Belanda agresi ke 2, bapakku ditangkap oleh Belanda.
Beliau ditodong dengan senjata, bapakku pasrah kepada Allah.
Ternyata Allah berkehendak lain, sebelum ditembak, Bapak digeledah dan menemukan identitas bahwa Bapak adalah seorang tokoh adat.
Alhamdulillah akhirnya dibebaskan.
Tetapi di zaman PRRI kenapa Bapakku sudah ketangkap dan dipenjarakan oleh tentara pusat, malah hilang tidak tahu rimbanya, hanyut tiada tahu muaranya…! Wallahuallam.

Salah satu masalah yang membuat ibu sedih adalah rusaknya rumah gadang berukir yang sudah tua.
Kerusakan itu dipercepat karena rumah gadang itu dijadikan asrama oleh tentara pusat.
Didepan rumah gadang kami dulunya ada Balai-Balai.
Tapi kini Balai-Balai itu juga sudah tiada, dan berganti dengan rumah biasa.
Rumah Gadang kami sudah dibangun kembali, tanpa ada Balai-Balai, tapi tiada yang memelihara dengan baik.
Ini karena pada umumnya keluarga kami sudah merantau.

Sekarang hanya tinggal 2 keluarga di kampung.
Satu kampung itu bernama Patapang Gurun, kampung yang strategis di desa kami, peninggalan nenek-nenek kami.
ibu saya sangat risau dengan Rumah gadang, dan beliau selalu berpesan agar rumah gadang dipelihara baik-baik.
Karena ibu tahu bahwa rumah gadang itu merupakan lambang keluarga besar dan diharapkan dapat mempersatukan keluarga besar.

Memang sudah sepantasnya ibu saya mendapat penghargaan.
ibu tinggal di kampung, sewaktu mudanya tidak boleh melanjutkan sekolah ke rantau oleh bapaknya karena bapaknya seorang angku palo, jadi tidak boleh anak gadisnya pergi merantau.
ibu menikah dengan Bapak saya, yang sebelumnya tidak kenal.
Hal semacam ini terjadi karena suami adalah pemberian dari orang tua.
Bapak saya juga pernah menjadi angku palo di Sijantang Talawi.

Ketika ibu ditinggal suami, sedangkan anak yang perlu diurus enam orang perempuan yang memerlukan biaya besar.
Untung saja ibu tinggal di kampung, biaya rumah, makan tidak masalah.
Bapak sudah membuatkan rumah untuk kami.
ibu punya sawah ladang sendiri.
ibu pernah mendapat penghargaan sebagai ibu teladan di kampung sampai dua kali dari Kecamatan, sayangnya penghargaan itu tidak ada sertifikatnya.
Alangkah baiknya bila sertifikat itu ada, dapat dilihat-lihat oleh anak, cucunya nanti di kemudian hari.

Pasca PRRI, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

Saya melihat dan merasakan bahwa orang Minangkabau sudah hampir kehilangan idealismenya.
Orang Minang itu sangat malu kalau tidak pandai.
Sekarang kelihatannya hal ini sudah mulai luntur.
Banyak orang Minang yang dapat disebut terlantar terutama di kota Jakarta di tempat saya bermukim sekarang.
Banyak sekali orang Minang yang datang kepada saya untuk minta bantuan, bahkan boleh dikatakan termasuk kategori mengemis.

Mereka minta bantuan modal untuk usaha, nanti modalnya habis terpakai, lalu minta lagi.
Bahkan cukup banyak yang saya bantu dengan sebutan sebagai pinjaman yang akan dikembalikan.
Mereka harus berusaha untuk menyicil mengembalikan modal itu kepada saya dengan maksud agar kita bisa membantu yang lainnya.
Tapi apa daya tidak satupun yang menepati janji untuk kembali guna menyicil.
Sungguh ironis rasanya.

Dulu yang saya tahu semiskin-miskinnya orang Minang, pastilah untuk makan dan tempat tinggal mereka tidak masalah.
Tetapi sekarang, ya betul-betul miskin, untuk makan saja susah.
Saya sarankan agar mereka kembali ke kampung halamannya.
Spontan mereka jawab bahwa kalau pulang ke kampung akan bertambah susah, tidak ada lagi yang akan dimakan disana, tidak ada lagi yang dapat diharapkan di sana.

Amboi saya semakin miris saja, ada juga yang bolak balik menghubungi saya, bahwa dia itu katanya sebatang kara, pernah tinggal di kolong jembatan.
Kadang dari musholla ke musholla, dia itu ke luar masuk penjara, ketangkap karena terpaksa nyopet atau mencuri untuk mencari makan. Saya suruh pulang ke kampungnya, jawabannya sama saja, bahwa di kampung lebih sulit lagi, sudah gak ada lagi yang kenal dia.

Setelah beberapa tahun dia tidak datang atau menghubungi saya lagi, tiba-tiba dia mengirim SMS, minta bantuan untuk modal usaha.
Katanya dia baru keluar dari penjara, saya tidak memenuhinya.
Dan tiga tahun kemudian dia datang lagi kepada saya, minta bantuan untuk pulang ke kampung, katanya dia sudah menikah dan punya seorang anak.
Sekarang dia sudah pulang ke kampung, mungkin kekampung isterinya.

Surau Bisa Dimasukkan Teknologi Masa Kini

Organisasi orang Minang cukup banyak di rantau di mana saja.
Hampir semua kenagarian punya organisasi.
Seperti di Jakarta ada juga organisasi yang besar, bahkan ingin memayungi semua organisasi Minang itu.
Banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan orang Minang, namun nampaknya hanya tertuju untuk membangun di ranah Minang.

Sebenarnya orang Minang itu masih pandai, di manapun ia berada pada awalnya dia melihat-lihat dahulu, kemudian apabila dia sudah mendapat kesempatan maka dia akan menjadi dominan dalam arti positif.
Banyak usaha orang Minang kini, tapi masih akan memakan waktu yang cukup lama, untuk menghasilkannya.

Intelektual Minang banyak yang meninggalkan ranahnya, bahkan banyak sekali yang sudah berasimilasi dengan suku bangsa selain orang Minang, dimana mereka bermukim.
Ninik Mamak urang Minang sudah sulit didengar oleh kemenakannya, karena ninik mamak itu sudah tidak berwibawa lagi.
Begitu pula banyak surau-surau yang sudah terbengkalai, tidak ada lagi yang mengunjunginya, dan akhirnya roboh sendiri.

Kini kita harus bangkit kembali, tidak hanya dengan wacana-wacana akan tetapi terutama bagaimana surau itu bangun kembali.
Dalam situasi moderen kini, ke surau bisa dimasukkan teknologi masakini, sehingga dapat menarik anak kemenakan mengunjunginya sambil belajar dan mengaji al Quran.
Dengan melengkapi surau dengan komputer, anak anak bisa mengaji dengan baik.
Ciptakan hal-hal lain yang dapat membangkit motivasi anak kemenakan.
Itu bagi anak kemenakan yang tinggal di ranah Minang.

Bagi yang merantau juga tingkatkan surau, sesuai dengan tuntutan di tempat mereka berada, paling tidak pagi sekolah, sore hari ada guru ngaji yang datang ke rumah sekitar 2x seminggu.
Siapkan kurikulumnya, tingkatkan motivasi mereka untuk belajar ngaji sendiri.
Kita harus memikirkan bagaimana agar terjadi sinergi antar Ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni) dan Imtaq (Iman dan taqwa) untuk setiap insan, khususnya anak Minang.

Jakarta, 14 Maret 2011
Prof. DR. Ir. Zoer’ni Djamal Irwan, MS

Peringatan penting

Sudah terbukti ketika perang
tempat berlindung orang Minang
bukan di dataran tanah lapang
tapi di rimba Hutan yang lengang

Sumber

Boelongan, Sepenggal Perjalanan Masa Silam

Seorang penyelam, Sabtu (29/12/2012), berupaya mendokumentasikan salah satu sisi bangkai kapal yang diduga kuat sebagai Boelongan pada kedalaman sekitar 20 meter di perairan Teluk Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. | KOMPAS/INGKI RINALDI

Oleh Ingki Rinaldi

Rabu, 28 Januari 1942, lepas waktu dzuhur di Nagari Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Anas Malin Randah yang ketika itu berusia remaja tengah bersantai di pondok perladangan di atas kawasan perbukitan.

Ayahnya masih menanam padi di ladang saat satu skuadron pesawat tempur Jepang seperti meraung-raung di atas kepalanya. ”Jumlahnya 12 pesawat,” kata Anas, yang kini berusia 83 tahun, pekan lalu. Tak lama berselang, bunyi bom bersahutan seperti hendak memecah gendang telinganya. Anas beserta tiga kakak dan seorang adiknya bergegas menuju ke goa batu untuk berlindung.

