KENANGAN MASA PRRI (1)

1. Awal Cerita

Aku memanggilnya mak etek. Mak etek Jun. Namanya Junaidi. Usianya sudah lebih tujuh puluh tahun. Tapi sosok tubuhnya masih gagah. Giginya masih utuh. Kecuali rambut ikalnya yang sudah hampir putih semuanya, beliau terlihat lebih muda dari usianya. Mak etek Jun adalah seorang pensiunan guru. Terakhir, sebelum pensiun, beliau menjadi kepala sekolah dasar di kampung kami.

Kalau lagi pulang kampung, aku suka sekali berkunjung ke rumah mak etek Jun. Selalu saja menarik berbincang-bincang dengan orang tua ini. Cerita apa saja. Masalah keadaan kampung, masalah pendidikan anak-anak, masalah politik ala kadarnya, masalah korupsi. Karena beliau memang seorang pengamat yang baik untuk hal-hal semua itu. Namun yang paling aku sukai adalah cerita tentang pengalaman masa muda beliau ketika ikut bergerilya di jaman PRRI.

Pada kunjunganku terakhir aku melihat sebuah foto hitam putih berukuran besar tergantung di dinding. Foto seorang laki-laki bagurambeh. Berjanggut dan bercambang lebat. Itu adalah foto beliau di waktu muda, karena sangat jelas terlihat wajahnya meski dibalut cambang dan janggut seperti itu.

‘Kok baru kelihatan foto yang satu ini, mak etek?’ aku berkomentar.

‘He..he..he.. Itu foto kenang-kenangan waktu baru balik dari rimba dulu. Si Pinto yang menemukan, lalu diperbesarnya dengan komputer, jadilah seperti itu. Dia pula yang membingkai dan meletakkan di situ,’ jawab mak etek Jun.

Pinto adalah cucu kesayangan mak etek yang sudah duduk di kelas tiga SMP.

Aku mendekat ke dinding tempat foto itu tergantung untuk mengamatinya lebih jelas. Ada catatan tanggal dan tahun di bawah foto itu.

‘Tahun 1961? Belum pernah ambo melihat mak etek seperti dalam foto itu. Bagaimana pula ceritanya sampai bergurambeh lebat begitu?’ tanyaku.

‘Di hutan itu di mana pula ada pisau cukur. Paling ada gunting kecil untuk memangkas misai. Karena bertahun-tahun dibiarkan, jadilah seperti itu,’ jawab mak etek tersenyum.

‘Gagah dan berwibawa terlihatnya,’ aku menambahkan.

‘Mungkin maksudmu mengerikan ha..ha..ha… ‘ mak etek terbahak-bahak.

Aku tersenyum.

‘Semua teman mak etek di luar seperti itu?’

‘Tentu tidak…. Ada yang memang berbakat. Badannya penuh bulu. Tapi banyak juga yang kelimis.’

‘Sampai seperti yang di foto itu…. Sudah berapa lama itu tidak dicukur?’

‘Sejak lari ke luar hanya dua atau tiga bulan pertama saja masih sempat mengurusnya. Sesudah itu tidak pernah lagi.’

‘Ulang pulalah cerita mak etek tentang lari ke luar itu. Masih ada yang belum ambo dengar. Bagaimana awalnya mak etek sampai ikut?’ tanyaku.

Mak etek Jun menarik nafas. Matanya sedikit menerawang. Mungkin sedang menjemput ingatan lama.

‘He..he..he.. Begini….,’ beliau mengawali.

Aku mempererat duduk, bersiap mendengar cerita yang biasanya akan cukup panjang.

‘Aku sudah mengajar di sekolah rakyat ketika perang pecah. Dulu, tamat dari SGB kami sudah diangkat jadi guru. Aku mengajar di Lambah. Berjalan kaki menyeberangi jalan kereta api dan jalan raya di Biaro. Pernah pada suatu siang, pulang sekolah, aku dihentikan tentara APRI di jalan raya itu. Mereka baru berani beroperasi di jalan raya, belum berani masuk ke jalan-jalan kampung. Mereka banyak sekali. Ada empat buah truk tentara dan tiga buah jip Rusia berhenti di tepi jalan. Mereka memeriksa dan membentak-bentak. Setiap penumpang bendi yang datang dari arah Bukit Tinggi disuruh turun. Barang belanjaan ibu-ibu diperiksa. Entah apa yang mereka cari. Ada beberapa orang laki-laki yang disuruh naik ke atas truk. Untungnya, kami guru-guru selalu membawa surat keterangan dari kepala sekolah yang menyatakan bahwa kami adalah guru. Waktu surat itu aku perlihatkan, tentara yang tadinya membentak-bentak sambil menyorongkan bedilnya ke arah dadaku, tidak lagi marah-marah dan aku dibiarkan meneruskan perjalanan pulang ke rumah.

Beberapa waktu kemudian, saat kami sedang liburan sekolah. Kami sedang mengirik padi di sawah di Bandar Panjang. Kecuali aku, yang bekerja siang itu semua orang tua-tua yang sudah berumur lebih lima puluh tahun. Kira-kira jam sebelas kami dengar derung mobil tentara di kejauhan. Mamakku, mak Endah menyuruh aku pergi bersembunyi. Tapi ada pula mamak yang lain, mak Malin menyuruh tinggal. ‘Kalau kau lari, bertemu di jalan, alamat kau akan dibedilnya. Lebih baik kau di sini saja,’ kata mak Malin.

Akupun lebih memilih untuk tidak pergi. Beberapa saat kemudian kami dengar beberapa kali bunyi tembakan. Mamak-mamak itu sama bergumam, mempertanyakan entah siapa pula yang sudah kena tembak. Tiba-tiba saja, telah muncul tiga orang tentara APRI, menuju ke arah kami sambil menodongkan senjata. ‘Angkat tangan,’ perintahnya. Aku memberi contoh bagaimana mengangkat tangan, karena ada di antara mamak-mamak itu yang tidak faham.

‘Kau…..! Kesini kau!’ perintahnya padaku. Akupun mendekat.

‘Kau pemberontak!’ hardiknya. Ujung bedilnya menempel di pelipisku. Aku berusaha tenang. Lalu aku jawab, bahwa aku seorang guru.

‘Bohong kau! Mana surat-surat!’ hardiknya pula.

‘Kami sedang bergotong royong. Saya tidak membawa surat-surat,’ jawabku.

‘Bohong!’ bentaknya lagi.

Kali ini aku ditamparnya, persis di mukaku. Bukan main sakitnya. Tapi yang lebih sakit adalah hatiku. Tentara itu mungkin seumur denganku. Dan aku ditampar perai saja. Mana mungkin aku membalas. Pondok kami diusainya. Mungkin dia curiga kalau-kalau ada senjata tersembunyi di sana. Mamak-mamak yang lain ditanyainya pula satu persatu. Mak Endah, mamakku yang memang terlihat tegap juga ditamparnya. Entah apa masalahnya aku tidak tahu.

Aku dan dua orang dari mamak-mamak itu dibawa mereka pergi. Agak kecut juga hatiku kalau-kalau aku akan dibedilnya pula. Rupanya kami dibawa ke Lasi. Di sana kami disuruh menggali lobang di sekitar sebuah rumah. Rumah itu mereka rampas untuk jadi markas. Ada puluhan orang yang bekerja paksa di sana, semua orang-orang yang mereka tangkap hari itu dari beberapa kampung.

Sorenya mak ditemani mak tuoku datang ke Lasi membawa surat keteranganku. Komandan mereka lebih ramah kepada orang-orang tua itu. Aku dipanggil anak buahnya untuk menghadap. Tentara itu minta maaf atas perlakuan anak buahnya kepada kami. Dan sore itu kami semua diizinkan pulang.

Tapi maaf tinggallah maaf. Hatiku sudah bulat. Selama bekerja membuat lobang itu otakku berpikir keras tentang pergi bergabung dengan tentara luar. Aku akan segera melakukannya. Aku akan membalas kekurangajaran tentara-tentara keparat ini. Yang telah menamparku. Memaksaku bekerja. Mereka adalah manusia-manusia tidak tahu sopan santun. Main bentak dan main tampar bahkan terhadap orang-orang tua yang pada hal adalah rakyat sipil. Dan entah berapa orang pula orang kampung yang mereka tembaki hari itu. Mereka memang tentara-tentara bengis dan semena-mena.

Dalam perjalanan pulang mak tuo bercerita bahwa di kampung kami saja siang hari itu empat orang anak muda lagi mati tertembak. Anak-anak muda yang berusaha menghindar waktu bersirobok dengan mereka. Anak-anak muda yang diteriaki supaya mengangkat tangan tapi tidak segera mengangkatnya. Mereka ditembak dari belakang. Ada yang kepalanya pecah. Yang dadanya rengkah. Yang perutnya terburai. Darahku tambah mendidih saja mendengar cerita itu. Meskipun sampai sejauh ini aku selamat berkat surat keterangan guru, bukan tidak mungkin, jika aku tetap bertahan di kampung besok atau lusa mereka akan menembakku pula.

Sesudah makan malam hari itu, secara tidak langsung aku beritahu mak bahwa aku akan ikut tentara luar. Beliau tidak setuju. Tapi aku jelaskan betapa besarnya resiko bagiku untuk tetap tinggal di kampung. ‘Apakah mak mau ambo mati serupa si Pudin pula?’ kataku. Si Pudin adalah kemenakan ayah yang ditembak tentara beberapa hari sebelumnya. Mak menangis malam itu. Beliau sangat faham tentang resiko dan kemungkinan itu.

Malam itu juga aku pergi menemui tuan Asmar. Beliau ini wali jorong. Tuan Asmar adalah penghubung dengan komandan tentara luar. Beberapa anak muda dari kampung kami yang sudah lebih dahulu pergi, memulai kontaknya melalui tuan Asmar. Kepada tuan Asmar aku sampaikan niatku itu. ‘Sebenarnya kalau kau siap, malam ini juga kau bisa ikut dengan mereka. Kau tunggulah disini. Biasanya mereka datang lewat tengah malam. Tapi kalau kau belum siap, biarlah aku sampaikan saja dulu niatmu itu kepada Tan Basa. Nah! Bagaimana pendapat kau?’ tanya tuan Asmar. Waktu itu sebenarnya aku siap saja. Tapi terpikir pula bahwa aku belum minta izin dengan bersungguh-sungguh kepada mak. Aku yakin beliau akan mengizinkan sesudah aku menjelaskan niatku tadi. Kusampaikan seperti itu dan tuan Asmar memahaminya.

Dua hari kemudian aku sudah benar-benar siap. Mak mengizinkan meski dengan tangis dan air mata. Jam sembilan malam aku berangkat dari rumah menuju rumah tuan Asmar. Dan malam itu aku ikut rombongan mak Tan Basa. Nama beliau Harun. Tentara berpangkat letnan. Sejak saat itu resmilah aku menjadi anak buah beliau.’

Aku mendengar cerita panjang mak etek Jun dengan mata tak berkedip.

‘Langsung diangkat jadi tentara? Maksud ambo, mak etek langsung diberi senjata?’

‘Tidaklah. Aku dilatih dulu. Bukan latihan baris berbaris, tapi latihan mempergunakan senjata. Sejak dari cara membersihkan sampai cara mempergunakannya.’

‘Berapa lama latihannya itu?’

‘Hanya beberapa pekan saja.’

Terdengar azan asar. Kami mengakhiri obrolan sampai di situ.

Sumber

Penyerbuan Tabing

OLEH: DASRIELNOEHA

Air Tawar terletak kira-kira 7 kilometer dari Padang arah jalan ke Bukittinggi.
Disini terletak dua kampus perguruan tinggi yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang, dan Universitas Andalas (Unand).
Kedua kampus ini berdampingan ibarat saudara kembar.

IKIP mendidik mahasiswanya menjadi guru, sedangkan Unand mendidik mahasiswa menjadi sarjana beberapa ilmu terapan seperti Ilmu dan Teknologi Pertanian, Ilmu dan Teknologi Peternakan, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Sedangkan untuk sarjana Hukum terletak di Muaro, Kedokteran di Pondok dan Jati, serta Ekonomi juga di Jati.

Pada tahun 1957, saat akan meletus peristiwan PRRI, mahasiswa IKIP dan Unand sedang asyik-asyiknya kuliah.
Namun, semuanya berubah setelah adanya pengumuman di Sungai Dareh atas berdirinya PRRI.
Ahmad Husein menghimbau partisipasi generasi Sumatera Barat untuk ikut andil mempertahankan martabat daerah yang sedang diinjak-injak oleh pemerintah pusat.
Dalam pidatonya di lapangan sepak bola di depan Fakultas Peternakan, pada bulan January 1958, apa apel mahasiswa Unand, Husein berpidato berapi-rapi akan perlunya Sumbar bangkit untuk memajukan daerah termasuk Unand dan IKIP, yang dikatakan sedang dianak tirikan oleh Pusat dibanding dengan UI, Gajahmada di Jawa.
Makanya kita harus berani melawan pusat untuk menuntut hak kita, demikian Husein membakar semangat mahasiswa waktu itu.

Makanya setelah 15 February, dilakukan pendaftaran besar-besaran tentara pelajar yang diikuti oleh ratusan mahasiswa Unand dan IKIP serta ada juga pelajar STM dan SMA di beberapa kota di Sumbar, ramai diikuti oleh mereka.

Terbentuklah beberapa kompi pelajar, yang dilatih secara kilat bagaimana cara menggunakan senjata dan bertempur.

Sebenarnya waktu latihan yang pendek itu hanya lebih banyak pada kegiatan baris berbaris dan pidato untuk membangkitkan semangat bertempur, belumlah cukup untuk menguasai ilmu perang dan kemiliteran secara benar.

*
Anisah, gadis kelahiran Solok, ikut mendaftar jadi anggota palang merah.
Waktu itu Anisah masih kuliah di IKIP jurusan Bahasa Indonesia.

Kemaren ia pulang kampung.
Ayah Anisah, Mak Kari yang jadi guru sekolah rakyat di Solok juga ikut PRRI. Kari diajak oleh mamak rumahnya kopral Salim yang telah jadi tentara dan anak buah Pak Husien.
Waktu Anisah mengatakan dan minta ijin ajahnya mau ikut palang merah di Padang, ayahnya menyetujuinya.
Hanya ibunya yang keberatan. Maklumlah Anisah adalah putri satu-satunya. Adiknya masih duduk di SMA Solok dan itu laki-laki.

