Kolonel Zulkifli Lubis

Catatan Must Prast

Klub Baca Buku IGI

Eks Kolonel Zulkifli Lubis yang merupakan perwira intelijen Indonesia. Sumber: bin.go.id)

Eks Kolonel Zulkifli Lubis yang merupakan perwira intelijen Indonesia. Sumber: bin.go.id)

Membaca buku Kolonel Misterius di Tengah Pergolakan TNI AD yang ditulis Peter Kasenda (Kompas, 2012) ini, saya mendapat sedikit pencerahan tentang Kolonel Zulkifli Lubis. Siapa dia?

Tidak banyak literatur yang mengupas sosok Zulkifli. Sejak saya duduk di bangku SMP sampai SMA, saya hanya mendapati namanya sebagai dedengkot pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.

Sejujurnya, meski tidak membenarkan pemberontakan ini, saya bersimpati kepada tokoh-tokohnya, termasuk Zulkifli Lubis. Namanya tenggelam dari panggung sejarah setelah PRRI dapat dipatahkan TNI.  

Namun, ada sisi lain yang menarik sang kolonel. Ia besar di Kampung Tamiang, tak jauh dari Bukit Tor Sijanggut, Sumut. Sesepuh TNI-AD Jenderal besar A.H. Nasution pernah menyebut bahwa Zulkifli Lubis pernah ditempa pendidikan gaya intel Jepang (A.H. Nasution, 1984, 310-311).

Saat pergolakan internal di tubuh Angkatan Darat, Zulkifli Lubis terlibat perselisihan dengan Nasution. Ini ironis. Sebab, keduanya masih sepupu. Nasution berasal dari Kampung Huta Pungkut, yang hanya dipisahkan Bukit Tor Sijanggut dari kampung halaman Zulkifli.

Sepanjang karirnya di militer, Zulkifli Lubis pernah menjabat sebagai wakil KSAD dan pejabat KSAD. Namun, tak ada yang lebih menghebohkan ketika dia (saat itu wakil KSAD) dan Kolonel A.E. Kawilarang memerintahkan penahanan terhadap Menlu Roeslan Abdul Gani pada 16 Agustus 1956. Roeslan dituduh terlibat perkara korupsi yang dilakukan Lie Hok Thay (wakil direktur Percetakan Negara). Saat itu Roeslan hendak menghadiri konferensi tingkat tinggi mengenai pengambilan Terusan Suez oleh Mesir.

Namun, istri Roeslan keburu menelepon Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo untuk memberitahukan penangkapan itu. Ali segera mengabarkan ke KSAD Nasution yang tidak tahu-menahu peristiwa tersebut. Kemudian, Nasution memerintahkan Garnizun Jakarta Mayor Djuchro untuk membebaskan Roeslan. Hari itu juga Roeslan bertolak menuju London (Kompas, 25 November 1987).

Karena memang ”musuhan”, Kolonel Zulkifli Lubis langsung menuding Ali Sostroamidjojo dan Nasution membantu dan melindungi kejahatan dengan meloloskan Roeslan dari penangkapan. Koran Indonesia Raya dan Pedoman langsung menyerang kebijakan Nasution.

Pada April 1957, Roeslan Abdul Gani dinyatakan terbukti bersalah karena menerima suap dan melanggar aturan (Ulf Sundhausen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, 1986 : 177). Penangkapan itu lantas mendapat dukungan luas dari korps perwira TNI-AD.

Namun, perseteruan Zulkifli dan Nasution berlanjut. Ada kelompok perwira senior yang tergolong menentang pimpinan AD. Mereka adalah Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel A.E. Kawilarang, Letkol Warouw, dan Letkol Sumual.

Pada 11 Oktober 1956, ada desas-desus kudeta. Zulkifli Lubis dituding melakukan makar. Akhirnya, perpecahan itu menjadi nyata dengan diumumkannya Dewan Banteng di Sumatera dengan ketuanya, Letkol Achmad Husein. Mereka merebut pemerintahan sipil setempat. Inilah awal mula PRRI yang bisa disebut krisis politik besar saat itu.