Anas masih mampu merekam jalannya serangan. Pesawat tempur Jepang itu membombardir kapal Belanda, yang diduga sebagai Boelongan. Serangan berlangsung sekitar tiga jam hingga sore menjelang. Delapan pesawat tempur baru menggantikan peran 12 pesawat sebelumnya. Serangan ditutup oleh enam pesawat berikutnya.

Kapal Boelongan tenggelam setelah dibom pada bagian haluan, buritan, dan persis di cerobong asapnya. Anas pun melihat sejumlah awak Boelongan yang meninggalkan kapal dengan sekoci.

”Orang Belanda itu kabur,” ujar Anas. Boelongan tenggelam dengan posisi mendatar. Seluruh badannya rusak parah.

Saat dibom, Boelongan pada posisi terbuka di Teluk Mandeh, yang jaraknya sekitar 200 meter dari daratan terdekat dan sekitar 70 kilometer dari Kota Padang. Kawasan ini merupakan salah satu rute pelayaran pantai barat Sumatera yang sangat ramai pada masa silam.

Anas ingat Boelongan berada di kawasan itu sejak sekitar sepekan sebelumnya. Boelongan mula-mula masuk dari pintu muara di Nagari Sungai Nyalo Mudik Aie yang bertetangga dengan Teluk Mandeh. Lalu, Boelongan berlindung di Teluk Dalam di antara Pulau Cubadak dan Pulau Taraju yang masih di kawasan perairan Mandeh.

Saat bersamaan, sekitar 350 km dari Teluk Mandeh, Jatar (87) tengah mengadu nasib di Aie Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar. Jatar yang juga berasal dari Nagari Mandeh memutuskan pulang setelah tahu pengeboman itu. Beberapa bulan kemudian, Jepang mencari pemuda di nagari itu. ”Sebagian dipekerjakan untuk membuat kapal di Nagari Sungai Pinang, Pesisir Selatan, dan sebagian dikirim ke Logas, Kabupaten Sijunjung, Sumbar,” paparnya.

Pengiriman ke Logas terkait kerja paksa membangun jaringan rel kereta api. Itu berhubungan dengan rencana pengangkutan batubara dari Ombilin, Sawahlunto ke Logas, sebelum dilanjutkan menuju Riau.

Ujung pelarian

Kisah Boelongan yang dimiliki Koninklijke Paketvaart-Maatschappij tak bisa dipisahkan dengan tenggelamnya kapal Van Imhoff II di sebelah barat Kepulauan Nias, Sumatera Utara, setelah dibom Jepang pada 19 Januari 1942. Kapal itu membawa 400 tawanan asal Jerman.

Horst H Geerken dalam buku berjudul A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno (2011) menjelaskan, pada 20 Januari 1942, Boelongan terlihat di lokasi tenggelamnya Van Imhoff II. Namun, karena yang tersisa hanya sekoci berisi tawanan Jerman, Boelongan yang berada di bawah kendali Kapten ML Berveling putar haluan tanpa memberikan pertolongan.

Keputusan Berveling diduga terkait peta Perang Dunia II saat Jerman tergabung dalam poros kekuatan bersama Jepang dan Italia. Di sisi lain, Belanda ikut kubu Sekutu yang di antaranya digerakkan Inggris dan Amerika Serikat. Sebelumnya, Jerman memorakporandakan Rotterdam di Belanda dengan pengeboman pada Mei 1940.

Boelongan yang berperan sebagai pengiring Van Imhoff diduga kembali ke selatan menuju Padang untuk terus ke pesisir selatan mengarah ke Batavia atau Australia. Ini terbukti dari posisi kapal itu saat tenggelam.

Pada penyelaman yang dilakukan Kompas, pekan lalu di lokasi tenggelamnya Boelongan, haluan bangkai kapal terlihat pada sisi barat daya. Adapun buritannya terletak di arah timur laut yang mengindikasikan kapal itu sedang menuju selatan.

Dinding kabin anjungan tampak rebah ke atas dek di kedalaman sekitar 20 meter. Menurut Kepala Subseksi Pelayanan Teknis Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Nia Naelul Hasanah, kesimpulan bangkai kapal itu adalah Boelongan didasarkan pada pengukuran detail.

Panjang kapal diketahui 74 meter dengan lebar bagian tengah 11 meter, lebar buritan 13 meter, lebar haluan 10 meter, dan tinggi 8 meter. Tinggi kapal terukur belum mewakili ukuran sesungguhnya karena sebagian badan kapal terbenam sedimen.

Hasil pengukuran itu serupa dengan data spesifikasi Boelongan dalam sejumlah referensi. Kapal lain yang tenggelam di alur itu dalam periode yang sama, Buijskes dan Elout, memiliki dimensi lebih besar. Selain sebagai kapal transpor, kata Nia, Boelongan juga kerap dipakai pejabat kolonial Belanda saat berkunjung ke Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur.

Periode kritis

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mestika Zed, mengatakan, tenggelamnya Boelongan dan invasi Jepang itu menandai periode kritis kekuasaan Belanda di Indonesia. Serangan cepat Jepang tak disangka-sangka Belanda.

Periode Desember 1941-Februari 1942 ditandai dengan serangan udara yang dilakukan Jepang secara bertubi-tubi. Menurut Mestika, gempuran pesawat dengan pola bunuh diri seperti yang dilakukan Jepang terhadap Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbor, Hawaii, lazim dilakukan selama periode itu.

Hampir 71 tahun seusai Boelongan karam, warga di daerah sekitarnya cenderung tak beroleh manfaat. Padahal, dengan sejarah yang melingkupinya, kapal karam itu bisa menjadi obyek wisata dan obyek penelitian yang tak hanya bermanfaat bagi warga sekitar, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan….

Sumber

Ternyata Amerika Memiliki Hutang 57ribu Ton Emas Kepada Indonesia

“The Green Hilton Memorial Agreement” di Geneva pada 14 November 1963

Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia.

Perjanjian “The Green Hilton Memorial Agreement” di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963

Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai “salah satu” harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini.

Perjanjian itu bernama “Green Hilton Memorial Agreement Geneva”. Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).

Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri.

Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapa pun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tahu siapa yang menyimpan hingga kini.

Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Paus sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya.

Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut menanda tangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan.

Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara. Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar Amerika.

Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia.

Asal Mula Perjanjian “Green Hilton Memorial Agreement”

Setelah masa perang dunia berakhir, negara-negara timur dan barat yang terlibat perang mulai membangun kembali infrastrukturnya. Akan tetapi, dampak yang telah diberikan oleh perang tersebut bukan secara materi saja tetapi juga secara psikologis luar biasa besarnya. Pergolakan sosial dan keagamaan terjadi dimana-mana. Orang-orang ketakutan perang ini akan terjadi lagi. Pemerintah negara-negara barat yang banyak terlibat pada perang dunia berusaha menenangkan rakyatnya, dengan mengatakan bahwa rakyat akan segera memasuki era industri dan teknologi yang lebih baik. Para bankir Yahudi mengetahui bahwa negara-negara timur di Asia masih banyak menyimpan cadangan emas. Emas tersebut akan di jadikan sebagai kolateral untuk mencetak uang yang lebih banyak yang akan digunakan untuk mengembangkan industri serta menguasai teknologi. Karena teknologi Informasi sedang menanti di zaman akan datang.

Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di Dunia) mengunjungi Indonesia. Melalui pertemuan dengan Presiden Soekarno, mereka mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan dan pencegahan terjadinya kembali perang dunia yang baru saja terjadi dan menghancurkan semua negara yang terlibat, setiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral Emas yang dimiliki oleh setiap negara untuk program-program kemanusiaan. Dan semua negara menyetujui hal tersebut, termasuk Indonesia. Akhirnya terjadilah kesepakatan bahwa emas-emas milik negara-negara timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan. Sebagai pertukarannya, negara-negara Asia tersebut menerima Obligasi dan Sertifikat Emas sebagai tanda kepemilikan. Beberapa negara yang terlibat diantaranya Indonesia, Cina dan Philippina. Pada masa itu, pengaruh Soekarno sebagai pemimpin dunia timur sangat besar, hingga Amerika merasa khawatir ketika Soekarno begitu dekat dengan Moskow dan Beijing yang notabene adalah musuh Amerika.

Namun beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai menyadari bahwa kesepakatan antara negara-negara timur dengan barat (Bankir-Bankir Yahudi dan lembaga keuangan dunia) tidak di jalankan sebagaimana mestinya. Soekarno mencium persekongkolan busuk yang dilakukan para Bankir Yahudi tersebut yang merupakan bagian dari Freemasonry.

Tidak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan mengunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara timur telah di tipu oleh Bankir International.