Tapi setelah Anisah mengatakan bahwa tugas palang merah adalah hanya di rumah sakit dan tidak ikut perang, ibunya akhirnya mengalah.

Anisah mempunyai pomle seorang mahasiswa fakultas Peternakan Unand bernama Rustam. Rustam anaknya ganteng. Rambut ikal lebat dan dagunya kekar dengan sedikit brewok. Maklumlah ia anak seoarng nelayan dari Naras dan juga pesilat tangguh.

Mereka saling mencintai satu sama lain.

Sebelum Anisah meminta ijin ayahnya untuk masuk palang merah, ia telah mendiskusikan hal itu dengan Rustam kekasihnya.

*
Pantai Padang sore itu kembali ramai oleh pasangan anak muda yang menikmati deburan ombak pantai.
Deburan ombak itu membawa alunan suara cinta yang merasuk kedalam sukma para pasangan remaja yang menikmatinya dengan duduk di loneng tembok pantai, di kerimbunan pepohonan yang tumbuh di pantai itu.
Mereka sedang berpomlean.

Para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk melaut.
Setiap sore sebuah perahu nelayan yang dimuati dengan bekal untuk perjalanan semalam dan sebuah lampu sitarongkeng dinaiki oleh tiga orang nelayan.
Setelah didorong ketengah air, lalu mereka mendayung sekitar satu jam ketengah untuk memancing ikan ambu-ambu dan ikan pinang-pinang yang pada musimnya banyak di laut.

Sore itu pulang kuliah di Pantau Padang di Muaro.
Sepasang muda mudi sedang asyik duduk makan rujak di kedai di pinggir pantai Padang yang terkenal itu.
Ada banyak kedai rujak dan limun yang dibangun oleh para isteri nelayan di pantai itu.

Rustam dan Anisah, seperti pasangan lainnya sedang memandang indah deburan ombak pantai Padang yang seakan nyanyian asmara yang mengalun indah.

Rustam mengajak Anisah turun ke air.
Sambil berjalan memainkan ombak di kaki dan bergandengan tangan dua muda mudi yang dimabuk asmara itu berjalan gontai.

”Sah, saya telah mendaftar menjadi tentara kemaren”, kata Rustam memecah kesunyian mereka.

Suara Rustam terdengar seperti getaran petir di telinga Anisah. Suara itu diselingi oleh gempuran ombak pantai yang berdebur dengan suara gemuruh.
Suara ombak pantai Padang memang spesifik. Sering dijadikan madah buat lagu asmara.

”Uda, sudah mendaftar kemaren”, Anisah mengulang dengan pertanyaan.

”Ya Sah, saya dan enam orang teman mendaftar di Dodik Simpang Haru. Minggu depan kami akan menjalani latihan di Padang Besi Indarung. Ada banyak juga mahasiswa Unand yang mendaftar. Juga banyak temanmu dari IKIP yang ikut”, kata Rustam.

Anisah hanya terdiam. Sambil mempererat genggamannya di tangan Rustam, ia berhenti melangkah.

Sekarang di pipinya yang bak pauh dilayang, mengalir dua butir air bening. Ia tahu apa artinya mendaftar jadi tentara pelajar. Minggu lalu sewaktu Letkol Husein berpidato di lapangan sepakbola didepan kampus IKIP, ia mendengar bahwa sekarang perjuangan suci mengadapi perang dengan tentara pusat seakan menjadi panggilan bagi para mahasiswa.
Perang, ya perang, berulang Husien mengatakan kata-kata itu dalam pidatonya.

Perang berarti menggunakan senjata untuk saling bunuh.
Akankah nantinya Rustam ikut terbunuh?
Itu yang ada dibenak Anisah sekarang.

”Anisah, kenapa kenapa Isah menagis”, tanya Rustam.

”Saya tidak mau kehilangan uda Rustam”, kata Anisah pelan.

”Saya tidak akan terbunuh sayang. Dan lagi soal mati hidup, kan ada di tangan Tuhan. Isah tidak usah ragu melepas uda”, kata Rustam membujuk.

”Da, perang ini tidak tahu kapan usainya. Yang jelas pasti tentara pusat akan segera kemari. Uda akan bertempur. Dan uda akan jadi korban..

Air mata Anisah semakin deras. Rustam mengambil ujung selendang Anisah. Ia mengusap pipi lembut kekasihnya. Basah selendang itu kini.

”Kalau begitu, Anisah minta ijin uda untuk daftar jadi palang merah. Kemaren Putri mengajak Anisah untuk mendaftar”, kata Anisah.

”Jangan sayang, kamu tinggal di kampus sajalah. Kasihan kuliahmu kan tinggal setahun lebih saja lagi.

”Uda, aku juga mau turut menyumbangkan tenagaku untuk daerah kita. Toh sudah pasti kuliah akan tutup selama pergolakan”, kata Anisah.

Mereka kembali ke pondok jualan.
Rujak yang tadi mereka pesan telah hampir habis.
Rustam memanggil Etek Ami penjual rujak. Dan ia membayar dua piring rujak yang mereka pesan.

”Kamu pasti tidak akan diijinkan oleh ayahmu. Sudah minta ijin belum”, tanya Rustam.

”Belum da, besok rencananya Isah mau pulang. Putri juga pulang. Sekalian siap-siap untuk latihan di Rumah Sakit tentara Simpang Haru.

”Ya, kalau memang ayahmu mengijinkan, baiklah mari kita sama-sama berjuang. Kalau umur kita sama panjang, dan jodoh kita direstui Tuhan, kita akan tetap ketemu”, kata Rustam sambil merangkul bahu Anisah.

”Yang jelas saya tidak mau kehilangan kamu dewiku”, kata Rustam.

Hari semakin petang. Sebentar lagi maghrib akan datang. Rembang petang matahari mau turun di ujung kaki langit di lepas laut sana memang indah.
Warna langit yang kuning kemasan bercampur kemerahan perlahan turun ke kaki langit.

Mereka beranjak pergi. Naik oplet kearah Air Tawar.
Dua sejoli itu duduk terdiam di atas oplet tua jeep Wilis yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu.
Sebentar lagi mereka akan berpisah. Dipisahkan oleh pergolakan daerah yang mereka akan turut ambil bagian di dalamnya.

*
Hari baru jam sembilan di Air Tawar.
Hanya beberapa mahsiswa IKIP yang terlihat pergi kuliah pada pagi itu.
Unand telah dua minggu libur. Karena beberapa dosen ada yang ikut latihan di Padang Besi.
Yang tidak mendaftar jadi tentara memilih pulang kampung.

”Assalamualaikum”.

”Wa alaikum salam, eh uda Rustam”.

Rustam muncul pagi itu di tempat kos Anisah di Air Tawar.

Anisah sudah memakai pakaian putih-putih. Ia bersiap akan menuju Simpang Haru rumah sakit tentara tempat ia kini mulai bertugas jadi perawat yang disebut anggota palang merah.

”Sudah mau berangkat Sah”, tanya Rustam.
”Ya da, saya barusan mau menyetop oplet ke Simpang Haru”, kata Anisah.

Rustam datang dengan pakaian tentaranya. Sebuah senjata LE tersandang dibahunya.

”Uda kelihatan gagah dengan seragam ini”, kata Anisah.

”Isah juga makin cantik dengan pakaian palang merah”, balas Rustam.

”Sah, keadaan semakin genting. Tadi malam kami di berikan briefing oleh komandan di asrama Simpang Haru. Semua pasukan disiagakan. Kita sedang siaga satu menghadapi peperangan. Aku diperintahkan bersama kompi B Mawar bertugas di sekitar lapangan Tabing. Dan kompi A Melati bertugas di sepanjang pantai Ulak Karang.
Menurut berita intelijen, akan ada pendaratan pasukan APRI hari ini.
Sah, keadaan serius sekarang.
Kalau terjadi sesuatu pada kita, saya mohon kerelaan Isah”.

Rustam mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong celananya. Ia berikan kepada Anisah.
Anisah mulai basah matanya. Ia mengerti ari kata Rustam barusan. Akan ada perang sebentar lagi.

Ah, kenapa harus ada perang? Kenapa Husein tidak mau mengalah dengan pemerintah pusat? Kenapa pula harus berontak? Pertanyaan itu menggayut di benak Anisah. Seperti itu pula pertanyaan di sebahagian tentara PRRI muda yang di gabung dalam kompi pelajar itu.

”Sah, ini sebuah cincin yang saya beli di toko emas di Padang kemaren. Isah simpanlah cicncin itu. Cincin itu bertuliskan nama kita. Ia menjadi saksi cinta kita berdua”.

”Uda, kita harus segera bicara dengan ayah saya. Juga kita harus ketemu mak dan abak uda. Kita bicarakan ke pada mereka. Mari kita langsung bertunangan saja.
Ibu saya pernah menanyakannya kemaren sewaktu minta ijin menjadi palang merah”, kata Anisah.

”Sebenarnya memang baiknya begitu Sah. Tapi sekarang waktunya kelihatannya tidak mungkin lagi. Pakailah cincin itu. Anggaplah kita sudah berikatan”.

Anisah membuka kotak beledru biru itu. Sebuah cincin emas seberat 8 gram berkilauan. Di bagian dalam bertuliskan ”Anisah-Rustam”.
Rustam memasukkan cincin itu ke jari Anisah.
Cincin polos berbentuk ring itu pas benar di jari manis Anisah.

Tiba-tiba terdengar sayup-sayup dengungan pesawat terbang. Makin lama deru mesinnya makin keras.
Rustam melihat kelangit arah ke Gunung Padang. Dari sana di balik awan kelihatan iringan pesawat terbang.

”Isah, cepat sembunyi. Mereka telah datang. Aku harus segera gabung dengan pasukanku”.

”Jaga diri uda”.

”Assalamualaikum”.

Rustam terus berlari ke arah mudik. Larinya cepat menuju ke lapangan udara Tabing bergabung dengan pasukannya.

Ada lima pesawat terbang berputar-putar disepanjang pantai antara Ulak Krang dengan Tabing.
Kelihatan dengan jelas dari perut pesawat keluar pasukan payung terjun dari udara.
Paling banyak diterjunkan di sekitar lapangan udara Tabing.
Segera saja terjadi pertempuran di sana.

Rupanya itu adalah pasukan payung tiruan. Ternyata yang diterjunkan yang pertama itu adalah boneka kayu yang didandani mirip tentara yang berbaju loreng.
Pasukan PRRI yang kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa dan pelajar itu tertipu. Mereka menembaki boneka kayu itu.
Peluru banyak yang mereka habiskan percuma.
Komandan kompi becarut bungkang.

”APRI kalera, dikicuhnya awak”.

Danki segera berlari sambil menunduk, dan bersusah payah mengumpulkan anak buahnya sekitar Tabing.
Segera ia kembali mengumpulkan pasukan untuk konsolidasi.

Lima pesawat yang pertama kedengaran menjauh. Tetapi segera diganti dengan kedatangan tiga pesawat pembom dan dua pesawat penerjunan pasukan.
Kembali pasukan payung terjun di seputar bandara.
Kali ini lapangan udara Tabing dihujani oleh bom dari pesawat.

Pasukan loreng yang terjun kali ini benar pasukan dari APRI.
Kembali terjadi tembakan seru. Pertempuran kembali pecah. Pasukan APRI yang terlatih perang dari kesatuan lintas udara Brawijaya dan Siliwangi berhadapan dengan pasukan PRRI yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar yang masih hijau dengan suasana pertempuran.
Sungguh tidak seimbang keadaan perang siang itu. PRRI segera menjadi sasaran empuk pasukan APRI.

Hanya lima belas menit lapangan udara Tabing dikuasai oleh pasukan pemerintah pusat.

Para pasukan kompi B dan kompi A banyak yang menjadi korban. Yang luka dan masih hidup segera di tawan. Mereka dikumpulkan di hanggar lapangan udara.

*
Sejak mendengar bunyi pesawat pagi itu, dan setelah Rustam lari kearah Tabing, Anisah kembali masuk ke kamarnya.
Ia mengambil tas palang merah. Ia tidak jadi ke rumah sakit di Simpang Haru.

Anisah menyetop oplet menuju ke Tabing.
Setelah turun dari oplet, Anisah berlari kearah lapangan terbang.
Pertempuran terjadi di sana.

Banyak korban berjatuhan di pihak PRRI. Tentara yang masih muda-muda itu meringis dan meregang nyawa tersambar pecahan peluru mortir.
Mereka diserbu oleh pasukan APRI.

Anisah segera menolong para korban pertempuran itu. Baju putihnya kini sudah terpercik oleh darah para korban.

Di ujung landasan, dibawah pohon ketapang, seseorang menyeret badannya yang telah berlumuran darah.

”Tolong”, panggil orang itu.

Anisah segera berlari kearah orang itu.
Disampingnya empat mayat telah tercabik pecahan bom.

”Uda”, Anisah terpekik manakala melihat yang terluka berat itu adalah Rustam kekasihnya.

”Sah”, kata Rustam parau. Dari mulutnya keluar darah. Punggungnya robek kena pecahan bom.

Anisah segera membuka tas palang merahnya. Perbannya sudah habis terpakai untuk membalut luka para korban.
Sambil menangis ia membuka baju Rustam. Air matanya makin deras melihat dada bidang kekasihnya berlumuran darah.
Dua botol obat merah yang masih tersisa ia tuangkan ke luka Rustam. Rustam terluka parah. Ia kebatkan baju Rustam ke punggungnya yang ternganga. Darah terus mengalir.

Kaki kirinya juga patah dan terlihat tulang keringnya. Anisah membuka bajunya. Ia tidak peduli walau hanya tinggal kutang saja. Kulit putihnya belepotan darah Rustam. Kaki itu ia balut dengan robekan bajunya.

”Sah, jaga dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku mulai kabur Sah”, kata Rustam tertahan-tahan.
Rustam kehilangan banyak darah. Itu membuatnya lemah dan hampir pingsan.

”Uda luka parah, jangan banyak bicara dulu”, kata Anisah sambil menangis.
Anisah memeluk tubuh kekasihnya.
Jemarinya ia sisirkan ke rambut ikal Rustam.
Rustam tersenyum kepada kekasihnya.