Pemberontakan ini akhirnya dapat diatasi pemerintah dan pasukan TNI. Nama Zulkilfli Lubis hanya menyisakan tinta hitam. Namun, siapa pun tahu bahwa ia adalah orang yang gigih menentang komunis serta perilaku koruptif dan suap pejabat pada masanya. Ia pun dikenal sebagai muslim yang taat. Shalat wajib tak pernah ia tinggalkan.

Bersama tokoh PRRI seperti Sjarifuddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Nasir, Kolonel Zulkifli Lubis menjalani karantina politik di Cipayung, Jawa Barat. Pada masa tuanya, Zulkifli menekuni wirausaha. Kegiatannya sehari-hari adalah bangun pagi pukul tiga, lalu shalat Tahajud dan berzikir hingga shalat Subuh. Setelah itu ia gerak badan dan berlanjut ke gerak pernapasan dengan berzikir.

Bekas kolonel AD itu sedikit sekali meninggalkan jejak saat aksi PRRI. Mungkinkah karena ia perwira intelijen ya yang akrab dengan kemisteriusan? Entahlah. Pada 23 Juni 1993, putra Sumut ini wafat dengan tenang. Meskipun pernah mewarnai pergolakan politik di Indonesia, Zulkifli Lubis diakui sebagai tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan dan militer di tanah air. Buktinya, ia mendapat kehormatan dengan dimakamkan di TMP Dredet, Kabupaten Bogor.

Sidoarjo, 9 Februari 2013

Sumber : disini

Penyerbuan Tabing

OLEH: DASRIELNOEHA

Air Tawar terletak kira-kira 7 kilometer dari Padang arah jalan ke Bukittinggi.
Disini terletak dua kampus perguruan tinggi yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang, dan Universitas Andalas (Unand).
Kedua kampus ini berdampingan ibarat saudara kembar.

IKIP mendidik mahasiswanya menjadi guru, sedangkan Unand mendidik mahasiswa menjadi sarjana beberapa ilmu terapan seperti Ilmu dan Teknologi Pertanian, Ilmu dan Teknologi Peternakan, Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Sedangkan untuk sarjana Hukum terletak di Muaro, Kedokteran di Pondok dan Jati, serta Ekonomi juga di Jati.

Pada tahun 1957, saat akan meletus peristiwan PRRI, mahasiswa IKIP dan Unand sedang asyik-asyiknya kuliah.
Namun, semuanya berubah setelah adanya pengumuman di Sungai Dareh atas berdirinya PRRI.
Ahmad Husein menghimbau partisipasi generasi Sumatera Barat untuk ikut andil mempertahankan martabat daerah yang sedang diinjak-injak oleh pemerintah pusat.
Dalam pidatonya di lapangan sepak bola di depan Fakultas Peternakan, pada bulan January 1958, apa apel mahasiswa Unand, Husein berpidato berapi-rapi akan perlunya Sumbar bangkit untuk memajukan daerah termasuk Unand dan IKIP, yang dikatakan sedang dianak tirikan oleh Pusat dibanding dengan UI, Gajahmada di Jawa.
Makanya kita harus berani melawan pusat untuk menuntut hak kita, demikian Husein membakar semangat mahasiswa waktu itu.

Makanya setelah 15 February, dilakukan pendaftaran besar-besaran tentara pelajar yang diikuti oleh ratusan mahasiswa Unand dan IKIP serta ada juga pelajar STM dan SMA di beberapa kota di Sumbar, ramai diikuti oleh mereka.

Terbentuklah beberapa kompi pelajar, yang dilatih secara kilat bagaimana cara menggunakan senjata dan bertempur.

Sebenarnya waktu latihan yang pendek itu hanya lebih banyak pada kegiatan baris berbaris dan pidato untuk membangkitkan semangat bertempur, belumlah cukup untuk menguasai ilmu perang dan kemiliteran secara benar.