Akhirnya Pada tahun 1963, Soekarno membatalkan perjanjian dengan para Bankir Yahudi tersebut dan mengalihkan hak kelola emas-emas tersebut kepada Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy (JFK). Ketika itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat dalam perang dunia. Presiden JFK menginginkan negara mencetak uang tanpa utang.

Karena kekuasaan dan tanggung jawab Federal Reserve bukan pada pemerintah Amerika melainkan di kuasai oleh swasta yang notabene nya bankir Yahudi. Jadi apabila pemerintah Amerika ingin mencetak uang, maka pemerintah harus meminjam kepada para bankir yahudi tersebut dengan bunga yang tinggi sebagai kolateral. Pemerintah Amerika kemudian melobi Presiden Soekarno agar emas-emas yang tadinya dijadikan kolateral oleh bankir Yahudi di alihkan ke Amerika. Presiden Kennedy bersedia meyakinkan Soekarno untuk membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani. Setelah dilakukan MOU sebagai tanda persetujuan, maka dibentuklah Green Hilton Memorial Agreement di Jenewa (Swiss) yang ditandatangani Soekarno dan John F.Kennedy. Melalui perjanjian itu pemerintah Amerika mengakui Emas batangan milik bangsa Indonesia sebesar lebih dari 57.000 ton dalam kemasan 17 Paket emas.

Melalui perjanjian ini Soekarno sebagai pemegang mandat terpercaya akan melakukan reposisi terhadap kolateral emas tersebut, kemudian digunakan ke dalam sistem perbankan untuk menciptakan Fractional Reserve Banking terhadap dolar Amerika. Perjanjian ini difasilitasi oleh Threepartheid Gold Commision dan melalui perjanjian ini pula kekuasaan terhadap emas tersebut berpindah tangan ke pemerintah Amerika. Dari kesepakatan tersebut, dikeluarkanlah Executive Order bernomor 11110, di tandatangani oleh Presiden JFK yang memberi kuasa penuh kepada Departemen Keuangan untuk mengambil alih hak menerbitkan mata uang dari Federal Reserve. Apa yang pernah di lakukan oleh Franklin, Lincoln, dan beberapa presiden lainnya, agar Amerika terlepas dari belenggu sistem kredit bankir Yahudi juga diterapkan oleh presiden JFK. salah satu kuasa yang diberikan kepada Departemen keuangan adalah menerbitkan sertifikat uang perak atas koin perak sehingga pemerintah bisa menerbitkan dolar tanpa utang lagi kepada Bank Sentral (Federal Reserve)

Tidak lama berselang setelah penandatanganan Green Hilton Memorial Agreement tersebut, presiden Kennedy di tembak mati oleh Lee Harvey Oswald. Setelah kematian Kennedy, tangan-tangan gelap bankir Yahudi memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu juga tidak pernah efektif, hingga saat Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde baru yang didalangi oleh CIA yang kemudian mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sampai pada saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurus aset-aset tersebut hingga meninggal dunia. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan, yang berkaitan dengan Green Hilton Memorial Agreement tersebut adalah sebuah buku bersandi yang menyembunyikan ratusan akun dan sub-akun yang digunakan untuk menyimpan emas, yang terproteksi oleh sistem rahasia di Federal Reserve bernama The Black screen. Buku itu disebut Buku Maklumat atau The Book of codes. Buku tersebut banyak di buru oleh kalangan Lembaga Keuangan Dunia, Para sesepuh Mason, para petinggi politik Amerika dan Inteligen serta yang lainnya. Keberadaan buku tersebut mengancam eksistensi Lembaga keuangan barat yang berjaya selama ini.

Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang disepakati antara JFK dan Presiden Soekarno melalui Green Hilton Agreement.

Padahal mereka telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak setiap dollar.

Hal yang sama terjadi pada bangsa China dan Philipina. Karena itulah pada awal tahun 2000-an China mulai menggugat di pengadilan Distrik New York. Gugatan yang bernilai triliunan dollar Amerika Serikat ini telah mengguncang lembaga-lembaga keuangan di Amerika dan Eropa. Namun gugatan tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa dan belum menunjukkan hasilnya. Memang gugatan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran yang tinggi, karena bukan saja berhadapan dengan negara besar seperti Amerika, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan Yahudi bahkan kabarnya ada kepentingan dengan Vatikan. Akankah Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Cina yang menggugat atas hak-hak emas rakyat Indonesia yang bernilai Ribuan Trilyun Dollar… (bisa untuk membayar utang Indonesia dan membuat negri ini makmur dan sejahtera)?

Sumber : disini

Kisah Heroik Para Polisi Tameng Peluru Bung Karno

Bung Karno

Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan hari jadi ke 67, banyak polisi yang terjerat kasus dan memalukan kesatuan. Tapi banyak pula yang membuktikan kesetiaan luar biasa pada negara.
Salah satu kisah heroik para polisi ini adalah saat Detasemen Kawal Pribadi (DKP) berkali-kali menyelamatkan Presiden Soekarno dari percobaan pembunuhan.

Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo mengisahkan peristiwa tanggal 14 mei 1962 itu dalam buku Gerakan 30 September, pelaku, pahlawan dan petualang yang ditulis Wartawan senior Julius Pour, terbitan Kompas.
Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) ini baru menerima kabar dari Kapten (CPM) Dahlan. Laporan itu menyebutkan Kelompok Darul Islam merencanakan untuk membunuh Presiden Soekarno.
Saat itu Mangil memeriksa jadwal presiden Soekarno satu minggu kedepan. Mangil yakin, para pemberontak itu pasti akan menyerang Bung Karno saat sholat Idul Adha. Saat itu istana menggelar sholat Id, penjagaan relatif longgar dan semua pintu istana terbuka.

Maka Mangil bersiaga saat Idul Adha, Dia sengaja tidak ikut sholat Id. “Saya duduk enam langkah di depan bapak. Disamping saya duduk Inspektur Polisi Soedio, kami berdua menghadap kearah umat, sedangkan tiga anak buah, Amon Soedrajat, Abdul Karim dan Susilo pakai pakaian sipil dan berpistol duduk disekeliling bapak,” cerita Mangil.
Tiba-tiba saat ruku’, seorang pria bertakbir keras, dia mengeluarkan pistol dan menembak ke arah Bung Karno.
Refleks, semua pengawal berlarian menubruk Bung Karno. Amoen melindungi Bung Karno dengan tubuhnya.
Dor ! Sebutir peluru menembus dadanya Amoen terjatuh berlumuran darah.

Dor ! Pistol menyalak lagi. Kali ini menyerempet kepala Susilo. Tapi tanpa menghiraukan luka-lukanya, Susilo menerjang penembak gelap itu. Dua anggota DKP membantu Susilo menyergap penembak yang belakangan diketahui bernama Bachrum. Pistol milik Bachrum akhirnya bisa direbut DKP. Bung Karno berhasil diselamatkan. Begitu juga dengan dua polisi pengawalnya, untungnya walau terluka parah, Amoen dan Susilo selamat.

Bung Karno juga menceritakan serangan ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams. Beliau menyebutkan, berkali-kali Darul Islam mencoba membunuhnya. Mulai dari serangan pesawat udara, granat Cikini, dan akhirnya menyerang saat sholat Idul Adha. Bung Karno menilai mereka adalah orang-orang terpelajar yang ultrafanatik pada ideologi tertentu. Orang-orang yang mencoba membunuh Bung Karno di adili dan dihukum mati. Namun belakangan Soekarno memberikan amnesti dan membatalkan hukuman mati tersebut.

“Aku tidak sampai hati memerintahkan dia dieksekusi,” kata Bung Karno.

Sejarah Singkat Pasukan PETA

Pasukan PETA

Sukarela Tentara Pembela Tanah Air disingkat PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.

Pembentukan Peta dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang.

Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan Peta berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran “Asia Raya” pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Moh. Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa(Mansur Suryanegara: Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan:1996). Dengan demikian, nampaklah peranan umat Islam Indonesia dalam rangka pembentukan cikal bakal TNI ini.

Tujuan mereka bukan untuk menjadi sekedar antek Jepang, melainkan menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama, yakni ruhul jihad. Perhatikan panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang imperium Jepang) dan lambang bulan sabit yang merupakan simbol khilafah Islam di dunia. Pada tanggal 14 Februari 1945, pasukan Peta di Blitar di bawah pimpinan Supriadi melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama “Pemberontakan Peta Blitar”. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan Peta sendiri maupun Heiho. Pimpinan pasukan pemberontak, Supriadi, hilang dalam peristiwa ini.  Akan tetapi, pimpinan lapangan dari pemberontakan ini, yang selama ini dilupakan sejarah, Muradi, tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir. Mereka semua pada akhirnya, setelah disiksa selama penahanan oleh KENPEITAI (PM), diadili dan dihukum mati di pantai Ancol pada tanggal 16 Mei 1945.

Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Jepang mengeluarkan perintah untuk membubarkan kesatuan-kesatuan Peta. Sehari kemudian, panglima terakhir Tentara Keenambelas di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan.

Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam perjuangan melawan penjajahan Jepang demikian besar.  Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia.  Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman.

Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor.

Koleksi Buku Milik Admin Kolektor Sejarah

IMG20161118170537.jpg

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya” Bung Karno berucap. Sejatinya, bangsa ini besar karena pahlawannya dan berkembang karena generasinya. Bagaiman kita bisa mengenal pahlawan? Tentunya dari sejarah. Namun sangat tragis, kini sejarah di mata para kaum muda bukanlah menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Padahal upaya untuk membesarkan bangsa ini salah satunya harus dimulai dari sejarahnya.

Kaum muda yang menjadi tulang punggung bangsa ini sepatutnya memahami dan memaknai sejarah, kita dapat berpedoman pada sejarah masa lampau untuk mewujudkan kesejahteraan negara saat ini, banyak tragedi-tragedi yang dapat dijadikan pelajaran, dari pelajaran itu kita mengembangkan kreativitas antisipasi supaya tidak terjadi lagi tragedi serupa.

Saat ini Admin kolektorsejarah.wordpress.com memiliki beberapa koleksi buku seperti berikut :

1.  10 November 1945 Gelora Kepahlawanan Indonesia
2.  45 Kisah PRRI di Ranah Bunda
3.  693 KM Jejak Gerilya Sudirman
4.  Achmad Husein, Perlawanan Seorang Pejuang
5.  AE Kawilarang Untuk Sang Merah Putih
6.  Aku Ingat, rasa dan tindak siswa sekolah kolonial diawal merdeka bangsa
7.  Band of Brothers
8.  Bejo Harimau Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan
9.  Benteng Huraba
10. Bukit Kadir
11. Bunga Rampai Peran Pelajar Pejuang di Sumatera Tengah Selama Perang Kemerdekaan
12. Citizan Soldiers Tentara Sukarela
13. Dari Medan Area Ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan
14. Gelora Kemerdekaan Sepanjang Bukit Barisan 1
15. Gerilya di Asahan – Labuhan Batu 1947 – 1949
16. Giring-giring Perak 1 Perang Pariaman
17. Giring-giring Perak 2
18. Jihad Akbar di Medan Area
19. Kamang Dalam pertumbuhan dan perjuangan menentang kolonialis
20. Kisah Petualangan Bagas 1 – Misteri Makam Paneleh – Komik
21. Kisah Petualangan Bagas 2 – Perebutan Senjata Pamungkas – Komik
22. Kisah Petualangan Bagas 3 – Rahasia Serdadu Siluman – Komik
23. Kisah Petualangan Bagas 4 – Prahara di Pulau Dewata – Komik
24. Kisah Petualangan Bagas 5 – Tawanan Pulau Apung – Komik
25. Kisah Petualangan Bagas 6
26. KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu Tinggalan Belanda
27. Kolonel Maludin Simbolon
28. Komando Rajawali 1 – Rajawali Rajawali – Komik
29. Komando Rajawali 2 – Lawan – Komik
30. Komando Rajawali 3 – Surabaya Membara – Komik
31. Komando Rajawali 4 – Jebakan Maut – Komik
32. Komando Rajawali 5 – The Final Battle – Komik
33. Komando Rajawali 6 – Solo Bravo – Komik
34. KRIS 45 Berjuang membela negara
35. Lima tahun perang kemerdekaan 1945 – 1949
36. Mas TRIP dari Brigade Pertempuran ke Brigade Pembangunan
37. Melintas Badai
38. Memoar Hario Kecik II
39. Memori Sejarah Gerilla: Dari TNI ex Batalion IV Sektor II Sub. Terr. VII Komando Sumatera di Tapanuli dan Sumatera Timur
40. Merebut Kota Perjuangan Komik
41. Mr. H. ST. Moh. Rasjid Perintis Kemerdekaan, Pejuang Tangguh, Berani dan Jujur
42. Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI
43. Operasi Sandi Yudha
44. Pasukan ‘T’ Ronggolawe tahun 1945 – 1950
45. Pejuang Kemerdekaan Sumbar – Riau
46. Pelajar Berjuang (Roman Sejarah)
47. Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926 – 1927
48. Peran Stasiun Radio PHB AURI selama perang kemerdekaan RI II 1948 – 1949
49. Peranan Pelajar dalam perang kemerdekaan
50. Perang Bali sebuah Kisah Nyata
51. Perang Eropa I
52. Perang Eropa II
53. Perang Eropa III
54. Perang kemerdekaan
55. Perang Pasifik
56. Peringatan setahoen peristiwa Bandoeng
57. Peristiwa 10 Nov 1945 Dalam Lukisan
58. Perjuangan Korps Brigade Mobil Polri Masa Perang Kemerdekaan RI Pemerintah Darurat RI di Sumatera
59. Pertempuran Surabaya November 1945
60. PRRI Permesta Starategi membangun indonesia tanpa komunis
61. Rebut kembali madiun
62. Rebut Kota Perjuangan – Komik
63. Sakai I
64. Sejarah Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta
65. Sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau I
66. Sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau II
67. Sejarah Perjuangan Mobile Brigade Polisi R.I Sumatera Utara / Aceh THN 1945 – 1961
68. Semuanya untuk Cirebon, Kisah Heroik Pasukan Kancil dan Palagan Mandala
69. Siliwangi dari masa ke masa
70. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945 – 1995
71. Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan
72. Sumatra Barat hingga Plakat Panjang
73. Tanpa pamrih kepertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
74. Terjebak di Perut Bumi
75. Tetes Embun di Bumi Simalungun Episode Perang Kemerdekaan (1945-1949)
76. The Golden Bridge Jembatan Emas 1945
77. Tikam Samurai 1
78. Tikam Samurai 2
79. Tikam Samurai 3
80. Tikam Samurai 4 Dalam Kecamuk Perang Saudara
81. Tikam Samurai 5 Ke Dallas Menuntut Balas
82. Tikam Samurai 6 Dalam Neraka Vietnam
83. Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor versus Jendral Sudirman

BERSAMBUNG………….. Masih ada beberapa buku lagi yang belum sempat di photo seperti Kisah Heroik di Udara…

Mengenang Front Palupuh dengan Mobbrig – nya

MENJADI KELUARGA MOBBRIG.

19 Desember 1948 adalah tanggal yang mempunyai arti tersendiri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan dan mempertahankan negara Republik Indonesia. Pada tanggal inilah buat kedua kalinya dimulai penyerbuan besar-besaran yang dilakukan oleh penjajah pihak Belanda memasuki wilayah-wilayah Republik Indonesia dengan maksud menindas perjuangan bangsa yang ingin merdeka.

PENULIS sejenak berpose dimuka lensa, sebelum melepaskan baju seragam Mobbrig dan kembali ke bangku sekolah di awal tahun 1950. (Foto: dokumentasi Adrin Kahar)

GERAKAN agresi Tentara Belanda ini dikenal dengan nama Aksi Militer Belanda ke II atau dikatakan juga gerakan pelanggaran perjanjian Renville. Aksi Militer Belanda ke I adalah penyerbuan yang dilakukan oleh pihak Belanda memasuki Wilayah Republik Indonesia pertama kali juga secara mendadak dan besar-besaran yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 terkenal sebagai pelanggaran  atas persetujuan Linggarjati.

Thomy Teruci di Palupuh

Dalam masa perjuangan menghadapi Belanda yang ingin menegakkan kembali kolonialisme di Indonesia sesudah perang dunia ke II, bangsa Indonesia sendiri menyadari bahwa jika ditinjau dari segi kelengkapan dan mutu persenjataan angkatan Perang, pihak Belanda memang lebih unggul dari pada angkatan bersenjata Indonesia. Disamping itu, jauh sebelum tanggal 19 Desember 1948, hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda sudah memperlihatkan ketegangan yang dalam perundingan – perundingan banyak terdapat perbedaan paham.

Kira-kira setengah jam sebelum jam 00.00 malam tgl 19 Desember 1948, pihak Belanda mengumumkan kepada Republik Indonesia dan pada Komisi Tiga Negara (KTN) bahwa Belanda tidak mengakui dan tidak terikat lagi dengan persetujuan Renville. Dengan sangat mendadak, pagi dinihari Minggu tgl. 19 Desember 1948 sejumlah besar tentera Payung Belanda terjun di lapangan udara Maguwo dan bergerak terus menduduki ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta.