Kabut mesiu masih tebal di seputar lapangan terbang. Tembakan masih terdengar sayup-sayup di pantai. Rupanya ada pertempuran juga di sana. Pasukan katak angkatan laut mendarat di pantai Tabing.
Mereka segera mengadakan pembersihan dan memburu para PRRI yang ada di pantai.

”Sah, aku cinta padamu. Selamat ting…gal..Sah”.

Sambil tersenyum di bibirnya akhirnya Rustam menutup matanya.
Rustam membawa cinta Anisah bersama nyawanya yang melayang ke angkasa di lapangan udara Tabing. Rustam terkorban oleh pertempuran pagi itu.

Anisah meraung sambil tetap memeluk jasad Rustam.

”Udaaaa”.

Tragedi itu telah terjadi.
Dua kekasih itu telah terpisahkan oleh maut. Maut itu sungguh cepat datangnya. Pagi jam sembilan tadi mereka masih saling tersenyum menyatakan cinta mereka. Mereka masih saling mencium cincin pemberian Rustam.
Kini salah satu telah tiada.

Perang memang kejam. Perang hanya menyisakan duka dan nestapa. Cinta dua anak manusia, Anisah dan Rustam terenggut siang itu.

Rustam telah pergi. Ia menjadi korban pertempuran di lapangan udara Tabing antara PRRI dengan APRI.

Anisah memandang tubuh Rustam yang telah kaku. Ia menggenggam tangan kekasihnya itu.
Air matanya makin deras.

”Udaaa”, suara Anisah parau. Separau cintanya yang kandas.

Ia memandang muka Rustam. Sesungging senyuman terbayang di bibirnya. Wajah ganteng kekasihnya itu mulai kelihatan membeku. Anisah mengusap muka itu. Ia memegang brewok yang mulai tumbuh lebat di wajah itu.
Tangan Rustam ia lipatkan di dadanya.
Tangan Anisah berlumuran darah Rustam, di jari manisnya lekat sebuah cincin yang diberikan Rustam tadi pagi, terbungkus darah Rustam sendiri.
Rustam telah pergi selamanya membawa cinta mereka berdua.

Pesawat udara AURI telah menghilang.
Bekas pemboman meninggalkan lobang di landasan pacu. Asap mesiu bekas pertempuran masih tercium.

Anisah masih terpana dan berlinang air mata.
Ia masih memangku jasad Rustam.
Jasad yang masih tersenyum dan berkata-kata jam sembilan pagi tadi. Sekarang telah hilang nyawanya bersama cinta mereka yang telah dihancurkan oleh peperangan.

Sumber

Mawar Lereng Tandikek

Masa pergolakan PRRI banyak menggoreskan cerita.

Ada cerita sedih, tentang banyak pemuda kampung yang diseret oleh OPR dan disiksa di pos. Kemudian mereka meregang nyawa dan mayatnya dibuang di selokan.

Ada pemuda yang ketakutan waktu razia di kampung, mereka ditembak dari belakang, dan mayatnya tersungkur persis di jalan di depan rumah orang tuanya.

Ada juga wanita yang suaminya ikut lari ijok ke hutan, dijemput oleh tentara malam hari, diinapkan di kantor Kodim, kemudian setelah pulang menjadi lusuh dan kuyu. Banyak yang tahu bahwa para wanita ini, digilir oleh para tentara itu di pos. Dan ada juga yang tidak tahan malu, lalu terjun ngarai bunuh diri.

Ada juga yang tidak pulang-pulang ke rumah, kabar beritanya mereka di bawa ke Jawa oleh para tentara yang pulang, dan hidup disana tanpa kembali lagi kekampung.

Ada anak yang terpisah dengan ayahnya. Ada mamak yang kehilangan kemenakannya.

Ada ibu yang kehilangan anak gadis.

Penderitaan yang perih dirasakan masyarakat Sumatera barat selama peritiwa hampir tiga tahun pergolakan PRRI itu dari tahun 1958 sampai penyerahan tahun 1961.

*

Ini kisah lain yang tergores.

Ini kisah dua orang remaja yang bertemu karena di landa peristiwa peperangan antara PRRI dengan tentara pusat.

Bahar, adalah tadinya seorang mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.

Karena terjadi peristiwa PRRI, bulan Maret tahun 1958, Bahar bergabung jadi tentara PPRI dan ikut latihan di Solok. Kuliah waktu itu terhenti sama sekali.

Banyak teman Bahar dari fakultas lain seperti Peternakan, FIPIA, Kedokteran, Hukum, dan Ekonomi yang ikut bergabung dengan PPRI.

Pada waktu Bahar dan pasukannya berkonsentrasi di Tandikek, mereka memunyai tukang masak seorang ibu yang suaminya datuak Panduko ikut jadi tentara PPRI.

Mak Sarinam menjadi tukang masak pasukan.

Neti, anak gadis mak Sarinam, yang tadinya adalah murid SMA Negeri Padangpanjang, karena sekolah ditutup akibat pergolakan, ikut ibunya di hutan kaki gunung di Tandikek, untuk bergabung dengan pasukan PRRI menjadi tukang masak.

Neti, adalah gadis cantik tinggi semampai. Kulitnya kuning dan hidungnya mancung. Rambut hitam sampai pinggang, tegerai indah bila selesai keramas di lubuk Batang Nanguih, dibalik kerimbunan pohon betung di tepi sungai.

Neti adalah kembang mawar di lereng Gunuang Tandikek.

Banyak anggota pasukan PRRI yang tertarik dan diam-diam menaruh hati pada Neti.

Tapi banyak yang hanya menyimpan perasaan saja, karena mereka juga segan dan takut pada Datuk Panduko ayah Neti yang menjadi komandan kompi di situ.

Datuak Panduko adalah tetua kampung lereng Tandikek itu. Nama kecilnya adalah Hamid.

Hamid adalah bekas tentara Siliwangi sewaktu mudanya. Ia ikut berjuang bersama temannya sewaktu jadi TKR di Pariaman. Temannya Adnan sesama mendaftar TKR di Pariaman dan menempuh pelatihan di Padang. Kemudian mereka ikut dikirim pendidikan di Batujajar dan di Cimahi. Akhirnya mereka bergabung dengan pasukan Siliwangi yang terkenal itu.

Adnan di BKO kan ke pasukan di Riau untuk menumpas sisa pasukan Belanda tahun lima puluhan. Sedangkan Hamid tetap di Jawa Barat.

Oleh karena luka dipertempuran di Ciamis dengan DI-TII, dimana pahanya kena pecahan granat yang parah, ia selama tiga bulan dirumah sakit menyembuhkan tulang pahanya yang retak. Akhirnya ia minta pensiun cepat dari Siliwangi dengan pangkat letnan dan pulang ke kampung di Tandikek.

Di kampung ia menjadi guru ngaji di Surau. Dan oleh sukunya Koto ia diangkat jadi penghulu dengan gelar Datuak Panduko di Rajo. Tapi ia paling terkenal dengan sebutan datuak Panduko.

Selain sebagai penghulu dia juga menjadi pengurus surau di desa itu.

Ia mengaji tafsir dan sifat dua puluh. Dan banyak muridnya.

Maka, ketika PRRI menyatakan perang dengan pemerintah pusat, ia tadinya tidak setuju dengan sikap ini. Datuak orangnya cinta damai.

Namun, pendiriannya berubah manakala adanya organisasi baru yaitu OPR yang terbentuk atau dibuat oleh tentara pusat untuk melawan PPRI.

Banyak anggota OPR diambil dari anggota Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI), dan juga Serikat Buruh Kendaraan Bermotor atau preman loket oto, yaitu ormas dibawah PKI yang komunis.

Juga banyak preman, tukang copet, bekas maling yang direkrut dan dilatih menjadi OPR.

Makanya dengan adanya OPR, maka banyaklah orang kampung jang jadi korban, Harta yang ada dalam rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya yang ijok ke hutan mereka rampas.

Banyak kepala desa diganti dengan orang yang berhaluan komunis.

Semua rumah yang salah satu anggotanya ijok ikut PRRI ditandai dengan sebuah papan kecil yang dipakukan didepan diinding rumah, dengan nama yang lari ke hutan.

Semua rumah ini menjadi incaran OPR.

Bila ada isteri atau anak gadis yang ditinggal suami atau bapak yang lari ke hutan, maka wanita ini akan di bon oleh tentara, dan dijemput oleh OPR malam hari.

Mereka biasanya diinapkan di kantor Kodim atau kantor Buterpra. Ada yang tiga hari, ada yang seminggu. Dan ada pula yang tidak pernah pulang sama sekali.

Cerita seperti ini banyak ditemui di daerah Agam seperti IV Koto, Baso, Ampek Angkek, Solok juga, dan Batusangkar.

Semua anggota preman itu memang diam-diam menaruh dendam pada Datuak Panduko. Karena gerak mereka dibatasi oleh aturan di pasar yang banyak dipakai atas masukan dari Datuak Panduko.

Judi dan main koa dilarang. Mancilok dan mengganggu anak gadis orang kalau ketahuan akan ditangkap oleh anak buah datuak Panduko. Dan kalau tertangkap pasti akan dimandikan di tebat semalam suntuk dan ditobatkan di surau.

Akibatnya preman menjadi benci pada Datuak Panduko.

Setelah terbentuknya OPR, maka Datuak Panduko menjadi target utama untuk dibunuh.

Datuak mengetahui ini. Makanya sebelum ia kedahuluan, ia mengajak isterinya lari ke hutan bergabung dengan PRRI. Ia langsung ditunjuk oleh Ahmad Husein menjadi komandan kompi Tandikek. Karena Husein tahu betul siapa Letnan Hamid di kompi B Siliwangi di Ciamis. Perwira ini tidak diragukan lagi semangat tempurnya.

Neti, akhirnya juga menjadi incaran OPR.

Setelah sekolah ditutup sementara, dari Padangpanjang Neti dengan dibantu teman sekelasnya tidak menuju kampungnya. Tapi ia berbelok melalui Maninjau. Di Maninjau Neti dijemput oleh anak buah Datuak untuk bergabung dengan ibunya di dapur umum pasukan.

*

Bahar, yang menjadi komandan regu dengan pangkat sersan, adalah diantara pemuda yang jatuh hati pada Neti.

Bahar orangnya juga alim. Tidak pernah tinggal sembahyangnya. Walaupun dalam keadaan perang, kalau masuk waktu shalat, pasti dia menyelinap untuk menunaikan ibadahnya.

Bahar adalah anak seorang ulama dari Kayutanam. Setelah lulus SMA di Pariaman ia melanjutkan ke Fakultas Pertanian Unand di Padang.

Peristiwa PRRI-lah yang buat sementara memutus kuliahnya.

Bahar orangnya rendah hati. Ia lebih suka menolong teman.

Kalau makan bersama pasukan, dia memeriksa anggota pasukannya dulu. Kalau sudah semuanya makan baru dia makan.

”Bahar, kamu sudah makan”, kata datuak Panduko senja itu.

”Saya masih kenyang pak datuak”, jawab Bahar.

”Makanlah, kalau jatah pasukanmu, habis, minta lagi sama makmu. Atau minta Neti masak lagi”, kata datuak Panduko.

”Masih ada jatah saya pak datuak”, kata Bahar.

Pada hal ketiding nasi sudah kosong karena dipecerabutkan oleh anggota pasukannya.

Walau mereka hanya makan dengan uok terung dan samba lado campur ikan asin, makan anggota pasukan PRRI itu selalu kelihatan lahap.

Maklumlah mereka masih muda-muda. Umur mereka baru sekitar dua puluh tiga tahun. Ada yang mahasiswa tingkat akhir seperti Bahar. Ada juga yang baru masuk kuliah, yang masih berumur sembilan belas tahun. Pada umur segini anak muda pasti makannya sedang banyak-banyaknya.

Nasi seketiding tidak sampai sepuluh menit habis tandas.

”Pak Datuak, saya permisi untuk periksa pos pengintaian di Batang Nanguih, assalamualaikum”.

”Wa alaikum salam”, datuak memandangi punggung Bahar yang menyandang ransel. Sebalik pinggangnya terlilit gantungan peluru brent. Di pinggang itu juga tergantung sebuah pistol yang masih baru. Ia menyandang Brent di bahunya yang bidang.

Pasukan datuak memang baru saja dapat droping amunisi dari Pekanbaru yang sampai dua minggu lalu. Amunisi ini diselundupkan lewat Perawang dari Singapur. Dari Perawang dibawa ke Bukittinggi dengan beberapa buah truk. Di Bukittinggi senjata ini dibagi oleh Letkol A. Husein keseluruh pasukan.

Entah negara mana yang membantu PPRI, datuak tidaklah perlu benar mengetahuinya. Yang penting kompinya cukup mempunyai amunisi buat bertempur tiga bulan ke depan.

Alangkah gagahnya anak ini dalam pakaian hijau tentara. Diam-diam datuak Panduko mengagumi anak buahnya yang satu ini.

Topi waja bertengger erat di kepala Bahar. Sersan Bahar yang seharusnya enam bulan lagi menjadi insinyur pertanian, sekarang bergerilya di tengah hutan. Ia ikut mempertahankan daerahnya Minangkabau dari ketidak adilan pemerintah pusat. Demikian ia mendengar pidato Letkol Ahmad Husein di Solok tempo hari.

Datuak Panduko suka kepada Bahar.

Orangnya pemberani, alim dan cerdas.

Pernah waktu penyergapan, pasukan Datuak Panduko ini terkepung oleh pasukan raiders dan OPR di pinggir jalan di kelok beringin ditepi batang Nanguih itu.

Rupanya keberadaan mereka dilaporkan oleh pengkhianat atau tukang tunjuk.

Perang berkecamuk. Tiga orang anggota pasukan diterjang peluru.

Bahar keluar dari persembunyian, sambil berlari dia menembaki raider dan OPR itu dengan brent-gun, dan ia juga melempar granat.

Akhirnya pasukan raiders itu mundur dan menaiki truk reo mereka. Mereka lari dan cigin kerarah Maninjau.

Lengan kiri Bahar tesambar peluru. Tapi lukanya ringan saja.

Malamnya luka itu dibalut oleh palang merah, dan dibantu oleh Neti.