*
Anisah, gadis kelahiran Solok, ikut mendaftar jadi anggota palang merah.
Waktu itu Anisah masih kuliah di IKIP jurusan Bahasa Indonesia.

Kemaren ia pulang kampung.
Ayah Anisah, Mak Kari yang jadi guru sekolah rakyat di Solok juga ikut PRRI. Kari diajak oleh mamak rumahnya kopral Salim yang telah jadi tentara dan anak buah Pak Husien.
Waktu Anisah mengatakan dan minta ijin ajahnya mau ikut palang merah di Padang, ayahnya menyetujuinya.
Hanya ibunya yang keberatan. Maklumlah Anisah adalah putri satu-satunya. Adiknya masih duduk di SMA Solok dan itu laki-laki.

Tapi setelah Anisah mengatakan bahwa tugas palang merah adalah hanya di rumah sakit dan tidak ikut perang, ibunya akhirnya mengalah.

Anisah mempunyai pomle seorang mahasiswa fakultas Peternakan Unand bernama Rustam. Rustam anaknya ganteng. Rambut ikal lebat dan dagunya kekar dengan sedikit brewok. Maklumlah ia anak seoarng nelayan dari Naras dan juga pesilat tangguh.

Mereka saling mencintai satu sama lain.

Sebelum Anisah meminta ijin ayahnya untuk masuk palang merah, ia telah mendiskusikan hal itu dengan Rustam kekasihnya.

*
Pantai Padang sore itu kembali ramai oleh pasangan anak muda yang menikmati deburan ombak pantai.
Deburan ombak itu membawa alunan suara cinta yang merasuk kedalam sukma para pasangan remaja yang menikmatinya dengan duduk di loneng tembok pantai, di kerimbunan pepohonan yang tumbuh di pantai itu.
Mereka sedang berpomlean.

Para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk melaut.
Setiap sore sebuah perahu nelayan yang dimuati dengan bekal untuk perjalanan semalam dan sebuah lampu sitarongkeng dinaiki oleh tiga orang nelayan.
Setelah didorong ketengah air, lalu mereka mendayung sekitar satu jam ketengah untuk memancing ikan ambu-ambu dan ikan pinang-pinang yang pada musimnya banyak di laut.

Sore itu pulang kuliah di Pantau Padang di Muaro.
Sepasang muda mudi sedang asyik duduk makan rujak di kedai di pinggir pantai Padang yang terkenal itu.
Ada banyak kedai rujak dan limun yang dibangun oleh para isteri nelayan di pantai itu.

Rustam dan Anisah, seperti pasangan lainnya sedang memandang indah deburan ombak pantai Padang yang seakan nyanyian asmara yang mengalun indah.

Rustam mengajak Anisah turun ke air.
Sambil berjalan memainkan ombak di kaki dan bergandengan tangan dua muda mudi yang dimabuk asmara itu berjalan gontai.

”Sah, saya telah mendaftar menjadi tentara kemaren”, kata Rustam memecah kesunyian mereka.

Suara Rustam terdengar seperti getaran petir di telinga Anisah. Suara itu diselingi oleh gempuran ombak pantai yang berdebur dengan suara gemuruh.
Suara ombak pantai Padang memang spesifik. Sering dijadikan madah buat lagu asmara.

”Uda, sudah mendaftar kemaren”, Anisah mengulang dengan pertanyaan.

”Ya Sah, saya dan enam orang teman mendaftar di Dodik Simpang Haru. Minggu depan kami akan menjalani latihan di Padang Besi Indarung. Ada banyak juga mahasiswa Unand yang mendaftar. Juga banyak temanmu dari IKIP yang ikut”, kata Rustam.

Anisah hanya terdiam. Sambil mempererat genggamannya di tangan Rustam, ia berhenti melangkah.