Bukittinggi, kota pusat pemerintahan Sumatera pada masa itu, sejak tengah malam tgl. 18 Desember 1948 pula telah menjadi incaran penyerbuan pihak Belanda dengan penerbangan pesawat udara militer Belanda berkeliling-keliling sambil menyebarkan pamflet-pamflet.

Pagi tgl 19 Desember satuan pesawat udara pemburu jenis mustang dari pihak Belanda menyerang kota Bukittinggi dan sekitarnya dengan membom serta menembaki beberapa obyek. Menjelang tengah hari serangan pesawat-pesawat udara itu dilakukan secara bergelombang-gelombang, menyebabkan timbulnya kepanikan penduduk.

Terlihat sampai malam orang-orang berkelompok mapun sendiri-sendiri meninggalkan kota mengungsi menyelamatkan diri.

Sebagai seorang pemuda pelajar SMA di Bukittinggi pada masa itu, penulis adalah juga anggota Tentera Pelajar (T.P.) Sumatera Tengah – Batalyon Bukittinggi . Sungguhnya namanya anggota Tentera Pelajar, tetapi belum mempunyai pengalaman bertempur dalam peperangan.

Kalau perang-perangan dalam latihan kemiliteran pernah juga ada pengalaman diperoleh secara teratur sejak tahun 1946 sampai awal 1948, dengan pelatih-pelatihnya para perwira dan bintara dari unit Pendidikan dan Latihan Divisi III TKR (kemudian Divisi IX Banteng).

Pembentukan dan pembinaan Tentera Pelajar di Sumatera Tengah oleh Pimpinan Divisi III TKR/TRI tidaklah diarahkan untuk dijadikan pasukan tempur, tetapi disiapkan sebagai satuan-satuan cadangan dan bantuan dalam rangka wajib bela negara. Kolonel M. Dahlan Jambek (alm.) selaku pimpinan Divisi III TRI pernah didatangi oleh wakil-wakil pelajar yang dengan semangat menyala-nyala meminta agar TRI mengikut sertakan satuan-satuan pelajar terlatih (T.P.) dalam pasukan tempur. Tetapi dengan hati-hati sekali beliau meminta pengertian para pelajar untuk terus bersekolah demi persiapan hari depan bangsa dan negara, disamping itu tetap berlatih menurut kesatuan masing-masing dengan teratur dan sungguh-sungguh. (lihat: Chaidir Nien Latief, Nostalgia dan Sejarah Perjuangan Pelajar di Sumatera, Merdeka 27 Desember 1980).

Inspektur Polisi I Amir Mahmud Komandan Mobbrig Sumatera Barat dan Inspektur Polisi II M.K. Situmorang Wk. Komandan Mobbrig (2) berhadapan dengan perwira perwira polisi Belanda dalam rangka serah terima kota Bukittinggi 7 Desember 1949. (Foto. Dok. Adrin Kahar)

Dengan datangnya serangan yang mendadak dari pihak Belanda pada 19 Desember 1948 yang kebetulan pula mulainya liburan sekolah, maka maka tidak ada satupun pedoman, petunjuk maupun instruksi pimpinan Tentera Pelajar atau Pimpinan Organisasi pertahanan/keamanan lainnya yang dapat diikuti oleh para anggota T.P. di Sumatera Barat.

Pada umumnya para anggota T.P. yang bertebaran di Sumatera Barat mengambil inisiatif dan mengambil keputusan masing-masing untuk memilih cara dan bentuk perjuangan yang dapat dilanjutkan sebagai pelajar terlatih militer. Ada yang tinggal di dalam kota untuk menunggu kesempatan bersekolah kembali, tetapi ada pula yang memilih ke luar kota bergabung dengan kesatuan-kesatuan pejuang lainnya untuk bergerilya.

Dalam keadaan terombang-ambing untuk menentukan sikap disaat gawat tersebut, penulis terdampar pada senja 19 Desember 1948 ke markas Mobiele Brigade Polisi (Mobbrig) Sumatera Barat, di Birugo Bukittinggi. Rencana semula hendak menemui paman penulis sendiri (alm. Amir Mahmud, Inspektur Polisi I, Komandan Mobbrig Sumatera Barat, tetapi malam itu berkesempatan bertatap muka dengan Bapak Suleiman Effendi (Pembantu Komisaris Besar, Kepala Polisi Propinsi Sumatera Tengah) dan Bapak R. Abdurachman Suriokusumo (Komisaris Polisi I, Kepala Kepolisian Sumatera Barat).

Dari beliau beliau inilah penulis beroleh keterangan bahwa dalam waktu singkat mungkin tentera Belanda akan sampai di Bukittinggi; semua pasukan pasukan bersenjata serta pejabat pejabat pemerintah Republik Indonesia akan meninggalkan kota dan akan melanjutkan perjuangan secara bergerilya dari luar kota  melawan kekuatan pemerintahan dan tentera pendudukan Belanda.

Penulis juga diberi advis pada waktu itu, supaya sebaiknya sebagai pelajar pulang saja ke kampung dan menunggu perkembangan sampai ada kemungkinan untuk bersekolah. Dengan mengemukakan alasan bahwa penulis adalah pula salah seorang anggota Tentera Pelajar  yang pernah mendapat latihan kemiliteran, memohon kiranya bapak bapak pimpinan kepolisisan tersebut mau membawa serta penulis dalam perjuangan ge-rilya di luar kota kemanapun akan pergi. Permohonan penulis diperkenankan oleh Bapak Suleiman Effendi dan pada malam itu juga diberi tugas untuk membantu Pemb. Inspektur II Bustaman (terakhir Let. Kol. Pol. di Kodak Jakarta Raya) mengemasi arsip-arsip / dokumen-dokumen yang perlu diselamatkan. Sebagai anggota polisi yang bergabung dalam korps Mobiele Brigade (Mobbrig) malam itu pula penulis memperoleh baju seragam / uniform Mobbrig Sumatera Barat yang pada waktu itu terdiri dari: celana dan kemeja khaki-dril, jaket wol berwarna coklat (bekas uniform tentera Australia) dan karena sepatu kulit tidak ada saat itu hanya diberi sepatu karet. Senjata diberi sebilah kelewang.

Meninggalkan markas di Birugo.

Tanggal 20 Desember 1948 pagi, didapat perintah supaya markas Mobbrig Sumatera Barat di Birugo, Bukittinggi (sekarang: kompleks di belakang SMA Negeri No.2) di-pindahkan ke Jirek (pada waktu itu kantor Jawatan Sosial), sedangkan bagian perlengkapan / perbekalan serta perbengkelan dipindahkan ke Sipisang (arah Utara dari Bukittinggi pada jalan raya menuju Bonjol). Hari ini serangan pesawat udara Belanda masih bergelombang gelombang datang menjelang tengah hari.

Bagi pimpinan pimpinan unit kerja memang tidak mudah dan ringan tanggung jawab yang harus dipikul dalam kekalutan yang dihadapi. Selain dari pada tugas dinas kepolisian harus lebih ditingkatkan kewaspadaan, disamping itu pengungsian keluarga keluar kota harus pula berjalan teratur, sedangkan fasilitas transport tidak tersedia cukup; pula distribusi / supply makanan petugas maupun pengungsi pengungsi memerlukan perhatian pengaturannya, dsb dsb.

Dalam kesibukan dan kekalang kabutan yang terjadi itu,  penulis menemukan sepucuk senjata senapan/karabijn tergeletak di belakang pintu markas di Jirek. Sesudah ditanyakan berkeliling siapa yang bertanggung jawab atas pemakaian senjata itu, tidak seorang pun yang merasa kehilangan. Sejak hari itu penulis diberi izin oleh Komandan untuk memegang senapan yang sudah kehilangan tuan tersebut.

Menjelang subuh tgl. 21 Desember, datang lagi perintah supaya markas di Jirek ditinggalkan dan semua detasemen markas, peralatan/perlengkapan dipindahkan ke Sipisang.

Markas darurat selanjutnya mendapat tempat di Jorong Pasir (beberapa ratus meter sebelum memasuki pasar Sipisang), sedangkan beberapa pos Mobbrig telah dibentuk sepanjang jalan raya sejak dari Batang Palupuh sampai ke Simpang Patai. Markas di Pasir ini hanya berlangsung selama satu hari saja, karena 22 Desember 1948 pagi diperintahkan lagi oleh Komandan supaya pindah ke Bateh Sarik (sebuah jorong yang terletak antara Simpang Patai dan Jorong Laring, pada jalan pintasan menuju Palembayan). Pada tgl 22 Desember ini pula didengar berita bahwa Belanda telah memasuki Bukittinggi.