Datuak Panduko berniat akan menjodohkan Bahar dengan Neti kelak bila perang sudah usai.

Waktu mata Bahar ketemu dengan mata Neti, disitulah panah asmara bertemunya.

Tangan Neti yang lembut ikut membalutkan perban ke lengan Bahar yang terluka.

Bahar membuang mukanya. Neti menunduk malu. Hati keduanya berdetak kencang.

Kopral Udin, si kepala palang merah hanya mendehem.

”Sudah Din, terima kasih kata Bahar. Saya harus segera ke pasukan.

”Tidak san, sesuai perintah Pak Datuak, sersan harus istirahat di sini barang seminggu menunggu luka bekas peluru ini kering. Baru boleh gabung pasukan lagi.

”Tidak Din, saya harus ada dalam pasukan saya. Kamu kan tahu sekarang OPR lagi gans-ganasnya patroli disini. Aku tidak mau pasukanku kedapatan.

”Uda sebaiknya istirahat dulu da”, Neti ikut mencoba menahan Bahar.

”Terima kasih Net, saya cukup kuat. Tidak apa-apa, ini kan cuma luka keserempet peluru saja. Tak apalah, terima kasih atas pertolongan Neti.

*

Kampung dibawah lereng itu namanya kampuang Nanguih. Hampir semua laki-laki di kampuang ini ikut ijok menjadi pasukan PRRI. Semuanya bergabung dengan kompi Tandikek dibawah komando datuak Panduko.

Hanya orang tua saja yang tinggal. Perempuan muda dan gadis juga ikut ijok. Mereka tahu kalau mereka tetap di kampuang pasti akan dipecundangi oleh tentara loreng, demikian mereka menyebut tentara pusat. Dan pasti juga mereka akan dijemput OPR.

Biarlah, kalau mati di hutan mereka rela. Mereka adalah penganut ajaran agama Islam yang taat. Mereka tahu, bahwa mati hanya sekali. Lebih baik mati berjuang dengan suami dan anak mereka, dari pada dipemalukan oleh tentara yang memperkosa dan menghinakan mereka.

Hati mereka memang pekat. Walau pendidikan mereka hanya sampai madrasah di Lubuak Basuang, namun kemulian hati menjadi modal utama pergaulan di kampung itu. Apa lagi adanya datuak Panduko, orang yang mereka hormati di kampung menjadi komandan pasukan.

Bahar ditugaskan datuak untuk selalu mengawasi kampung dari gangguan OPR.

Pertempuran kemaren terjadi karena pasukan Bahar bersirobok dengan pasukan raider yang bergerak dari Naras ke Lubuak Basung. Mereka berputar kekiri dengan melewati Tandikek.

Ketemulah mereka di desa Nanguih itu.

Pertempuran singkat itu cukup seru. Dua anak buah Bahar ikut menjadi korban.

Sebaliknya enam OPR berhasil ditewaskan. Termasuk Nipon seorang seorang preman makan masak matah. Nipon adalah tadinya agen loket di Bukitting Aue Tajungkang. Ia terkenal tukang peras di terminal. Kalau ada penunmpang oto dari Pekanbaru dan Medan yang banyak membawa barang pasti jadi perasan Nipon.

Setengah jam kemudian pasukan tentara pusat raider itu kembali ke Naras.

Datuak Panduko mempertimbangkan bahwa pasti akan ada serangan balasan dari tentara pusat. Atas pertimbangan itu maka konsentrasi kompi dipindahkan 2 kilometer ke mudik batang Nanguih.

Malam itu semua komandan regu dikumpulkan oleh datuak.

Perintah kewaspadaan ditingkatkan terutama oleh adanya tukang tunjuk.

Semua pendatang sekitar Kampung Mudik, tempat konsentrasi pasukan yang baru harus diketahui identitasnya. Kalau ada orang baru harus diketahui oleh kepala intelijen, Letnan Musa.

Team intelijen harus rajin turun ke jalan raya. Mereka menyamar jadi gembala kerbau dan penyabit rumput. Mereka mematai-mati gerakan raider dari Pariaman dan dari Bukittinggi.

Hubungan dengan induk pasukan di leter W tidak boleh putus.

Segera dikirim dua orang kurir ke leter W untuk memberitahukan pemindahan pasukan ini.

Selesai briefing singkat itu, datuak memanggil Bahar ke pondoknya.

”Bahar, saya mau bicara dengan kamu”, kata datuak.

”Siap, baik pak. Ada apa”, tanya Bahar.

”Sekarang pasukan kita mulai terjepit. Hubungan dengan induk pasukan di hutan sekitar Bukittinggi dan Solok mulai susah. Karena tentara pusat sudah membuat pos dimana-mana.

Saya dapat pesan dari Ahmad Husein, untuk mengambil sikap yang perlu untuk menyelamatkan pasukan. Aku disuruh untuk menghindari pertempuran. Kalau perlu kita menyingkir terus. Aku sendiri juga tidak atau kurang mengerti dengan perintah begini. Memang amunisi kita mulai menyusut. Tapi aku tidak mau menyerah, sebelum kita memberi pelajaran berharga ke semua OPR.

”Saya mengerti perasaan pak Datuak. Saya juga seperti itu. Biarlah kita bertempur dulu. Kalau kita kalah tidak apa. Asal yang hak di tanah Minang ini kita tegakkan.

Saya mau juga melibar OPR ini. Saya cukup malu mendengar ibuk-ibuk kita di bon dan di kerjai di pos-pos mereka. Sungguh biadab mereka. Saya baru senang kalau kepala mereka terbang dihantam peluru brent saya”, Bahar emosi menjawab apa yang dibahas datuak.

”Aku juga mendapat laporan dari intel kita bahwa ada sikap agak berubah dari komandan. Kelihatannya komandan agak berbeda pendapat dengan komandan nomor satu kita Pak Dahlan Djambek.

Pak Dahlan tidak mau menyerah. Sekarang beliau sudah menyingkir ke arah Lasi. Dan sekarang tempat ijok beliau disekitar Batang Masang bersama Pak Imam”, urai datuak lebih lanjut.

”Saya tidak mengerti pak datuak. Apakah maksudnya kita akan menyerah kalah ke tentara pusat”, tanya Bahar.

”Saya menangkap tanda itu Bahar. Sehingga ada pesan ke saya dari Pak Husein kalau saya boleh memutuskan untuk mengambil sikap demi menyelamatkan anak buah. Menyelamatkan dalam artian kamus tentara kan kamu tahu, bahwa itu tanda untuk menyerah. Mengibarkan bendera putih”, kata datuak agak pelan.

Bahar tahu, bahwa datuak sebenarnya tidak mau menyerah. Kalau menyerah berarti sekaligus mau menerima segala konsekwensi dari penyerahan. Termasuk ”penghinaan” dari OPR nantinya. Ini yang tidak mau di lakukan oleh datuak.

”Bahar, saya mau menitipkan pesan padamu”, kata datuak melanjutkan.

”Ada apa pak datuak”, tanya Bahar.

”Kalau dalam pertempuran berikutnya saya mendahului kamu, tolong selamatkan amak dan Neti. Bawalah mereka menyingkir. Kalau kamu harus menyerah ke tentara pusat, jagalah amak dan Neti jangan sampai dihina dan dipermalukan”, kata datuak.

”Tidak pak datuak, bapak harus bersama kita. Saya akan menjaga bapak dalam setiap pertempuran. Bapak tidak boleh mati. Kalau kita harus mati, mari kita hancur bersama pasukan kita”, kata Bahar dengan geram sambil mengokang brentnya.

”Tidak Bahar, kamu harus bisa tetap hidup. Kamu akan jadi saksi sejarah kelak. Biar orang tahu kalau saya perang karena membela kampung kita dari perlakuan jahat OPR dan penjajahan oleh tentara pusat. Saya bukan melawan pemerintah Republik. Tapi saya melawan tentara yang mau menghancurkan alam Minang yang saya cintai. Juga ada satu maksud saya yang lain”, kata datuak sambil menghirup dan menghabiskan sisa kopinya di galuak.

”Apa pesan pak datuak satu lagi itu”, tanya Bahar.

”Saya serahkan Neti kepadamu. Kelak kalau perang usai, mintalah kepada orang tuamu ijin, bahwa mak akan melamarmu untuk Neti”, demikian datuak mengungkapkan pesan utamanya.

Bahar terdiam. Ia tidak menyangka akan pengakuan komandannya ini.

Terus terang ia memang mencintai Neti. Dan ia juga tahu bahwa Neti juga menyenanginya.

”Pak datuak, bapak sudah saya anggap orang tua saya sendiri. Baiklah, saya pegang petuah bapak. Tapi ijinkan saya untuk menyelesaikan sekolah saya kalau Unand masih mau memberi kesempatan untuk saya kuliah lagi. Skripsi saya sudah hampir selesai. Mungkin sekitar enam bulan lagi saya sudah bisa ujian sarjana. Sesudah itu baru saya akan bicarakan soal perjodohan dengan abak saya di Kayutanam”, kata Bahar.

”Oh ya itu baik juga Bahar. Jangan lupa sampaikan salam saya sama Engku Malin ayahmu.

”Baik pak datuak”.

Bahar berpikir jernih. Mawar Tandikek yang ia idamkan telah diserahkan pemilik kebunnya untuk ia miliki. Mawar itu kini memang terancam dengan suasana peperangan yang tidak menentu ini.

Kemaren ia mengajarkan bagaimana cara menembak kalau terdesak kepada Neti. Neti diberikan sebuah senjata sten untuk menjaga diri dan emaknya.

Neti tidak boleh ikut perang. Ia digaris belakang di dapur. Aku akan menjagamu Neti, gumam Bahar dalam hatinya. Kalau kau ditakdirkan mati dalam pertempuran, engkau harus selamat mawarku, gumamnya lagi.

*

Terjadi lagi kontak senjata.

Sore setelah shalat ashar dilembah dibawah persembunyian dan pondok datuak Panduko.

Datuak dan dua orang komandan regu memeriksa perlengkapan pasukan di lembah yang tersembunyi.

Lembah itu adalah pos terdepan yang berhadapan langsung dengan jalan raya menuju Tanjung Mutiara sebelum Maninjau.

Tiba-tiba dari kelokan behamburan serobongan raider dan banyak OPR.

Kontak senjata tidak terelakkan.

Terjadi pertempuran hidup mati di lembah itu.

Lima belas orang pasukan PPRI di hadang lima puluh orang raider dan OPR. Tidak seimbang kedua pasukan ini bertempur. Korban banyak berjatuhan di pihak PRRI.

Datuak Panduko tersungkur keparit setelah dua peluru bersarang di dada dan lehernya.

Bahar melihat itu dan dengan membabi buta melemparkan granat dan tembakan brent-nya.

Pasukan raider dan OPR kembali menaiki truk mereka dan meluncur ke arah Maninjau.

Hanya tiga orang yang tersisa. Bahar dan dua orang anak buahnya. Dua belas orang termasuk pak datuak gugur untuk mempertahankan ranah bunda.

*

Di tanah kering di sudut kerimbunan pohon alaban.

Jenazah para suhada yang sepuluh orang adalah bekas mahasiswa dan pelajar itu akan di kuburkan. Jenazah datuak komandan mereka, dan jenazah Sersan Thamrin yang komandan regu kancil, didahulukan memasuki lobang kubur para suhada itu.

Suara burung pampeho mengiringi kepergian jenazah ke liang lahat yang hanya dibuat satu lubang. Burung itu adalah burung pertanda. Pampeho adalah jenis burung murai yang terbangnya malam. Bila pampeho terbang siang dan menceracau dekat pondok, itu tanda akan ada halangan datang. Biasanya mereka akan meningkatkan kewaspadaan.

Satu hari sebelumnya pampeho terbang tepat tengah hari diatas bubungan pondok datuak Panduko. Sejak saat itu datuak mahfum bahwa akan terjadi sesuatu.

Itulah dia peristiwa yang mengorbankan banyak anggota tentara kompi Tandikek dibawah pimpinan datuak Panduko, termasuk dia sendiri.

Malin Basa membacakan doa, dan menjadi imam shalat jenazah.

Mak Sarinam dan Neti tidak hentinya mennangis. Sarinam kehilangan suami yang ia cintai. Neti kehilangan bapak yang ia sayangi dan kagumi.

Sambil tetap menyandang sten di bahu Neti menyiramkan bunga sikajuik yang ia genggam ketanah timbunan terakhir pandam pekuburan para suhada itu.

”Selamat jalan yah, perjuangan ayah tidak sia-sia. Saya akan lanjutkan perjuangan ini. Do’a Neti dan emak menyertaimu. Sampai ketemu di syurga yah”, bisik Neti sambil menangis.

Hujan turun rintik-rintik. Tanah sekitar lobang mulai becek. Satu persatu jenazah kawan seperjuangan mereka turunkan dengan tali memasuki liang peristirahatan terakhir.

Bahar menyampaikan ucapan belasungkawa yang terakhir kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendahului mereka.

Setelah upacara penguburan malam itu di halaman pondok, Bahar mendekati mak yang masih menangis tersedu sedan.

Neti memangku emaknya.

”Mak, besok kita harus menyingkir lagi. Tempat ini sudah diketahui musuh, Tidak aman kita disini. Pak datuak telah mendahului kita, Moga Allah menempatkan datuak di syurga, karena datuak berjuang menegakkan kebenaran.

Saya telah diberi petaruh oleh bapak untuk menjaga emak dan Neti.

Tiba-tiba datang seorang tani yang rupanya kurir dari Pariaman. Ia tergesa untuk menyampaikan sepucuk surat.

Bahar menerima surat itu. Rupanya surat dari komandan di Solok. Letkol Husein menyuruh pasukan untuk menyerah ke Kodim terdekat.

Alasannya untuk menyelamatkan pasukan.

Bahar terdiam.

Rupanya petuah datuak Panduko tempo hari menjadi kenyataan.

PRRI harus menyerah ke tentara pusat.

Perjuangan telah berakhir.

Korban berjatuhan untuk mempertahankan martabat ranah Bundokanduang.

Itulah fakta yang terjadi.

Bahar kembali membathin untuk kesekian kalinya.

*

Hari Senin, April, 1961.

Bahar membawa pasukannya ke Sungai Geringging untuk menyerah.