Sekarang di pipinya yang bak pauh dilayang, mengalir dua butir air bening. Ia tahu apa artinya mendaftar jadi tentara pelajar. Minggu lalu sewaktu Letkol Husein berpidato di lapangan sepakbola didepan kampus IKIP, ia mendengar bahwa sekarang perjuangan suci mengadapi perang dengan tentara pusat seakan menjadi panggilan bagi para mahasiswa.
Perang, ya perang, berulang Husien mengatakan kata-kata itu dalam pidatonya.

Perang berarti menggunakan senjata untuk saling bunuh.
Akankah nantinya Rustam ikut terbunuh?
Itu yang ada dibenak Anisah sekarang.

”Anisah, kenapa kenapa Isah menagis”, tanya Rustam.

”Saya tidak mau kehilangan uda Rustam”, kata Anisah pelan.

”Saya tidak akan terbunuh sayang. Dan lagi soal mati hidup, kan ada di tangan Tuhan. Isah tidak usah ragu melepas uda”, kata Rustam membujuk.

”Da, perang ini tidak tahu kapan usainya. Yang jelas pasti tentara pusat akan segera kemari. Uda akan bertempur. Dan uda akan jadi korban..

Air mata Anisah semakin deras. Rustam mengambil ujung selendang Anisah. Ia mengusap pipi lembut kekasihnya. Basah selendang itu kini.

”Kalau begitu, Anisah minta ijin uda untuk daftar jadi palang merah. Kemaren Putri mengajak Anisah untuk mendaftar”, kata Anisah.

”Jangan sayang, kamu tinggal di kampus sajalah. Kasihan kuliahmu kan tinggal setahun lebih saja lagi.

”Uda, aku juga mau turut menyumbangkan tenagaku untuk daerah kita. Toh sudah pasti kuliah akan tutup selama pergolakan”, kata Anisah.

Mereka kembali ke pondok jualan.
Rujak yang tadi mereka pesan telah hampir habis.
Rustam memanggil Etek Ami penjual rujak. Dan ia membayar dua piring rujak yang mereka pesan.

”Kamu pasti tidak akan diijinkan oleh ayahmu. Sudah minta ijin belum”, tanya Rustam.

”Belum da, besok rencananya Isah mau pulang. Putri juga pulang. Sekalian siap-siap untuk latihan di Rumah Sakit tentara Simpang Haru.

”Ya, kalau memang ayahmu mengijinkan, baiklah mari kita sama-sama berjuang. Kalau umur kita sama panjang, dan jodoh kita direstui Tuhan, kita akan tetap ketemu”, kata Rustam sambil merangkul bahu Anisah.

”Yang jelas saya tidak mau kehilangan kamu dewiku”, kata Rustam.

Hari semakin petang. Sebentar lagi maghrib akan datang. Rembang petang matahari mau turun di ujung kaki langit di lepas laut sana memang indah.
Warna langit yang kuning kemasan bercampur kemerahan perlahan turun ke kaki langit.

Mereka beranjak pergi. Naik oplet kearah Air Tawar.
Dua sejoli itu duduk terdiam di atas oplet tua jeep Wilis yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu.
Sebentar lagi mereka akan berpisah. Dipisahkan oleh pergolakan daerah yang mereka akan turut ambil bagian di dalamnya.

*
Hari baru jam sembilan di Air Tawar.
Hanya beberapa mahsiswa IKIP yang terlihat pergi kuliah pada pagi itu.
Unand telah dua minggu libur. Karena beberapa dosen ada yang ikut latihan di Padang Besi.
Yang tidak mendaftar jadi tentara memilih pulang kampung.

”Assalamualaikum”.

”Wa alaikum salam, eh uda Rustam”.

Rustam muncul pagi itu di tempat kos Anisah di Air Tawar.

Anisah sudah memakai pakaian putih-putih. Ia bersiap akan menuju Simpang Haru rumah sakit tentara tempat ia kini mulai bertugas jadi perawat yang disebut anggota palang merah.

”Sudah mau berangkat Sah”, tanya Rustam.
”Ya da, saya barusan mau menyetop oplet ke Simpang Haru”, kata Anisah.