Sejak Mobbrig bermarkas di Bateh Sarik ini konsolidasi organisasi dan pemantapan pengaturan operasi gerilya dimulai secara tuntas. Satuan satuan Mobbrig yang sebelum 19 Desember 1948 bertugas di Batang Tapakis (dekat Lubuk Alung), di Air Sirah (dekat Indarung) dan di Siguntur (jalan ke Tarusan) sudah mulai bergabung kembali ke Induk pasukan dan memperkuat front sekitar Palupuh. Selain dari pada itu terdapat pula satuan satuan TNI yang tergabung kedalam Komando Wilayah yang dipegang oleh Mobbrig ini, diantaranya kompi Letnan I Johan. Wilayah pertahanan Palupuh ini kemudian mendapat nama Sektor II Daerah Pertempuran Agam dengan komandannya Inspektur Polisi I Amir Mahmud, sedangkan komandan Daerah Pertempuran Agam adalah Let. Kol, Dahlan Jambek. Kekuatan rakyat bersenjata (yang biasa dipakai untuk berburu, seperti: senapang belansa, dubbel-lop, tombak) terhimpun dalam kesatuan kesatuan BPNK (Badan Pengawas Negeri dan Kota).

Dalam suasana penghimpunan tenaga-tenaga pejuang begini terdapatlah pula beberapa orang anggota T.P. yang bergabung kedalam kesatuan Mobbrig di front Palupuh, diantaranya yang dapat teringat oleh penulis ialah: sdr. Awaluddin (sekarang Dr. Awaluddin Djamin, MPA; Jenderal Polisi, Kapolri), sdr. Zamzam (sekarang drs. Zamzam, guru SMA di Ban-dung); dan H. Syukur Syafei, B.Sc (dosen FKT-IKIP Padang) dan penulis sendiri sekarang dosen FKSS-IKIP Padang.

Bateh Sarik dijadikan tempat kedudukan markas Mobbrig (juga markas Komando Sektor II DPA) sampai bulan Maret 1949 dan pernah beberapa hari ditinggalkan, yaitu saat-saat pasukan Belanda mengadakan rentetan serangan mau menerobos pertahanan front Palupuh menuju Bonjol.

Saat-saat genting ini markas berkedudukan di Bamban (suatu jorong yang terletak dekat Palembayan).

Belanda pada tanggal 5 Januari 1949 dengan dilindungi pesawat udara sanggup menerobos sampai ke Pasir (Sipisang) dan mulai hari itu membuat posnya di Palupuh. Tgl. 6 Januari 1949 pasukan Belanda sampai ke Bonjol, tapi hari itu juga kembali ke Palupuh. Sungguhpun mereka dapat membuat kubu di Palupuh sampai masa datangnya “cease fire”, tetapi pasukan Belanda itu tidak dapat bergerak ke Utara maupun ke Selatan dan tidak luput selalu mendapat gangguan dari pasukan Republik Indonesia.

Sewaktu-waktu pasukan Belanda yang terkepung di Palupuh mendapat bantuan kiriman perlengkapan/perbekalannya lewat dropping dari pesawat udara.

Di bulan Maret 1949 markas Mobbrig / Komando Sektor II DPA dipindahkan dari Bateh Sarik ke Kuran-kuran, ditepi jalan besar antara Patapaian dan Bateh Rimbang. Menjelang adanya perintah penghentian tembak menembak (cease fire) antar pasukan R.I. Dan Belanda di bulan Agustus 1949, pasukan-pasukan Belanda sudah mulai menurun nafsu menyerbu dan menyerangnya, begitu pula satuan tentera Belanda yang berada di Palupuh tidak aktif lagi mengadakan patroli-patroli. Tapi masih dalam suasana siap siaga dalam beberapa minggu di Pasir Lawas (kira-kira 3 kilometer dari Palupuh) telah dapat disiapkan pembangunan sebuah tugu peringatan perjuangan Front Palupuh, yang diresmikan pendiriannya pada tanggal 17 Agustus 1949. Pada tugu ini dilukiskan lambang Mobbrig (roda bergigi), lambang TNI (bintang segi lima) dan bambu beruncing bersilang melambangkan perjuangan rakyat. Peresmian tugu ini dilakukan oleh Kepala Kepolisian Propinsi Sumatera Tengah (Bapak Suleiman Effendi) dan dihadiri oleh pasukan-pasukan bersenjata dan rakyat yang berada di sekitar Front Palupuh (Sektor II DPA).

Sesudah pasukan Belanda me-ninggalkan Palupuh dan beberapa minggu sebelum kembali memasuki kota Bukittinggi di awal Desember 1949, markas Mobbrig/Sektor II DPA pindah ke Pasar Palupuh.

Kembali ke Bukittinggi.

Selama markas berada di Palupuh, pasukan-pasukan dihimpun dan mendapat penataran / latihan khusus dalam rangka mempersiapkan diri untuk kembali masuk kota atau daerah-daerah yang akan ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda.

Sesuai dengan perundingan pihak R.I. Dengan pihak Belanda, maka pada tgl. 5 Desember 1949 seorang Inspektur Polisi Belanda didampingi oleh seorang “Hoofd-agent” beserta dua orang sopir polisi Belanda membawa satu truk dan satu pick-up datang ke Palupuh dari Bukittinggi.

Kedatangan mereka ini adalah untuk menjemput 33 orang anggota Mobbrig yang akan bertugas sebagai pasukan keamanan di Bukittinggi di saat-saat pasukan Belanda akan meninggalkan Bukittinggi di tanggal 7 Desember 1949.

Penulis berasa beruntung sekali terpilih untuk menjadi anggota pasukan 33 ini. Karena penulis sendiri tidak mempunyai pangkat kepolisian (maklum hanya seorang anggota TP yang menggabung) maka oleh pimpinan diberi pangkat Agen Polisi I terhitung mulai 1 Desember 1949.

Tgl. 5 Desember 1949 menjelang sore, satu jeep dengan tulisan Mobiele Brigade, diatasnya berada Inspektur Polisi I Amir Mahmud dan Inspektur Polisi II Mandagi K. Situmorang diiringi oleh sebuah pick-up dan sebuah truck berisi pasukan Mobbrig memasuki kota Bukittinggi lewat Jirek, pasar ternak, Aur Tajungkang, jalan Landbouw terus ke Tarok. Sore itu juga dilakukan upacara penaikan bendera Merah Putih di Markas Tarok yang dihadiri oleh Komandan Mobbrig bersama Komandan Brigade Banteng Sub. Territorium IX (Let. Kol. Dahlan Jambek).

Tgl 7 Desember 1949, jam 11.25 sirene pertama berbunyi, suatu tanda bahwa tentera Belanda akan segera meninggalkan kota. Sirene kedua bernunyi, pasukan-pasukan R.I. Mulai memasuki Bukittinggi dari berbagai jurusan, sedangkan satuan Mobbrig masuk dari arah Tarok terus ke Birugo (kompleks polisi) dan kemudian membentuk satuan-satuan patroli.

Setelah penyerahan kota Bukittinggi, Padang Panjang dan lain-lainnya dari pihak tentera Belanda kepada pihak R.I. terakhir Padang secara resmi diserahkan pada 27 Desember 1949. Dalam rangka timbang terima masalah keamanan dari Belanda ke pihak Republik Indonesia di Padang, kesatuan Mobbrig dari Bukittinggi mendapat kepercayaan pula bersama dengan kesatuan-kesatuan angkatan lainnya untuk bertugas.

Dalam harian Haluan, 18 Maret 1982, terberita bahwa monumen perjuangan perlawanan rakyat bersama Mobbrig yang terletak di desa Palupuh Rimbopanjang Sumbar dalam waktu dekat akan dipugar. Bahwa pemugaran yang diprakarsai oleh Kapolri Dr. Awaluddin Djamin tersebut telah disepakati oleh seluruh lapisan masyarakat, ninik mamak dan pemuka-pemuka masyarakat, semoga akan terwujud dalam waktu dekat sebagai pelengkap dari tulisan-tulisan sejarah Front Palupuh yang telah terdapat dalam beberapa buku.

Adrin Kahar (Haluan Padang, 5 April 1982)

Sumber : disini

Pergolakan PRRI di Sumatera Barat

Kisah Tentara Banteng Raiders  Menyerang Kantor Dewan Banteng Masa Pergolakan PRRI

Penulis menyaksikan Tentara Banteng Raiders  sebagai bagian  dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mengambil alih  kantor Dewan Banteng dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan almarhum Letkol TNI Ahmad Yani (terakhir Pangad berpangkat Jendral yang meninggal sebagai korban G30 S PKI)) dari rumah penulis yang lokasinya persis didepan kantor tersebut. Suatu pengalaman yang tidak pernah dapat dilupakan seumur hidup.