Kini mereka hanya tingggal dua puluh tujuh orang. Sebagian ada yang sudah turun duluan menyerahkan diri di kantor Buterpra di sekitar Naras.

Sebanyak sembilan belas orang anggota kompi Tandikek gugur di medan juang.

Neti si mawar Tandikek dan emaknya termasuk pasukan yang menyerah.

Setelah surat penyerahan ditanda tangani oleh Komandan Kodim, mereka dengan di kawal oleh raider sampai ke Pariaman.

Dari Pariaman dengan menumpang bus APD mereka bertiga pulang ke Tandikek. Neti dan emaknya hanya ke rumah pamannya Mak Lenggang. Mereka tidak bisa kembali ke rumah sendiri karena rumah datuak Panduko telah musnah dibakar habis oleh OPR. Ladang kopi dan sawah juga dihancurkan.

Untunglah masih hidup paman Neti. Mak Lenggang menangis menerima saudaranya yang disangkanya telah mati dalam pertempuran.

Esoknya Bahar minta diri dan menumpang bus Alima ke Bukittinggi, dan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke kampungnya di Kayutanam.

”Net, nanti uda akan kembali ke sini. Uda akan bawa abak dan ibu jumpa emak Neti dan Pak Lenggang untuk mempertautkan kita”, kata Bahar malam itu di beranda rumah.

”Neti tunggu uda datang”, kata Neti lembut.

”Uda pasti datang. Uda akan menyelesaikan kuliah yang teringgal. Setelah itu kita akan hidup bersama. Tinggallah Neti buat sementara”, kata Bahar dengan nada sendu.

Disinilah masanya kelak mereka akan menikah, sesuai petaruh dari ayah Neti, datuak Panduko yang telah gugur sebagai komandan kompi Tandikek.

Mawar Tandikek akan segera menjadi isterinya. Nanti, setelah ia meraih gelar sarjana pertanian yang sempat kececer karena peristiwa PRRI.

Mawar Tandikek yang cantik telah menimbulkan kesan cinta yang dalam sejak jari jemarinya yang lembut mengoleskan obat luka di lengan Bahar.

Bekas cinta itu masih ada kini. Parut luka itu menyembunyikan asmara di balik kulitnya.

Sumber

Bekas Pemberontak

OLEH: DASRIELNOEHA

Ia telah tua kini.
Sudah tujuh puluh lima tahun umurnya.
Selesai shalat maghrib ia duduk diteras rumahnya yang sederhana.
Secangkir kopi panas yang dihidangkan oleh isterinya menemaninya di senja itu.
Setiap senja ia menikmati duduk santai dengan ditemani kopi yang dibuat sendiri oleh isterinya. Mereka mempunyai kebun kopi sendiri. Tidak luas tapi cukup buat kebutuhan sendiri dan sebagian bisa dijual.

Ia kini hanya hidup berdua saja dengan siterinya. Anak-anaknya tiga orang perempuan semuanya sudah menikah dan tinggal di kota lain bersama suami mereka masing-masing.

Rumahnya menghadap ke jalan raya antara Padang dan Bukittinggi. Jalan raya itu selalu sibuk oleh kendaraan hilir mudik. Bercampur antara truk, bus dan kendaraan kecil milik pribadi. Sepeda motor juga banyak.

Matanya tertumbuk pada sebuah sepeda motor yang dituntun oleh dua orang berpakaian loreng. Rupanya ban sepeda motor itu kempes. Tentara itu mendorong sepeda motornya ke bengkel yang tidak jauh dari rumahnya.

Ya dua orang tentara telah memasuki alam kenangannya senja itu. Ia teringat tentang masa menjadi tentara dulu.

Tentara berbaju loreng yang dulu menjadi musuhnya. Tentara dengan seragam loreng itu mereka sebut dengan tentara pusat.

*
Sambil menghirup kopi panas ia memasuki alam kenangannya.
Angin sejuk senja yang semilir melintasi bulir-bulir padi yang mulai menguning di sawak belakang rumahnya ikut menghanyutkan kenangan lelaki tua itu.

Masa dulu sewaktu ia menjadi tentara.
Dulu, ditahun 1957, di Padang setelah menamatkan sekolah teknik menengah di Pariaman, ia diterima jadi tentara di Padang. Setelah menjalani latihan militer selama empat bulan dia ditempatkan sebagai bintara bagian perbengkelan dan peralatan Angkatan Darat di Muaro.

Ia masih bujang ketika masuk tentara itu. Oleh karenanya ia tinggal di asrama Ganting.
Ia senang dengan pekerjaannya memperbaiki mobil jeep, truck, dan juga memelihara senjata yang ditempatkan di gudang.
Pangkatnya waktu itu sudah sersan dua.

Namun, sebuah peristiwa nasional telah merubah peruntungannya.
Pada tanggal 15 Februari tahun 1958, beberapa perwira angkatan darat dan beberapa orang tokoh sipil membentuk dan memproklamirkan sebuah pemerintahan tandingan di Sungai Dareh yaitu Pemerintah Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI).

Dengan cepat berita ini telah dikonsolidasikan ke segenap unit militer di Sumatera Barat. Ada perintah umum oleh Letkol Ahmad Husen bahwa semua unit harus melapor ke masing komandan untuk menyatukan tekad melawan pemerintah pusat dan bergabung dengan tentara PRRI.

Ia melapor ke atasannya langsung. Letnan Mukhtar atasannya menasihatinya supaya tetap di bengkel. Tidak usah mengikuti ajakan untuk memberontak.
Namun, Mukhtar mengatakan kepadanya bahwa sekarang pilihan terserah kemauan masing-masing.

Akhirnya ia dengan empat orang temannya bergabung dengan pasukan PPRI di Seberang Padang.

*
Suatu pagi jam sembilan, kira-kira bulan April tahun 1958.
Sebuah pesawat terbang meraung-raung di atas kota Padang.
Pesawat itu menerjunkan pasukan di sekitar Bandar Udara Tabing.
Terjadi tembak menembak terjadi disana. Di Tabing pasukan PRRI hanya berintikan tentara mahasiswa Universitas Andalas yang memang markasnya di Air Tawar.
Pasukan PPRI yang memang tentara organik hanya beberapa orang. Karena seminggu yang lalu pasukan dikonsentrasikan di Kuranji dan Muaro serta Seberang Padang dan juga sekitar Bungus.

Banyak tentara mahaiswa ini yang jadi korban.
Tabing dan Air Tawar segera dikuasai oleh tentara pusat.

Begitu juga di pantai Tabing. Beberapa pasukan tentara pusat telah mendarat dengan menggunakan kapal kecil milik penduduk.
Dan mereka juga mendaratkan pasukan di Ulak Karang.
Pasukan Marinir mendarat dengan kapal amphibi.
Pasukan payung Banteng Raiders mendarat di pelabuhan udara Tabing.

Pasukan APRI tersebut segara menguasai keadaan. Tidak ada perlawanan dari PRRI.
Pada bulan July tahun 1958 itu terjadi tembakan besar-besaran dari kapal angkatan laut APRI ke pantai Padang dan Muaro.
Begitu juga di pelabuhan Teluk Bayur.
Teluk Bayur juga segera jatuh.

Tentara PPRI malahan mundur kearah Indarung dan terus ke Solok.
Tidak ada perlawanan. Jadi waktu itu bukan terjadi perang sebenarnya. Walaupun ada beberapa pertempuran kecil antara tentara rimba sebutan untuk tentara PPRI dengan tentara pusat untuk sebutan tentara APRI, namun selalu PRRI melarikan diri.
Yang terjadi adalah penumpasan tentara pemberontak oleh tentara pemerintah Sukarno yang dipimpin oleh Ahmad Yani yang terkenal dengan Operasi 17 Agustus.

Rupanya pendaratan dan penyerbuan ini sudah diketahui oleh pasukan Ahmad Husein. Mereka menyingkir ke Singkarak dan Solok untuk menghindari pertempuran di kota Padang, yang bilamana terjadi akan banyak megorbankan penduduk sipil.

Ia dan temannya satu regu segera menaiki bukit di belakang Seberang Padang. Mereka terus ke Gunung Pangilun. Dan terus naik ke Solok. Dan terakhir mereka menyusuri Danau Singkarak. Dan berhenti di sebuah desa yaitu Sumpur.

*
Sebuah penyerangan.
Malam hari oleh komandan yang berpangkat kapten diadakan rapat darurat disebuah hutan di seberang Batang Anai.
Mereka merencanakan sebuah penghadangan.
Ia sendiri lupa tanggalnya peristiwa itu, kalau tidak salah sekitar bulan Oktober tahun 1958.
Mereka ada sekitar tiga ratus orang lebih. Mereka gabungan dari pasukan ex mahasiswa dan tentara asli. Dan mereka juga memanggil beberapa bekas tentara Heiho jaman Jepang tahun 1945. Seperti Pak Karya yang terkenal dengan penembak jitu sewaktu jadi Heiho.

Oleh komandan mereka diperintahkan malam ini harus bergerak ke sebuah titik di daerah BTT.
Mereka sudah dapat laporan intelijen bahwa sepasukan mobrig akan berangkat pagi-pagi dari Padangpanjang menuju Padang.
Mereka akan menghadang dan menghancurkan mobrig itu dan merebut senjata mereka.

Ia ingat betul malam itu.
Mereka berangkat dari sebuah kampung dan menyeberangi Batang Anai dari Anduring terus mudik ke Lubuak Gadang.
Pada malam hari sewaktu kendaraan sepi mereka menyeberangi jalan raya menuju rel kereta api.
Jalan raya itu adalah jalan raya yang persis didepan rumahnya sekarang.

Dari rel kereta api mereka menuju stasiun Kandang Empat.
Mereka sampai di stasiun jam dua belas tengah malam. Di sini pasukan istirahat melepas lelah.
Sekitar satu jam kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju titik yang telah ditentukan.
Mereka sampai persis jam satu tengah malam di tempat disitu.
Kembali komandan mengingatkan akan tugas mereka. Mereka lalu disebar ke beberapa titik penghadangan. Pasukan inti ditempatkan di seberang bukit persis di depan pohon Kubang. Disitu ada dua pohon Kubang.
Yang lain ditempatkan setiap lima puluh meter di sisi utara. Dan pasukan terakhir sebagai pasukan penyapu ditempatkan di parit di tanjakan jalan.

Ia berada pada pasukan penyapu.

Ia ingat betul sekitar jam setengah enam telah terdengar deru mesin truk pembawa pasukan mobrig melewati kelok setelah air terjun Lembah Anai.
Kemudian terjadilah penghadangan itu. Segera terjadi tembak menembak. PPRI dibalik bukit dan semak, sedangkan mobrig di sepanjang jalan setelah berlompatan dari atas truk.
Truck mobrig mereka tembaki dengan bazooka dan senapan mesin.
Korban berjatuhan pada mobrig. Mereka tidak menyangka akan dihadang ditempat itu. Puluhan yang menjadi korban.

Setelah selesai penghadangan, semua pasukan kembali bergerak ke arah Tandikek.
Dan akhirnya terus melanjutkan perjalanan ke pos terakhir PRRI sekitar gunung leter W di atas danau Maninjau.
Disinilah ia bertempat tinggal dengan lima belas orang anggotanya menunggu perintah selanjutnya.

Disini ia ingat terjadi peristiwa lain yang amat membekas di hatinya.

*
Ia punya seorang pemuda yang merupakan sepupunya di kampung.
Aripin namanya.
Aripin bersekolah di STM di Bukittinggi. Karena terjadi peristiwa pemberontakan, buat sementara sekolah di liburkan.
Aripin kembali ke kampungnya di Kandang Empat.
Suatu hari sepasukan OPR melakukan pembesihan di desa Kandang Ampek.
Aripin dan berapa pemuda pengangguran sedang main kartu domino di kedai nasi Dibawa Untung.
Letnan Bahar Kirai, komanda OPR turun dari jeep. Dia diikuti lima orang anak buahnya.
Aripin dan teman-teman ditanyai tentang PPRI. Apakah mereka ikut pasukan PPRI. Mereka menjawab bukan, mereka adalah pemuda kampung biasa yang kerja di kedai nasi itu.
Aripin yang kelihatan gagah, maklum ia seorang pelajar STM, menjawab dengan lancar. Dan ia mengatakan bapak jangan asal menuduh kami pemberontak.
Rupanya jawaban Aripin membuat Letnan Bahar Kirai tersinggung. Ia segera menampar pipi Aripin dua kali. Aripin kesakitan dan lari kesudut ruangan. Seorang anak buah Bahar segera mau menembak Aripin. Tapi untunglah senjatanya ditepis Bahar dan selamatlah jiwa Aripin waktu itu.

Peristiwa itu rupanya membakar semangat Aripin untuk ikut memberontak.
Kebetulan Mansur, demikian nama orang tua itu waktu masih jadi tentara pulang kerumah ibunya di Kandang Ampek.
Aripin diberi tahu oleh adiknya Syamsuar bahwa uda Mansur lagi ke kampung malam ini. Aripin segera minat ijin ibunya mak Newar untuk lari ijok ke hutan. Mak Newar tidak mengijinkan waktu itu. Dia menangis menahan anak laki-laki sulungnya itu.
Tapi Aripin yang sudah dendam kesumat di dadanya akibat ditampar komandan OPR tempo hari, sudah tidak bisa dilarang lagi.

”Indak usahlah waang ikut ijok ke rimba Pin”, kata Mak Newar mencoba menahan langkah anak tuanya ini.

”Mak, hati awak sakik dek ditampar oleh OPR itu. Awak harus balaskan mak. Indak sanang hati awak sebelum dendam ini terbalas”, kata Aripin malam itu kepada ibunya.

”Hati mak, badatak Pin. Mak tidak mau terjadi apa-apa dengan waang”, kata Mak Newar sambil menangis.

”Jangan mak menangis. Awak sudah besar. Awak tahu menjaga diri. Lagi pula awak tidak takut mati mak. Kapan saja mati kata Tuhan, maka kita harus pergi. Lepaslah awak dengan do’a ya mak”, kata Aripin dengan mantap.

Akhirnya Aripin diam-diam menemui Mansur. Ia mengatakan akan bergabung dengan PPRI.
Akhirnya Aripin malam itu ikut dengan uda Mansur ke Tandikek. Dan mereka melapor ke markas di gunung leter W.