Rustam datang dengan pakaian tentaranya. Sebuah senjata LE tersandang dibahunya.

”Uda kelihatan gagah dengan seragam ini”, kata Anisah.

”Isah juga makin cantik dengan pakaian palang merah”, balas Rustam.

”Sah, keadaan semakin genting. Tadi malam kami di berikan briefing oleh komandan di asrama Simpang Haru. Semua pasukan disiagakan. Kita sedang siaga satu menghadapi peperangan. Aku diperintahkan bersama kompi B Mawar bertugas di sekitar lapangan Tabing. Dan kompi A Melati bertugas di sepanjang pantai Ulak Karang.
Menurut berita intelijen, akan ada pendaratan pasukan APRI hari ini.
Sah, keadaan serius sekarang.
Kalau terjadi sesuatu pada kita, saya mohon kerelaan Isah”.

Rustam mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong celananya. Ia berikan kepada Anisah.
Anisah mulai basah matanya. Ia mengerti ari kata Rustam barusan. Akan ada perang sebentar lagi.

Ah, kenapa harus ada perang? Kenapa Husein tidak mau mengalah dengan pemerintah pusat? Kenapa pula harus berontak? Pertanyaan itu menggayut di benak Anisah. Seperti itu pula pertanyaan di sebahagian tentara PRRI muda yang di gabung dalam kompi pelajar itu.

”Sah, ini sebuah cincin yang saya beli di toko emas di Padang kemaren. Isah simpanlah cicncin itu. Cincin itu bertuliskan nama kita. Ia menjadi saksi cinta kita berdua”.

”Uda, kita harus segera bicara dengan ayah saya. Juga kita harus ketemu mak dan abak uda. Kita bicarakan ke pada mereka. Mari kita langsung bertunangan saja.
Ibu saya pernah menanyakannya kemaren sewaktu minta ijin menjadi palang merah”, kata Anisah.

”Sebenarnya memang baiknya begitu Sah. Tapi sekarang waktunya kelihatannya tidak mungkin lagi. Pakailah cincin itu. Anggaplah kita sudah berikatan”.

Anisah membuka kotak beledru biru itu. Sebuah cincin emas seberat 8 gram berkilauan. Di bagian dalam bertuliskan ”Anisah-Rustam”.
Rustam memasukkan cincin itu ke jari Anisah.
Cincin polos berbentuk ring itu pas benar di jari manis Anisah.

Tiba-tiba terdengar sayup-sayup dengungan pesawat terbang. Makin lama deru mesinnya makin keras.
Rustam melihat kelangit arah ke Gunung Padang. Dari sana di balik awan kelihatan iringan pesawat terbang.

”Isah, cepat sembunyi. Mereka telah datang. Aku harus segera gabung dengan pasukanku”.

”Jaga diri uda”.

”Assalamualaikum”.

Rustam terus berlari ke arah mudik. Larinya cepat menuju ke lapangan udara Tabing bergabung dengan pasukannya.

Ada lima pesawat terbang berputar-putar disepanjang pantai antara Ulak Krang dengan Tabing.
Kelihatan dengan jelas dari perut pesawat keluar pasukan payung terjun dari udara.
Paling banyak diterjunkan di sekitar lapangan udara Tabing.
Segera saja terjadi pertempuran di sana.

Rupanya itu adalah pasukan payung tiruan. Ternyata yang diterjunkan yang pertama itu adalah boneka kayu yang didandani mirip tentara yang berbaju loreng.
Pasukan PRRI yang kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa dan pelajar itu tertipu. Mereka menembaki boneka kayu itu.
Peluru banyak yang mereka habiskan percuma.
Komandan kompi becarut bungkang.

”APRI kalera, dikicuhnya awak”.

Danki segera berlari sambil menunduk, dan bersusah payah mengumpulkan anak buahnya sekitar Tabing.
Segera ia kembali mengumpulkan pasukan untuk konsolidasi.