Kisah ini ditulis saat kunjungan terakhir  Bulan Agustus 2010 saat upacara penguburan almarhum Ibu tercinta di Padang Panjang, setelah acara tersebut  nostalgia melihat bekas rumah  yang sudah dijual saat pindah ke Jakarta  dan oleh pemiliknya  didirikan Hotel Ambacang, yang hancur saat gempa besar tahun 2009 , sedih rasanya melihat rumah dimana kami sekeluarga tinggal dan dibesarkan sejak tahun 1950 hanya tinggal puing-puing di televisi  dan saat itu berupa tanah yang sedang diratakan.

Sedangkan kantor Dewan Banteng PRRI yang sesudah dibebaskan APRI dijadikan kantor POM TNI KODAM Tujuh Belas  Agustus (saat ini KOREM SUMBAR) masih berdiri megah.

Kisah ini adalah cuplikan sebagian  dari buku elektronik kreasi penulis yang belum dipublikasikan. Beberapa kisah menarik sebagai berikut:

1. Kisah Ultimatum 10 Februari  dan Porklamasi PRRI 15 Februari 1958

2. Kisah Kapal Perang APRI Membombardir Kota Padang 14 Juli 1958

Kapal Perang APRI dalam Operasi Militer 17 Agustus, membombardir kota Padang dengan Mortir dari Kapal Perang APRI sudah hampir sepuluh hari show of force di lautan Hindia didepan Pantai Kota padang, penulis melihat ratusan kapal besar kecil tersebut.

Pada tanggal 15 Juli 1958, sekitar  jam 02:00 wib  dini hari anggota militer kantor Dewan Banteng di depan rumah penulis di jalan Bundo Kandung no 16 (saat itu Jalan Gereja) mengedor pintu membangunkan almarhum ayah untuk mengajak mengungsi ke Ladang Padi dan Sukarami Solok yang dijadikan Markas baru, tetapi ayah tidak mau ikut , mereka mengatakan tentara Pusat maksudnya APRI akan menyerang dan menembak Kota Padang dengan Mortir. Pagi harinya ayah berangkat ke Sukarami dengan Paman untuk menjemput Uang untuk membayar alat-alat tulis milik Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya yang diambil oleh Tentara Dewan Banteng.

Saat ayah berangkat menuju Sukarami, jam 08:00 wib pagi tanggal 16 Juli 1958, terdengar tembakan Mortir yang bunyinya BOOM BOOM ….Sing..Sing…. ,bila bunyi mendesing berarti peluru mortir sudah lewat dan selamat. Kemudian siang hari suasana tenang, mulailah kami, saya dan kakak naik sepeda melihat rumah yang jadi korban, kantor Tentara bagian Zeni di pinggir Pantai Padang hancur, Rumah di Simpang Enam hancur, ini tembakan salah arah sebenarnya untuk Kantor KOMDAK (saat ini POLDA) PRRI di jalan Nipah, satu lagi peluru mortir jatuh di belakang Bioskop Karya tapi tidak meledak, salah arah sebenarnya ditujukan ke Kantor Dewan Banteng didepan rumah ,syukur rumah kami selamat.

Sore harinya syukur ayah selamat pulang kerumah dan berhasil memperoleh pembayaran atas alat tulis miliknya, saya salut pada tentara Dewan Banteng atas kejujuran mereka karena biasa saat genting seperti itu umumnya maen ambil semaunya dengan gratis.

Ayah membawa makanan lezat dari Sukaramai namanya Dendeng Batokok (diketok), masih say ingat saat makan malam dengan teman kakak ,tembakan mortir kembali mualai lagi, pembantu rumah tangga Kami namanya EKA ,saat bunyi BOOM BOOM segera sembunyikan kepalanya dibawah tungku Masak dari beton tetapi rokenya (bahsa slank minag buat bokong) masih kelihatan. Segera para wanita Ibu ,kakak dan adik sembunyi diruang perlindungan yang sudah diperdsiapkan satu minggu yang lalu dibuat dalam tumpukan karung berisi pasir mengeliling temapt tidur, tetapi karena seranggan bom mortir tambah genjar,serta lubang perlindingan sangat pengap, Para wanita dari keluarga kami malam tersebut saya dan akak lelaki mengantarkan mereka berlindung dirumah Paman di kompleks  kampung Pondok Namanya (sekarang jalan Niaga), hal ini dipurtuskan ayah berdasarkan pengalaman saat serangan pendudukan jepang tahnun 1942 yang lalu, Warga  di kampung Pondok juga telah mempersiapkan diri dengan perlindungan Polisi Rakyat (saat ini Satpam).

3. Kisah Penyerangan Kantor Dewan Banteng PRRI dikota Padang oleh Tentara Banteng Raiders.17 April 1958

Sejak pagi hari beberapa pesawat terbang melayang-layang diudara, penduduk kota Padang sangat gembira, karena ada pengumuman diradio bahwa ada bantuan pesawat terbang dari Armada ke tujuh Amerika Serikat yang sudah mangkal di Perbatasa dekat kepulauan RIAU, untuk menyelamatkan ladang minyak Caltex di Rumai Pakan Baru milik mereka, tetapi kemudian ternyata itu pesawat APRI dari operasi Militer untuk melindungi pendaratan Tentara Payung di Lapangan terbang Tabing dan pendaratan Marinir dan Banteng raiders  dengan kapal Amfibi di wilayah dekat lapangan terbang di muara sunggai Batng Kuranji di Air Tawar dekat kompleks UNAND (saat ini UNAS) dan Universitas Bung Hatta.(info dari koleksi buku lama milik penulis). Tentara PRRI lari liwat selokan dan berusaha menembak Kapal Terbang dengna senjata modern hadiah dari luar Negeri seperti Thompson, juga ada Basoka dan juggle riffle serta Mitraliur dsbnya yang penulis tidak kenal namanya ,yang didaratkan liwat kapal selam dua minggu yang lalu dalam kontainer yang tiba di panati Padang,banyak rakyat yang menyaksikan termasuk penulis karena tempat itu dekat kediaman.

Malam hari lampu mati, saya,ayah dan kakak lelaki Edhie serta pembantu Lelaki si Panjang  (sudah menjadi pembantu sejak saat Ayah masih kecil). Suasana sangat sepi tidak ada bunyi apapun, tidak ada satupunmanusia dan kendaraan dijalan depan rumah, gelap mencekam . Kami berempat melihat dari ruangan tamu depan rumah dengan  jendela  kaca ke arah Kantor Dewan Banteng,pembantu si Panjang ketakuatn dan  menepok nyamuk yang  mengigitnya sampai dilarang ayah untuk buat suara dengan berkata bahwa bila ribut akan ditangkap dan dibunuh Tentara Pusat (maksudnya APRI) .

Sekitar jam 11.00 malam, tiba-tiba terdengan bunyi ledakan beberapa buah granat diiringi suara derap sepatu bot tentara, saya melihat tentara dengan wajah yang sudah digelapkan dan memakai penyamaran berlari berliku-liku menuju kantor Dewan Banteng, setalh setenga jam suar ribut tembakan ,kemudian suasana jadi sunyi lagi. Kamipun pergi tidur,pagi-pagi jam enam pagi waktu melihat keluar halaman rumah, sungguh kaget ada lebih kurang limaratus tentara Banteng Raiders tidur bergelimpangan diahalman rumah yang luasnay 3500 meter persegi, tidur pulas dengan senjata dan ranselnya dan yang lainnya madi dengan tela njang terjun kedlam sumur air tanah milik kami sampai airnya hasib terkuras, tetangga kami yang tinggal dipaviliun rumah ,kemudian bercerita bahwa putrinya tertawa cekikikan karena mengintip tentara banteng Raiders mandi telanjang masuk sumur sampai dilarah ayahnya.

Saya salut komandan Banteng raiders dan anak buahnya tidak membangunkan kami, dan dengan ramah meyalami kami semua, mereka berkata kami sudah sepuluh hari tidak mandi,mohon maaf air sumurnya kotor dan hasibis karena anak buahnya sangat gerah,rupanya tentara PRRI tidak memberikan perlawan,mereka sudah lari kemarkasnya yang baru di Sukaramai Solok dan Muarapanas.

Pagi harinya tentara Banteng Raiders dari APRI saya lihat patroli menyisir kota Padang dalam bentuk regu berjalan berbaris satu persatu dengan senjata Karaben dengan sangkur terhunus ,kasihan senjatanya masih kuno sisa perang dunia kedua jauh dibandingkan dengan milit tentara PRRI. Sinag hari rakyat sudah mulai ramai dijalan  dan kemudian diperintahkan agar selama satu bulan smapai 17 Agustus 1958 bendera harus dinaikkan siang hari dan diturunkan malam hari. Sungguh saya terharu melihat perjuang Tentara APRI dalam rangka melindungi Sang Saka Merah Puti,kendatipun PRRI tetap mengunakan bendera yang sama .