Selama tiga bulan Aripin berlatih memegang senjata dan cara berperang gerilya.

Memang ia melepaskan dendamnya segera. Sewaktu operasi di Tanjung Mutiara dan Bayur, ia membunuh banyak tentara OPR.
Aripin segera menjadi terkenal sebagai seorang prajurit PPRI yang pemberani.
Ia segera memegang sebuah senjata berat Brent.

*
Pak tua mengangkat mangkok kopinya. Udara senja mulai dingin. Pada bual-bulan mau memasuki bulan suci ini di kampung itu sering turun hujan. Malahan hujan turun setelah maghrib sampai tengah malam. Seakan hujan itu menguji keimanan penduduk desa itu untuk kepatuhan menunaikan shalat tarawih di mesjid.
Walaupun hujan penduduk terus dengan bertudungkan daun pisang menuju mesjid. Hujan dijadikan sebagai rahmat Tuhanyang harus disyukuri. Hujan mengairi swah yang terhampar luas di sekitar rumah.

Sudah lima puluh tahun kurang lebih peristiwa pemberontakan yang ia ikut berperan didalamnya itu terjadi.
Ia ingat betul sebuah peristiwa telah terjadi di sebuah tempat pos pengintaian di kaki gunung letter W.

Peristiwa yang menuntaskan sebuah dendam seorang pemuda yang telanjut sakit hati karena sebuah peristiwa besar. Yaitu peristiwa pemberontakan di Sumatera Barat itu. Karena peristiwa itulah yang melahirkan Organisasi Perlawanan Rakayt atau OPR bentukan tentara APRI untuk melawan tentara pemberontak.
Karena ditampar oleh komandan OPR Pariamanlah yang menyebabkan sebuah dendam terjadi.

Komandan pos B di dibalik munggu di bawah pohon lamin itu adalah kopral Aripin.
Ia membawahi lima orang anak buahnya. Mereka bertugas mengintai keberadaan APRI kalau ada operasi.

Hari itu tentara pusat atau APRI, sedang mengadakan sebuah operasi pembersihan.
Ia waktu itu sedang naik ke atas bukit untuk sebuah rapat konsolidasi.

Kira-kira jam tiga sore terdengar suara tembakan bersahutan di pinggang bukit dibawah. Ia tahu persis bahwa itu posisinya pos pengintai regu Aripin.
Tembak menembak memang tidak lama. Cuma kira-kira lima belas menit. Kemudian tembakan berhenti sama sekali.

Sejam kemudian kira-kira memasuki jam lima sore turun hujan lebat sekali di pinggang bukit itu.
Air hujan membuat jalan menurun kebawah menjadi licin.
Dengan mengendap-endap ia menuruni bukit melihat apa yang kejadian. Ia menyiagakan pandangan yang mulai tertutup kabut. Senjata Sten ditangannya siap untuk ditembakkan.
Kira-kira lima meter dari pos yang sudah habis terbakar, dia melihat sesosok tubuh tertelungkup. Darah masih mengalir dibawa air hujan dari tubuh itu.

Rupanya tentara APRI telah meninggalkan tempat itu.
Dia mendekat. Terlihatlah mayat seorang pemuda yang sudah cabik-cabik oleh peluru. Di punggungnya terlihat luka menganga lebar sekali. Baju cokelat seragamnya telah compang camping tertembus peluru. Celana hitam selutut yang jadi kebanggaan pemuda itu berlumuran darah.
Aripin telah gugur bersama dendamnya sore itu.

Kemana temannya yang lain?
Rupanya mereka sempat meloloskan diri melalui parit dibelakang pondok. Merka segera melarikan diri ke hutan lebat di pinggang bukit itu dan terus naik keatas menemui induk pasukan.
Merekalah yang bercerita bahwa mereka diserang sepasukan loreng APRI dengan tiba-tiba. Mereka mau lari dan mengajak komandannya Aripin.
Namun, Aripin menolak pergi. Ia mengatakan bahwa ia akan menuntaskan dendamnya sore itu.
Dan ia berdiri sambil menunggu pasukan loreng itu dengan menembakinya dengan Brent Gun. Ada beberapa anggota APRI yang terkena. Tetapi Aripin dihujani peluru banyak sekali oleh tentara pusat itu.

Akhirnya gugurlah ia sebagai seorang bekas pemberontak yang telah lunas membayar dendamnya sejak ditampar oleh OPR dulu.

Ia kembali keatas bukit untuk membawa beberapa anggota untuk memberi penghormatan terakhir kepada kopral Aripin yang gugur.
Jasad Aripin mereka kuburkan lengkap dengan bajunya yang berlumuran darah itu dibawah sebuah pohon lamin tua di bukit itu.
Nama Aripin mereka goreskan dengan sebuah bayonet pada batang lamin itu, berikut tanggal terjadinya peristiwa itu.

Munggu,17 April 1960. Disini dikuburkan kawan kami, Kopral Aripin.

Demikian goresan kenangan itu telah tertulis.

*
”Uda lagi mengapa kok minum gelas kosong”, tiba-tiba ia dikejutkan isterinya yang datang dari dalam rumah.

Upik, isterinya tahu bahwa suaminya melamun lagi. Upik tahu bahwa melamun peristiwa kenagan semasa pemberontakan dulu menjadi keasikan sendiri bagi suaminya. Kadang-kadang malahan suaminya menceritakan lengkap semua peristiwa yang dialami selama ijok ke hutan dulu.

Kedatangan Upik membuatnya tersenyum.
Ia sedang melamun tentang masa ketentaraannya dulu. Masa tatkala ia berjuang di hutan sebagai seorang pasukan pemberontak.
Masa pemberontakan yang berakhir atas penyerahan tanpa syarat seluruh anggota pasukan PRRI yang tersisa.
Ia yang juga ikut menyerahkan diri di Sungai Geringging tahun 1961.

Kemudian ia kembali ke kampung. Ia menjadi petani setelah itu.
Kemudian ia menikahi Upik, seorang putri Ulama di kampung itu.
Ia hidup di Kandang Ampek sebagai seorang bekas pemberontak.
Upik menemaninya sampai kini.
Hidup itu ia jalani dengan damai sampai masa tuanya.

Kenangan masa pemberontakan memang sewaktu-waktu datang menghampirinya.
Sama seperti kenangan senja ini. Yang terpicu ketika melihat dua orang berbaju loreng melintas di depan rumahnya.
Ia mulai beringsut.
Ia menuju ke tebat di belakang rumah untu mengambil wudhu.

Lalu ia shalat isya.
Sesudah shalat ia berdo’a.
Ia berdo’a untuk kawan-kawannya yang gugur selama masa pemberontakan.
Untuk Aripin ia berdo’a juga.
Tak terasa dua bulir air mata menetes di pipinya yang sudah keriput.

Sumber

PRRI, Protes Si Anak Tiri Dan Catatan Luka Urang Awak (1)

image

Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”—- (Kolonel Ahmad hussein, ketua dewan Banteng)

Kota padang, 20 februari 1958, seorang laki laki berpakaian militer berpidato dengan berapi api di depan rapat umum di kota tersebut. Dengan lantangnya laki laki betubuh tegap ini berkata: “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno…!!!” seraya mencopot dan membanting tanda pangkatnya ke tanah. Nampaklah sekali dia sangat gusar saat berpidato itu, wajahnya memerah karena menahan amarah di dalam dada. Rasa kesal, marah, kecewa bercampur aduk di dalam dirinya saat itu. Pemerintah pusat melalui Perdana menteri Ir. Djuanda menuduhnya sebagai seorang pemberontak dan memerintahkan KASAD untuk memecatnya dan teman teman kolonel seperjuangannya dari dinas kemiliteran. Sebagai seorang tentara yg telah malang melintang berjuang semasa revolusi fisik dahulu dia merasa sangat terhina ditantang tantang oleh seorang sipil seperti Djuanda, tak pedulilah kiranya ia seorang Perdana menteri sekalipun.

Seorang laki laki berkopiah dan bertongkat lalu menyabarkan dia, di tepuk tepuknya pundak kolonel muda ini. Disabarkannya seraya disuruhnya sang kolonel mengucapkan istighfar, lalu dipungutnya tanda pangkat yg dibuang tadi dan dipasangkannya kembali ke pundak sang kolonel. Rapat umum di kota Padang itu benar benar mengharu biru gegap gempita, belum pernahlah rasanya orang Minang merasa sedemikian terhina seperti saat itu. Mereka di cap sebagai pemberontak saat yg dilakukannya hanyalah meminta hak mereka sebagai anak dari ibu pertiwi ini dan mengkoreksi sang paduka nan mulia di Jakarta sana yg sedang asyik masyuk terlena dengan egoismenya. Laki laki berseragam militer ini lalu menyudahi pidatonya yg berapi api setelah menyatakan tidak takut kepada ancaman pemerintah pusat yg telah mengangkangi konstitusi dengan membubarkan dewan konstituante hasil pemilu yg sah. Dia juga membalas menuding Djuanda sebagai penjilat Soekarno dan komprador para komunis di sisinya. Siapakah laki laki yg dengan berani mengacungkan kepalannya kepada pemerintah pusat ini…? dia adalah Kolonel Ahmad hussein sang harimau Kuranji.

Harimau kuranji sang pengawal PDRI, punggawa proklamasi 17 agustus di masa pelarian

Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun. Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Hussein aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR. Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda/ NICA. Meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik membuat karier militernya segera meroket. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan. Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran. Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor.

image

Di masa inilah tentara kerajaan Belanda melancarkan agresi militernya yg ke II. Kekuatan  Republik yg memang telah lemah akibat perjanjian Renvile dikejutkan oleh sebuah aksi militer mendadak tepat ke jantung ibu kota Yogyakarta. Pagi pagi buta, saat kekuatan militer lengah Jenderal Spoor menurunkan pasukan terjun payungnya di lapangan terbang Maguwo. Dalam waktu singkat ibu kota Yogyakarta berhasil dikuasai, bahkan presiden Soekarno, wakil presiden merangkap Perdana menteri Mohammad Hatta beserta beberapa orang menteri lainnya ditangkap dan ditawan Belanda. Sementara itu PB. Jenderal Soedirman melarikan diri keluar kota untuk memulai perang gerilya. Seluruh kekuatan Indonesia baik sipil maupun militer lumpuh total dan republik yg masih sangat muda saat itu nyaris tamat riwayatnya. Beruntunglah beberapa jam sebelum ditawan presiden Soekarno sempat mengirim kawat kepada menteri kemakmuran MR. Syafrudin prawiranegara yg saat itu sedang berada di Bukit tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, disingkat PDRI.

Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus, Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup. Pada masa agresi militer Belanda II ini Ahmad hussein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Hussein memperoleh kemenangan. Namun upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI. Ahmad hussein dan kompi Harimau kuranjinya yg ikut keluar masuk hutan mengawal PDRI kadang harus kucing kucingan dengan patroli Belanda. Tak jarang pula mereka musti babak belur bahkan lari lintang pukang bersama MR. Syafrudin untuk menyelamatkan diri karena jika tertangkap itu artinya selesai pulalah NKRI yg diproklamasikan 4 tahun yg lalu. Beruntunglah seluruh rakyat di ranah Minang kala itu membantu mereka seratus persen. Tak ketinggalan pula peranan ulama dan niniak mamak (*pemangku adat) juga tak kepalang besarnya dalam membantu mereka saat itu. Sebuah perjuangan yg mengharu biru, tak kalah mengharu birunya dengan kisah gerilya PB. Soedirman di pulau Jawa.

Akhir tahun 1949 Agresi militer Belanda berhenti, Soekarno dan Hatta dibebaskan, PBB mengakui kedaulatan Indonesia. Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy ending yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, MR. Syafruddin prawiranegara berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Alhamdulillah…, atas berkat pertolongan Allah nan maha pengasih jualah kiranya republik ini dapat diselamatkan. Pemerintahan kembali ke tangan dwi tunggal Soekarno – Hatta dan selesailah riwayat PDRI. Tak ada satu orangpun yg hadir pada saat penyerahan mandat itu menyangka kalau orang orang yg baru saja keluar masuk hutan dalam rangka menyelamatkan dan melarikan republik itu 10 tahun kemudian terpaksa keluar masuk hutan kembali. Namun kali ini bukan sebagai pejuang, namun sebagai orang orang yg di cap sebagai pemberontak dan harus segera ditumpas keberadaannya dari bumi pertiwi yg mereka bela mati matian ini. Benarlah adanya kata pepatah: Hujan sehari, dapat mengapus panas selama setahun…, gara gara nila setitik maka rusaklah susu sebelanga.

Awal mula kekecewaan  si anak tiri

Tersebutlah kiranya masa itu 1956 angka tahunnya, Indonesia tercinta ini saat itu telah 11 tahun merdeka adanya. Ranah Minang nan elok, nagari nan diapit gunung Merapi dan gunung Singgalang mulai berbenah mengobati luka luka akibat revolusi fisik. Hijau ranaunya nagari “darek” (*daerah Minang pegunungan dan pedalaman), curam dan terjalnya tebing tebing serta landainya pantai di nagari “pasisia” (*daerah pesisir ranah Minang) mulailah membenahi diri untuk menyongsong hari depan yg lebih baik. Banyaklah kiranya ketinggalan yg harus dikejar, banyak pula kain sobek nan perlu dijahit agar si buyuang dan si upik merasakan manisnya kue kemerdekaan dan legitnya sebuah kata berbunyi “pembangunan”. Agar tiadalah sia sia darah anak nagari tumpah di bumi pertiwi ini, agar tiada sia sia pulalah air mata bundo kanduang meratapi mayat si buyuang nan tertembus peluru “urang Balando”. Agar tiada terbuang percuma jualah adanya doa dan restu para ulama dan para angku niniak mamak, Minang sakato harus maju basamo pulo.