Lima pesawat yang pertama kedengaran menjauh. Tetapi segera diganti dengan kedatangan tiga pesawat pembom dan dua pesawat penerjunan pasukan.
Kembali pasukan payung terjun di seputar bandara.
Kali ini lapangan udara Tabing dihujani oleh bom dari pesawat.

Pasukan loreng yang terjun kali ini benar pasukan dari APRI.
Kembali terjadi tembakan seru. Pertempuran kembali pecah. Pasukan APRI yang terlatih perang dari kesatuan lintas udara Brawijaya dan Siliwangi berhadapan dengan pasukan PRRI yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar yang masih hijau dengan suasana pertempuran.
Sungguh tidak seimbang keadaan perang siang itu. PRRI segera menjadi sasaran empuk pasukan APRI.

Hanya lima belas menit lapangan udara Tabing dikuasai oleh pasukan pemerintah pusat.

Para pasukan kompi B dan kompi A banyak yang menjadi korban. Yang luka dan masih hidup segera di tawan. Mereka dikumpulkan di hanggar lapangan udara.

*
Sejak mendengar bunyi pesawat pagi itu, dan setelah Rustam lari kearah Tabing, Anisah kembali masuk ke kamarnya.
Ia mengambil tas palang merah. Ia tidak jadi ke rumah sakit di Simpang Haru.

Anisah menyetop oplet menuju ke Tabing.
Setelah turun dari oplet, Anisah berlari kearah lapangan terbang.
Pertempuran terjadi di sana.

Banyak korban berjatuhan di pihak PRRI. Tentara yang masih muda-muda itu meringis dan meregang nyawa tersambar pecahan peluru mortir.
Mereka diserbu oleh pasukan APRI.

Anisah segera menolong para korban pertempuran itu. Baju putihnya kini sudah terpercik oleh darah para korban.

Di ujung landasan, dibawah pohon ketapang, seseorang menyeret badannya yang telah berlumuran darah.

”Tolong”, panggil orang itu.

Anisah segera berlari kearah orang itu.
Disampingnya empat mayat telah tercabik pecahan bom.

”Uda”, Anisah terpekik manakala melihat yang terluka berat itu adalah Rustam kekasihnya.

”Sah”, kata Rustam parau. Dari mulutnya keluar darah. Punggungnya robek kena pecahan bom.

Anisah segera membuka tas palang merahnya. Perbannya sudah habis terpakai untuk membalut luka para korban.
Sambil menangis ia membuka baju Rustam. Air matanya makin deras melihat dada bidang kekasihnya berlumuran darah.
Dua botol obat merah yang masih tersisa ia tuangkan ke luka Rustam. Rustam terluka parah. Ia kebatkan baju Rustam ke punggungnya yang ternganga. Darah terus mengalir.

Kaki kirinya juga patah dan terlihat tulang keringnya. Anisah membuka bajunya. Ia tidak peduli walau hanya tinggal kutang saja. Kulit putihnya belepotan darah Rustam. Kaki itu ia balut dengan robekan bajunya.

”Sah, jaga dirimu. Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku mulai kabur Sah”, kata Rustam tertahan-tahan.
Rustam kehilangan banyak darah. Itu membuatnya lemah dan hampir pingsan.

”Uda luka parah, jangan banyak bicara dulu”, kata Anisah sambil menangis.
Anisah memeluk tubuh kekasihnya.
Jemarinya ia sisirkan ke rambut ikal Rustam.
Rustam tersenyum kepada kekasihnya.

Kabut mesiu masih tebal di seputar lapangan terbang. Tembakan masih terdengar sayup-sayup di pantai. Rupanya ada pertempuran juga di sana. Pasukan katak angkatan laut mendarat di pantai Tabing.
Mereka segera mengadakan pembersihan dan memburu para PRRI yang ada di pantai.

”Sah, aku cinta padamu. Selamat ting…gal..Sah”.

Sambil tersenyum di bibirnya akhirnya Rustam menutup matanya.
Rustam membawa cinta Anisah bersama nyawanya yang melayang ke angkasa di lapangan udara Tabing. Rustam terkorban oleh pertempuran pagi itu.