Penulis melihat tukang rokok didepan rumah,dekat bekas  kantor Dewan banteng yang sudah dijadikan Markas POM TNI, dimarahi dan dihukum push up dan menghormat bendera Merah Putih karena bender dan tiangnya jatuh dihembus angin,juga malamnya ayah penulis dibawa Ke KODIM Padang untuk menerima teguran dan menanda tangani pernyataa agar tidak lupa menurunkan bendera Merah Putih mmalam hari yang ditaruk di tingkat dua dekat jendela Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya.

Kisah lengkap akan diadd ke web blog penulis, setelah dikoreksi oleh pembaca web tersebut akan diedit dan diterbitkan dalam bentuk buku elektronik edisi terbatas pribadi.Kisah tentang pergolakan PRRI sudah banyak ditulis anatra lain dalam koleksi penulis Buku PRRI dan PERMESTA, Buku Operasi Militer tujuh Belas Agustus Menumpas PRRI, ” Buku Ahmad Yani Sebuah Kenang-kenangan “tulisan Ibu Ahmad Yani  dengan sekelumit kisah profile Ahmad Yani.

Almarmuh Ahmad Yani menempa dan memantapkan Korps Banteng Raiders yang kemudian tahun 1958 dipimpinnya dalam operasi militer untuk memulihkan keamanan Sumatera Barat yang menjadi terganggu karena adanya PRRI. Pak Yani berangkat operasi tanggal 14 April 1958 dengan motto  “Bagi saya hanya ada dua alternatif, pertama : berkubur didasar lautan dan kedua ialah mendarat dikota Padang”.” (hal 170-197), Buku Autobiografi Kolonel Simbolon, Kisah PRRI dlam Majallah Angkatan darat 1958, serta beberapa koleksi arsip-arsip PRRI yang penulis temui saat bertugas di Sumatera Barat 1974-1989, termasuk koleksi pribadi foto rumah penulis dan Kantor Dewan banteng tahun 1958 serta koleski uang PRRI, banyak jenisnya ada dengan stempel walinegeri, beberapa jenis  Tanda tangan dan  salah satunya denagn stempel PRRI tanpa tanda tangan terbitan tahun 1959 saat pemerintah RI menarik seluruh uang dan didevalausi uang lima ratus dan seribu rupiah jadi  lima puluh dan seratus rupiah baru,tetapi pecahan seratus kebawah tidak didevalausikan , terpaksa PRRI yang memiliki banyak uang pecahan besar tersbut membuhuhkan stempel dan tanda tangan , lihat illustrasi dibawah ini.

Bila pembaca ingin membaca kisah yang lengkap tentang Pergolakan PRRI dan Operasi Militer  Tentara Banteng Raiders dibawah Pimpinan Alamarhum Jendral Ahmad Yani, silahkan klik web blog penulis dan ajukan permintaan buku elektronik terbatas tersebut sebagai pesanan sebab jumlahnya terbatas hanya seratus buku, bila PT Gramedia berkenan membeli Hak Cipta buku ini. akan diterima dengan senang hati.

Terima kasih atas kesedian pembaca membaca kisah singkat ini yang masih belum rapi dan masih banyak kekurangannya sehingga saran, tambahan ifo  dan koreksi dari Pembaca sangat penulis dambakan, agar dapat diedit jadi lebih sempurna mungkin maklum saya bukan penulis profesional.

Sekian @hakcipta Dr Iwan Suwandy 2010.

Sumber

Dewan Banteng dan PRRI

Ini merupakan rangkaian tulisan Syafri Segeh di Padang Ekspress, Sangat penting juga bagi generasi muda minangkabau memahami PRRI.

Dewan Banteng dan PRRI (1)

Oleh : Syafri Segeh, Wartawan Senior Sumatera Barat

WALAUPUN antara Dewan Banteng yang dibentuk tanggal 20 Desember  1956, 52  tahun yang lalu, dan Pemerintah  Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan oleh Dewan Perjuangan (bukan oleh Dewan Banteng) tanggal 15 Pebruari 1958, 50 tahun yang lalu, ibarat mata uang logam yang satu sisinya hampir sama dengan sisinya yang lain, namun berbeda tujuan, “seiring batuka jalan”.

Maksudnya walaupun Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng di satu sisi, tetapi di sisi lain Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang memproklamasikan PRRI. Dewan Banteng dibentuk bertujuan untuk membangun Daerah sedangkan PRRI membentuk Pemerintahan tandingan melawan Pemerintah Jakarta yang sah waktu itu.

Gagasan membentuk Dewan Banteng timbul di Jakarta pada 21 September 1956 dari sejumlah Perwira Aktif dan Perwira Pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah dulu setelah mereka melihat nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang Kemerdekaan melawan Belanda tahun 1945 -1950, keadaan Kesehatan amat sederhana, anak-anak mereka banyak yang menderita penyakit dan kematian.

Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentera Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Para perwira aktif dan perwira pensiunan dari eks. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang Kemerdekaan, hidup mereka semakin susah,tidak bertemu janji keadilan dan kemakmuran bersama itu.Pemerintah Pusat lebih mementingkan Daerah Pulau Jawa ketimbang Daerah diluar pulau Jawa dalam hal pembagian “kue” pembangunan, sedang daerah di luar pulau Jawa adalah penghasil devisa yang terbanyak.

Pertemuan sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan eks. Divisi Banteng di Jakarta itu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan Reuni di Padang dari perwira-perwira aktif dan pensiunan eks. Divisi Banteng pada tanggal 20 –24 Nopember 1956 yang pada pokoknya membahas masaalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah. Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan dari eks. Divisi Banteng itu akhirnya membuat sejumlah keputusan yang kemudian dirumuskan di dalam tuntutan Dewan Banteng.

Untuk melaksanakan keputusan-keputusan Reuni itu,maka dibentuklah suatu Dewan pada tanggal 20 Desember 1956 yang dinamakan “ Dewan Banteng”mengambil nama Banteng dari Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Di dalam perang Kemerdekaan tahun 1945 -1950 melawan Belanda dulu di Sumatera Tengah dibentuk sebuah Komando militer yang dinamakan dengan Komando Divisi IX Banteng.

Sesudah selesai perang Kemerdekaan dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1950, maka Komando Divisi Banteng ini diciutkan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh dan Jawa Barat. Pengalaman yang sangat menyedihkan dialami oleh Batalyon “Pagar Ruyung” yang sesudah bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukannya dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan induk pasukannya Divisi Banteng diputus.

Terjadi berbagai hal sehingga ada yang meninggal dunia dan ditahan. Komando Divisi Banteng makin lama makin diciutkan, sehingga akhirnya tinggal satu Brigade yang masih memakai nama Brigade Banteng, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein. Kemudian pada bulan April 1952 Brigade Banteng diciutkan menjadi satu Resimen yang menjadi Resimen Infanteri 4 di dalam Komando Tentera Teritorium (TT) I Bukit Barisan (BB) di bawah Komando Panglimanya Kolonel Simbolon.Letkol. Ahmad  Husein diangkat kembali menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB itu.

Pemecahan Batalion-batalion dan pembubaran Komando Divisi Banteng itu menimbulkan bibit-bibit dendam dari para pejuang perang Kemerdekaan melawan Belanda yang bernaung di bawah panji-panji Divisi Banteng itu. Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang dari Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.

Lengkapnya susunan Pengurus Dewan Banteng itu adalah :Ketua,Letkol, Ahmad Husein,Komandan Resimen Infanteri 4, Sekretaris Jenderal Mayor (Purn) Suleman, Kepala Biro Rekonstruksi Nasional Sumatera Tengah, sedangkan anggota-anggotanya adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah, Sutan Suis, Kepala Polisi Kota Padang, Mayor Anwar Umar, komandan Batalion 142 Resimen 4. Kapten Nurmatias Komandan Batalyon 140, Resimen Infanteri 4. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung, Bupati 50 Kota, Ali Luis Bupati d/p di Kantor Gubernur Sumatera Tengah, Syekh Ibrahim Musa Parabek Ulama, Datuk Simarajo, Ketua Adat (MTKAAM).

Kolonel (Purn) Ismael Lengah, Letkol (Purn) Hasan Basri (Riau), Saidina Ali Kepala Jawatan Sosial Kabupaten Kampar, Riau, Letnan Sebastian Perwira Distrik Militer 20 Indragiri, Riau, a. Abdulmanaf, Bupati Kabupaten Merangin, Jambi, Kapten Yusuf Nur, Akademi Militer, Jakarta dan Mayor Syuib, Wakil Asisten II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta.

Selain itu Dewan Banteng didukung oleh segenap Partai Politik, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), juga didukung oleh segenap lapisan masyarakat seperti para pemuda, alim ulama, cadiak pandai, kaum adat sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”. (Sumber)

Next>