Namun apa daya, untung tak dapat di raih malangpun tak dapat dicegah. Keadaan ranah Minang tiadalah banyak berubah dari masa penjajahan dulu. Masyarakatnya tetaplah miskin, bahkan tak sedikit yg kelaparan, tak bergerak kondisinya dari masa nan telah lewat. Kesehatanpun tiadalah pula membaik, bahkan di masa masa setelah PDRI menurut cerita ayah saya merebaklah penyakit tukak “nambi”, sebangsa penyakit eksim yg sulit dicari obatnya. Sementara penyakit cacar air dan  cacing tambangpun merajalela menjangkiti anak nagari yg menjadi harapan kelanjutan negeri ini. Perumahanpun sulit di dapat, jangankan bagi orang sipil, bagi eks tentara yg ikut berjuang sajapun sulit adanya. Rakyat terpaksa hidup besempit sempit di rumah yg kecil sementara mereka terus beranak pinak. Rasanya kosong hampalah adanya janji janji manis kemerdekaan yg kerap kali di dengung dengungkan di masa revolusi fisik dahulu itu. Alam kemerdekaan ternyata tak seindah yg diharap harap dan dibayangkan, bahkan nyaris tak ada bedanya dengan masa penjajahan.

Sebuah hal yg sangatlah ironis adanya karena di kala itu nyatanya hasil bumi tanah Minang kabau berupa karet, beras, kopra dan minyak bumi melimpah adanya. Namun Semua pajak dan kekayaan diangkut oleh pemerintah pusat ke Jawa sementara anak nagari diam terpaku menahan lapar dan dahaga. sementara itu nun jauh di seberang selat sunda sana sedang dibangun proyek proyek mercusuar seperti Monas dan tugu pancoran atas perintah sang paduka presiden yg mulia, yg uangnya tentulah dikeruk dari bumi pulau sumatera dan lainnya. Maka orang Minang saat itu laksana anak tiri yg diabaikan beberadaannya, tak diberi kesempatan mencicipi manisnya kue pembangunan yg semuanya dilakukan di Jawa.  Bahkan gubernur sumatera tengah (*meliputi sumatera barat dan Riau sekarang) pun dijabat oleh seorang Jawa bernama Roeslan Mulyoharjo, “urang jawo” kalau bahasa pasaran urang awaknya. Jadi wajarlah kiranya kalau di masa itu ada sebuah perasaan di dada mereka bahwa setelah kepergian Tuan Belanda maka datanglah Tuan jawa. Wajar pulalah jika mereka merasa harga diri mereka seakan dipentalkan ke belakang, hasil tanahnya dibawa ke tanah seberang sementara anak nagari menderita hidup berkekurangan. Anak nagari yg juga babak belur memperjuangkan republik ini tentulah merasa dianak tirikan karena tak dapat mencicipi manisnya kue kemerdekaan seperti saudaranya di pulau Jawa.

image

Sementara itu sang paduka yg mulia presiden Soekarno semakin asyik masyuk dalam mimpi mimpi revolusionernya. Gaya berpolitik dan kebijakannya semakin condong ke arah kiri, blok timur, Peking di Cina dan Moskow di Russia. DN Aidit, Lukman dan Njoto, triumvirat PKI semakin mendapat tempat di sisinya, menjadi orang orang kepercayaannya. Warnanya semakin memerah, Kruscev digandengnya, Chou en lai di gamitnya, menjauhi yg putih dan hijau yg dari dulu setia membela dan mendukungnya. Rupanya telah lupalah adanya sang putera fajar ini bahwa baru 8 tahun yg lewat sajalah dia berpidato berapi api di depan corong RRI Yogyakarta menyerukan rakyat untuk memilih Soekarno – Hatta atau PKI Musso?. Saat Madiun affair terjadi, saat para ulama yg merestuinya sebagai pemimpin negeri muslim ini digiring ke pejagalan, disiksa dan digorok lehernya sampai mati. Kebijaksanaannyapun semakin cenderung otoritarian bagaikan raja raja jawa yg mana sabdanya adalah laksana keputusan dari Tuhan yg maha kuasa, tak boleh dibantah apalagi ditentang adanya.

Hal ini membuat Hatta sekalipun manjadi semakin jengah dengannya, semakin merasa tak lagi sejalan dengannya dan menjauh darinya. Namun putera asli Bukit tinggi ini lebih memilih untuk mundur daripada harus berseteru dengan kawan seperjuangannya ini. 1 Desember 1956 dia resmi melepaskan jabatannya, namun Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta yg menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaannya itu, yg reputasinya melegenda bahkan nyaris menjadi mitos itu , mulai hari itu juga resmi tanggal, berselisih faham berpisah jalan selamanya. Dan walaupun banyak usaha yg dilancarkan berbagai fihak agar mereka berdamai, agar Hatta kembali ke pemerintahan, agar dwi tunggal kembali bersatu menjadi nahkoda bangsa ini, tapi apa daya… biduk telah terlanjur terlongsong ke tengah lautan, sulit rasanya kembali ke tepian. Lalu Ketika Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih rakyat pada pemilu 1955 dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Hatta melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar rampung. Hatta melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka. Soekarno marah karena isi buku tersebut  dianggap menentang kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga dilarang untuk dibaca, dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk menyiarkan buku tersebut, dan barang siapa yang tidak mengindahkan larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu sendiri.

Rengekan dan protes si anak tiri nan tak diindahkan oleh ayahnya sendiri dan marahnya para banteng ranah Minang

Syahdan para eks divisi Bantengpun merasakan hal yg sama, prihatin dengan keadaan ranah Minang dan daerah daerah di luar Jawa yg semakin sengsara. Apalagi setelah restrukturisasi militer Divisi banteng nan gagah berani, yg ditakuti lawan dan disegani oleh kawan ini terpaksa rela di pangkas sedemikian rupa personilnya. Sebagian dari mereka dipensiunkan dini, seperti Kolonel Ismail lengah yg ditakuti oleh NICA di masa revolusi fisik dahulu. Sebagian lagi ditarik ke Jakarta dan sementara sisanya dilebur kedalam Divisi lain seperti Divisi Siliwangi sehingga tercerabut dari akarnya, terpisah dari induknya di Sumatera. Banteng yg dulu gagah dan sakti mandraguna itu kucar kacir personilnya, seakan dipaksa untuk rela dipotong kedua tanduknya dan bahkan bak digiring ke pejagalan saat statusnya diturunkan menjadi sebuah Brigade saja, yaitu Brigade Banteng dibawah pimpinan Letnan kolonel Ahmad Hussein. Sementara itu kekuatan militer nun jauh di seberang selat sunda sana dipupuk, dikembangkan dan dibangun sedemikian rupa. Maka tersebutlah Divisi Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi nan begitu besar dan lengkap persenjataanya. Bagaikan tungau dan seekor gajahlah kiranya jika jumlah personil dan persenjataannya dibandingkan dengan divisi Banteng yg tersisa, padahal Pulau Sumatera nyaris dua kali lipat pulau Jawa besarnya.

Keprihatinan ini memicu mereka para eks Divisi Banteng ini kemudian melakukan reuni untuk membicarakan nasib daerah asal mereka dan seluruh Indonesia pada umumnya. Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan, yg pertama dilaksanakan di Jakarta pada 21 September 1956 sedangkan yg Kedua di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956. Namun reuni resminya sendiri akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan ini kemudian penuh sesak dengan keluhan dan pembahasan mengenai keadaan sosial, politik dan ekonomi saat itu. Hasilnya reuni kemudian membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng. Anggota Dewan Banteng ini berjumlah 17 orang, diambil dari angka tanggal proklamasi agar nyatalah adanya bahwa mereka sedang memperjuangkan cita cita proklamasi 17 Agustus. Anggotanyapun tiadalah hanyalah orang orang eks Divisi Banteng yg notabene dari kalangan militer saja, melainkan juga dari kalangan sipil pemerintah daerah, alim ulama, cadiak pandai (*para cendikiawan), dan niniak mamak (*pemangku adat). Ini menandakan bahwa perjuangan Dewan Banteng ini di dukung oleh seluruh elemen masyarakat Minang, seluruh partai kecuali PKI, dan seluruh urang awak tanpa terkecuali. Dan memang begitulah kenyataannya, seluruh anak nagari mendukung perjuangan Dewan Banteng yg sedang berusaha menuntut hak mereka kepada pemerintah pusat ini, sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”.

Tapi alih alih memenuhi dan mengkoreksi diri sendiri setelah membaca rekomendasi yg diberi nama “Tuntutan Dewan banteng”  ini, Perdana menteri Ir. Djuanda beserta segenap anggota kabinet dari PNI dan PKI malah menganggapnya sebagai pemberontakan. Kolonel Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato berapi api di depan corong RRI Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, namun justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi. Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Selain itu dia juga mengecam Soekarno  karena kian memihak kepada komunis, membangun proyek proyek mercusuar dan menutup mata pada kesengsaraan rakyat terutama yg berada di luar Jawa. Surat rekomendasi itu sendiri baru diterima oleh presiden Soekarno saat dia sampai di Jakarta setelah kembali dari cutinya selama 2 minggu. Sungguh kenyataan yg ironis, disaat negara sedang bergolak maka paduka yg mulia pemimpin besar revolusi malah sedang asik menikmati gerak gemulainya tarian seorang gheisha yg kelak dikenal dengan nama Dewi Soekarno, isteri terakhir sang proklamator tersebut. Soekarno hanya tersenyum saja saat membaca surat rekomendasi tuntutan Dewan banteng yg kemudian hari memicu dibentuknya dewan dewan lainnya di daerah lain seperti Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Kol. Barlian), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol. Simbolon), dan Permesta di Sulawesi (Kol. Ventje Samual). Bagi Soekarno para kolonel tersebut hanyalah anak anak nakal yg sedang merengek rengek dan bertindak nakal sehingga perlu sedikit dijewer telinganya. Soekarno memang selalu memposisikan dirinya sebagai ayah di hadapan perwira perwira militer, angkatan darat khususnya.

Beberapa ikhtiar untuk mendamaikan konflik pusat dan daerah telah dilakukan, baik lewat lobi-lobi pribadi maupun lewat forum terbuka nasional seperti Munas bulan September 1957, Piagam Palembang dan lain-lain. Namun apalah daya, semua usaha itu mentah akibat sebuah kejadian yg menimpa Soekarno pada malam tanggal 30 November 1957. Saat menghadiri ulang tahun sekolah anaknya di Cikini seseorang melempar granat ke mobilnya. Paduka presiden seumur hidup itu selamat namun kejadian itu membuatnya merubah sikapnya yg semula agak lunak menjadi sangat keras terhadap lawan lawan politikya. Peristiwa yg dikenal dengan nama peristiwa Cikini itu menjadi salah satu alasannya untuk menangkapi lawan lawan politiknya dan otomatis itu artinya juga membalas protes para kolonel PRRI/Permesta dengan sebuah tindakan yg tegas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang orang PKI untuk memukul telak lawan lawan politiknya yg selama ini menjadi duri dalam daging yg mengganjal hubungan antara mereka dan Soekarno.

Pasca peristiwa Cikini keadaan Jakarta bagaikan bara nan dapat meledak dan membakar siapa saja yg bertentangan dengan sang pemimpin besar revolusi. Fitnah yg berhembus entah dari mana menimpa setiap lawan politiknya terutama yg terkenal sangat memusuhi PKI. Rumah MR. Mohammad roem di Jakarta dikepung massa, untunglah dia beserta keluarganya dapat menyelamatkan diri lepas dari kepungan massa yg di sinyalir digerakkan oleh unsur unsur Pemuda rakyat dan SOBSI, organisasi underbouwnya PKI. Hal yg sama juga dialami oleh para tokoh Masyumi yg saat itu menjadi lawan politik Soekarno seperti Mohammad Natsir, mereka lalu mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan banteng. Hal ini sangatlah wajar jika mengingat sumatera tengah adalah basis massa Masyumi dan nyaris terbebas dari unsur unsur PKI sehingga mereka merasa aman dari ancaman orang orang PKI yg bersembunyi dibalik nama soekarnois. Bahkan seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (*PSI) yg juga menjabat menteri keuangan yg dituduh korupsi oleh pihak militer juga ikut mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan Banteng. Maka berkumpulah para lawan politik Soekarno dan orang orang PKI yg sedang menjadi benalu di sisinya di Sumatera tengah untuk melancarkan perlawanan terhadapnya.—— bersambung ke bagian 2—–  (*Liga chaniago, akhir agustus 2013)

Sumber

Terkait : PRRI, Protes Si Anak Tiri Dan Catatan Luka Urang Awak (1)

Sang Letnan Itu Kini Mengemis (2)

Terhitung sejak bulan Januari 2008 lalu, sesuai dengan keputusan Presiden RI dalam kongres Veteran ke-7 tahun 2007. Sebanyak 5.134 veteran yang ada di Sumbar akan mendapat tunjangan dana kehormatan senilai Rp. 250.000. Penghargaan terhadap perjuangan yang mereka lakukan dalam membela Indonesia sekaligus sebagai figur yang turut andil dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Namun, bagaimana dengan Anwar?. Sang Letnan yang tak mendapat apapun dari perjuangannya?.

Pembaca tentu masih ingat dengan Anwar?. Letnan Satu yang kisahnya Penulis angkat menjadi tulisan bersambung dalam tiga edisi. Dia (Anwar) masih seperti dulu. Menengadahkan tangannya untuk mencari sesuap nasi. Di Simpang Potong, Anwar masih berkutat dengan riak kemelaratan. Kecuali hari Sabtu dan Minggu, Anwar pasti ada di Simpang Potong.

pengemisjalanan18
Di saat teman-teman seperjuangannya berbahagia dengan tunjangan-tunjangan yang didapatkan untuk mengisi hari tuanya. Anwar malah terabaikan. Bahkan Ketua LVRI Sumbar (Legium Veteran Republik Indonesia) Drs H Adrin Kahar Ph .D secara tegas mengungkapkan kalau Anwar belum tentu pejuang. Mungkin saja, dengan mengatas namakan pejuang, Anwar berniat untuk mengeruk keuntungan.

“Secara terang-terangan saya mengungkapkan kalau Anwar belum tentu Veteran. Kalau emang dia veteran, pasti dia punya nomor legium veteran atau surat-surat yang menyatakan dia pejuang. Contohnya, surat Bintang Gerilya. Tapi kenyataannya tak ada kan?. Kami (LVRI) selalu memperjuangkan hak-hak veteran. Tapi yang kami perjuangkan itu adalah mereka yang nyata ikut berjuang. Pembuktiannya, ya dengan surat keterangan,” tegas Sang Ketua.

Kata-kata LVRI seakan menjadi cambuk bagi Anwar. Anwar tenggelam. Keputus asaan seolah semakin kuat melekat. Sudah pasti, tak akan ada penghargaan ataupun tunjangan yang akan diterima Anwar. Minim lencana Veteran. Anwar semakin kuat menapak di atas trotoar panas. Memang, Anwar tak punya apa-apa untuk “diperagakan” kepada Pemerintah kalau dia adalah bekas pejuang kemerdekaan dua periode. Semua surat-surat Anwar hilang. Maklum, semenjak istrinya meninggal, Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang.

pengemisjalanan11

“Biarlah orang bicara saya bukan pahlawan. Tapi sejarah tak dapat dipungkiri. Dari dulu saya bilang kalau saya tak butuh tunjangn gono-gini. Saya hanya ingin melihat kibaran merah putih tanpa gangguan serta hanya butuh sesuap nasi untuk makan. Itu sudah cukup,”ulas Anwar untuk kesekian kalinya pada Penulis.

Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Matahari semakin panas. Dengan langkah tertatih Anwar mulai meninggalkan dua onggok bata yang jadi topangan tubuhnya. Anwar melangkah menuju simpang Alang Laweh. Menaiki Angkot jurusan Mato Aia, Anwar menuju rumah tumpangannya.

Rasa keingin tahuanlah yang menyeret langkah penulis untuk mengikuti mobil angkot biru tumpangan Anwar. Terus menguntit, akhirnya angkot berhenti di depan rumah bercat putih. Bangunan sederhana yang terletak di Kelurahan Koto Baru, Kecamatan Lubuak Bagaluang, Padang. Rumah mungil yang bersebelahan dengan bengkel variasi mobil. Itulah kediaman Anwar sejak tahun 1975.

Sang empunya rumah, Shally (50) menyambut kedatangan Anwar dengan cemas. “Pak Gaek (panggilan Anwar) memang kurang enak badan, kami sudah melarangnya pergi kerja tapi wataknya sangat keras. sulit sekali melarangnya pergi,”terang Shally dengan wajah ragu.

Anwar tampak mengaso di atas sofa yang sudah lusuh. Mencoba menetralisir kembali nafasnya yang turun naik. Sementara Anwar mengaso, POSMETRO mencoba bercakap dengan Shally, orang yang berbaik hati menampung Anwar.

Wajah ramah Shallypun tampak mengerut, mencoba mengingat hari pertama Anwar datang ke rumah sederhananya. Sesat berpikir, akhirnya Shally mulai bercerita. Tarikan panjang nafasnya, memulai penuturan itu.

“Pak gaek datang awal 1975, bersam seorang temannya bernama Rustam (telah meninggal). Mereka adalah sahabat Ayah saya. Ayah bernama (Syamsudin). Ayahlah yang pertama memperkenalkan pak gaek dengan kami. Mereka adalah tiga sekawan yang tak dapat dipisahkan. Namun, akhirnya, ajal merenggut bapak dan Rustam. Tinggalah Pak Tua sendirian. Kami sudah menganggapnya bagian keluarga sendiri,”celoteh Shally melirik “Pak Gaek” yang menyeruput segelas air putih.

Rumah Shally memang sangat sederhana. Cat putihnya sudah terkelupas, dihuni empat keluarga. Ditambah Anwar, rumah itu kelihatan penuh sesak!. Tak hanya itu, ternyata, Label RTM (Rumah Tangga Miskin)pun tertempel di jendela rumah tersebut. Maklum, dengan empat keluarga, hanya suami Shally, Mak Tum (52) yang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Tumpun hanyalah pekerja bengkel di Simpang Nipah. “Suami membuka bengkel kecil-kecilan. Kami termasuk penerima bantuan BLT dari Pemerintah. Kami juga hidup dengn sederhana. Tapi kedatangan pak gaek bukan beban bagi kami. Malah, kami bahagia. Pak Gaek sering mengajarkan bahasa Inggris dan jepang pada anak-anak,”tambah Shally.

Menurut Shally, di hari Tua-nya Pak Gaek tak pantas mengemis. “Pak Gaek adalah seorang pahlawan. Tapi dia seakan terabaikan. Saya pernah mengurus bantuan Veterannya, tapi tak ada hasil. Pak gaek luar biasa, dia bisa tiga bahasa. Bahkan dia juga bahasa jawa dan batak. Saya percaya dia pahlawan Walaupun hanya dengar cerita dari mendiang Ayah dan Pak Rustam. Tapi kenapa Pak Gaek terabaikan,”lemah Shlly menutur.

Ah, dunia memang terlalu kejam buat sang Letnan. Jeritan sepatah iklan TV Swasta menglir ditelinga Penulis. “Tanah yang Kita Pijak adalah bukti dari perjuangan Pahlawan yang membentuk kita menjadi manusia merdeka. Pahlawan yang bertamengkan rasa nasionalisme yang tinggilah semua ini tercipta. Hargai Pahlawan, sebagai peringatan tertinggi buat mereka. Kita bangsa besar, lahir dari cipratan darah sang revolusioner. Bangga ku dengan perjuanganmu”. Memang mungkin itu hanya sebaris iklan. Hanya perkataan belaka. Kalau itu kenyataan, mengapa hingga detik ini Anwar semakin murung?. Kapan secerca harapan menghmpiri tubuh ringkihnya, sementara pintu ajal semakin menganga menyambut kedatangan Sang Letnan.

1530437_10202821843810985_1686026205_n

Link terkait : Sang Letnan Itu Kini Mengemis (1)

Sumber

Sang Letnan Itu Kini Mengemis (1)

SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia menutupi rambutnya yang memutih.

Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.

pengemisjalanan18

Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.

Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi” terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.

Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain. Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.

Semakin penasaran dengan “Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.

Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah “tempo doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.

“Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan (Pejuang Pakistan -+) saya menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.

Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa.

“Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang Anwar.

Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.

Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak pernah berhenti.

“Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di campur kencing,” celoteh Anwar.

Soal Nasiolisme, Anwar bak ” Si Naga Bonar ” walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, ” “Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga, karena itu demi negara,” ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.

Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan terakhirnya.

pengemisjalanan11

Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.

Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan” menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.

Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali plastik warna putih.

Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong. “Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas,” terang Anwar lesu.

Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu,” Anwar menerawang.

Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.

“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,” terang Anwar.

Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.

“Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai “cinderamata” dari medan tempur,”;lanjut Anwar.

Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.

Memang, dulu Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.”

“Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,” celoteh Anwar.

Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin lupa juga akan nasib Sang Kapten.

Link terkait : Sang Letnan Itu Kini Mengemis (2)

Sumber

Sejarah Penyerangan Pasar Bandar Buat – Padang

Sekitar dua bulan setelah diproklamasikannya Republik Indonesia di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945, pasukan sekutu yang dipimpin Mayor Anderson tiba di Emma Haven, Teluk Bayur. Mereka kemudian menduduki gedung-gedung, gudang dan barak bekas Jepang di Padang.

Bersama sekutu itu, membonceng pula NICA (Nedelandsch Indie Civil Administratie), yakni pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Tujuannya tak lain mencengkeramkan kukunya kembali setelah tiga setengah tahun lamanya hengkang dari Indonesia karena keok oleh Jepang. Waktu Jepang takluk dalam perang dunia kedua karena dibombardir sekutu, gantian Belanda tergiur lagi hendak masuk ke Indonesia.

Janji Belanda kepada sekutu waktu masuk ke Sumatera dan tempat lainnya di Indonesia adalah untuk membebaskan tawanan perang , memulangkan Jepang ke negerinya dan ikut serta menjaga keamanan dan ketertiban umum hingga pemerintahan peralihan berfungsi kembali. Belanda tidak diperkenankan oleh Komando Sekutu Asia Tenggara yang disebut SEAC untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan Republik, baik sipil maupun militer.

Demikian cerita Zulwadi Datuk Bagindo Kalih, Ketua III Dewan Harian Daerah (DHD) ’45 Sumatera Barat, mengutip buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945 – 1949 di Kota Padang dan sekitarnya yang disusun Dr Mestika Zed, MA dan kawan – kawan, tahun 2002.

Waktu ditemui di Gedoeng Joeang, jalan Samudera, Padang, ia menceritakan catatan-catatan sejarah perjuangan Kota Padang tempo dulu yang dirangkum dari berbagai sumber.

Merinding juga bulu roma ketika diceritakan tentang perlawanan rakyat Padang hingga peristiwa Indarung dan Bandar Buat dibombardir Belanda dari udara.

Sejak sekutu menyerahkan kembali Indonesia ke tangan Belanda, meskipun dengan perjanjian tidak akan turut campur dalam urusan Republik, namun kurenah Belanda yang terkenal “cerdik buruk” itu malah ingin menguasai kembali Indonesia sepenuhnya. Belanda melancarkan agresi dimana-mana di wilayah Republik.

Tanggal 8 Januari 1947, pabrik semen di Indarung yang didirikan Belanda tahun 1910 dengan nama NV NIPCM (NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij ditembaki dari udara oleh beberapa pesawat Mustang Belanda.

“Masyarakat Indarung dan Padang sekitarnya waktu itu mencari perlindungan dengan membuat lubang atau lari ke perbukitan sekitar Solok dan Pesisir Selatan. Mereka terdiri dari orang tua, wanita dan anak-anak, ada yang lari ke pegunungan dan hutan-hutan,” ujar pria yang lahir sekitar tahun 1940-an itu.

Veteran yang masih fokus memperjuangkan idealisme kebangsaan ini seperti menerawang sejenak. Lalu, katanya, tanggal 18 Januari 1947 atau 10 hari setelah pemboman Indarung, Belanda datang kembali dengan pesawat Mustang dan melancarkan serangan udaranya di Pasar Bandar Buat.

Saat itu hari Minggu, merupakan hari pasar di daerah itu. Meskipun ada versi yang mengatakan serangan itu terjadi sekitar pukul 15.00 WIB, tapi ada pula catatan Angku Darwis yang dibuat tahun 1994 mengatakan itu terjadi pada pukul 10:00 WIB.

“Yang ini mungkin lebih mendekati, karena melihat faktanya yang meninggal mencapai ratusan jiwa. Pada jam itu, keadaan di pasar memang pas puncaknya keramaian orang yang datang dari berbagai penjuru sekitar Padang, Solok, Pariaman dan Pesisir Selatan,” ujarnya.

“Yang bersangkutan (Angku Darwis) saat diwawancarai untuk membuat sebuah buku tahun 1994 itu sedang sakit dan dalam perawatan dokter. Namun, berkenaan dengan perisitiwa itu ia masih sanggup mengingat dan menceritakan tentang perisitiwa Bandar Buat,” sela Zulwadi.

Ada pula Angku Munir yang menjadi saksi mata, lanjutnya Hingga sorenya, Angku Munir dan beberapa orang temannya bekerja keras mengumpulkan ratusan korban yang luka parah serta mayat – mayat yang tak tahu pasti jumlahnya.

“Mungkin ratusan,” Zulwadi memperkirakan.

Para korban dibawa dengan pedati, alat transportasi populer masa itu. Mereka di bawa ke Lapangan Kabun, sekitar setengah kilometer dari Pasar Bandar Buat. Di tempat itu, yang luka parah segera ditangani oleh Palang Merah.

Pemandangan memiriskan waktu itu sudah dapat dibayangkan. Sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak. Konon, saksi mata Angku Munir melihat banyak wanita meregang nyawa sambil mendekap anaknya yang masih bayi. Ada pula beberapa pedati yang ditarik sapi atau kerbau berjalan sendiri karena tukang pedatinya telah tewas.

“Takut akan serangan berikutnya. Setelah mengumpulkan para jenazah ke satu tempat bersama teman-temannya, Angku Munir lari ke hutan sekitar Indarung. Benar saja, pesawat Belanda kembali meraung-raung mencari sasaran bergerak di bawahnya. Rentetan tembakan terdengar lagi mulai dari Indarung, Bandar Buat dan Lubuk Begalung,” tutur Datuk Bagindo Kalih dalam nada agak emosional.

Setelah beberapa hari keadaan dirasakan cukup kondusif, Angku Munir Cs tadi baru keluar dari persembunyian dan menemukan jenazah-jenazah yang tadi ditinggal sudah agak mengurai sehingga segera mereka kuburkan dalam satu lubang. Puluhan jenazah dikuburkan dalam satu lubang.

“Rupanya setelah selesai menguburkan puluhan mayat masih terdapat sekitar 40 mayat lagi yang belum dikubur menurut yang diceritakan Angku Munir dan Angku Kamar dalam catatan yang dibukukan oleh Mestika Z dan kawan – kawan,” ucap Zulwadi.

Ya, itu baru satu peristiwa di Pasar Bundar Buat, belum lagi di Kamang, di Situjuh, dan Cupak serta beberapa tempat lainnya. Perlawanan rakyat dipatahkan Belanda dengan cara keji dan membabibuta. Anak – anak dan wanita menjadi korban.

“Ini adalah kejahatan perang yang dilakukan Belanda terhadap Bangsa Indonesia,” ujarnya.

Mengingat sejarah itu, para korban rakyat sipil Indonesia terutama pada masa Agresi I dan Agresi II, Belanda harus meminta maaf yang diucapkan oleh Pemerintah Belanda kepada segenap Rakyat Indonesia. Perjuangan agar Belanda mau mengakui tindakan pengrusakan, perampokan, dan penindasan yang dilakukan olehnya sehingga membuat penderitaan yang amat sangat pada rakyat Indonesia.

Belanda harus kembali meringankan penderitaan mereka. Tuntutan dan perjuangan itu dilakukan terus oleh sebuah yayasan yang didirikan tanggal 4 April 2007 di Belanda dengan nama Stichting Comite Nederlandse Eresculden atau Foundation Commitee of Dutch of Honour atau dalam nama Indonesia KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) yang diketuai Dhr. JM Podaag.

Yayasan ini melakukan pengumpulan data dan fakta seputar peristiwa dan korban yang terjadi masa agresi Belanda tersebut. Kepada ahli waris korban atau yang bisa dikenali sebagai keluarga korban berdasarkan verifikasi yayasan KUKB, maka berhak menerima santunan dari pemerintah Belanda melalui yayasan KUKB ini. Besaran nilai santunan yang disebutkan oleh Diki dari yayasan yang bertugas di DHD, jika dirupiahkan sekitar Rp150 juta. (derius)