Anisah meraung sambil tetap memeluk jasad Rustam.

”Udaaaa”.

Tragedi itu telah terjadi.
Dua kekasih itu telah terpisahkan oleh maut. Maut itu sungguh cepat datangnya. Pagi jam sembilan tadi mereka masih saling tersenyum menyatakan cinta mereka. Mereka masih saling mencium cincin pemberian Rustam.
Kini salah satu telah tiada.

Perang memang kejam. Perang hanya menyisakan duka dan nestapa. Cinta dua anak manusia, Anisah dan Rustam terenggut siang itu.

Rustam telah pergi. Ia menjadi korban pertempuran di lapangan udara Tabing antara PRRI dengan APRI.

Anisah memandang tubuh Rustam yang telah kaku. Ia menggenggam tangan kekasihnya itu.
Air matanya makin deras.

”Udaaa”, suara Anisah parau. Separau cintanya yang kandas.

Ia memandang muka Rustam. Sesungging senyuman terbayang di bibirnya. Wajah ganteng kekasihnya itu mulai kelihatan membeku. Anisah mengusap muka itu. Ia memegang brewok yang mulai tumbuh lebat di wajah itu.
Tangan Rustam ia lipatkan di dadanya.
Tangan Anisah berlumuran darah Rustam, di jari manisnya lekat sebuah cincin yang diberikan Rustam tadi pagi, terbungkus darah Rustam sendiri.
Rustam telah pergi selamanya membawa cinta mereka berdua.

Pesawat udara AURI telah menghilang.
Bekas pemboman meninggalkan lobang di landasan pacu. Asap mesiu bekas pertempuran masih tercium.

Anisah masih terpana dan berlinang air mata.
Ia masih memangku jasad Rustam.
Jasad yang masih tersenyum dan berkata-kata jam sembilan pagi tadi. Sekarang telah hilang nyawanya bersama cinta mereka yang telah dihancurkan oleh peperangan.

Sumber

PRRI, Protes Si Anak Tiri Dan Catatan Luka Urang Awak (1)

image

Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”—- (Kolonel Ahmad hussein, ketua dewan Banteng)

Kota padang, 20 februari 1958, seorang laki laki berpakaian militer berpidato dengan berapi api di depan rapat umum di kota tersebut. Dengan lantangnya laki laki betubuh tegap ini berkata: “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno…!!!” seraya mencopot dan membanting tanda pangkatnya ke tanah. Nampaklah sekali dia sangat gusar saat berpidato itu, wajahnya memerah karena menahan amarah di dalam dada. Rasa kesal, marah, kecewa bercampur aduk di dalam dirinya saat itu. Pemerintah pusat melalui Perdana menteri Ir. Djuanda menuduhnya sebagai seorang pemberontak dan memerintahkan KASAD untuk memecatnya dan teman teman kolonel seperjuangannya dari dinas kemiliteran. Sebagai seorang tentara yg telah malang melintang berjuang semasa revolusi fisik dahulu dia merasa sangat terhina ditantang tantang oleh seorang sipil seperti Djuanda, tak pedulilah kiranya ia seorang Perdana menteri sekalipun.

Seorang laki laki berkopiah dan bertongkat lalu menyabarkan dia, di tepuk tepuknya pundak kolonel muda ini. Disabarkannya seraya disuruhnya sang kolonel mengucapkan istighfar, lalu dipungutnya tanda pangkat yg dibuang tadi dan dipasangkannya kembali ke pundak sang kolonel. Rapat umum di kota Padang itu benar benar mengharu biru gegap gempita, belum pernahlah rasanya orang Minang merasa sedemikian terhina seperti saat itu. Mereka di cap sebagai pemberontak saat yg dilakukannya hanyalah meminta hak mereka sebagai anak dari ibu pertiwi ini dan mengkoreksi sang paduka nan mulia di Jakarta sana yg sedang asyik masyuk terlena dengan egoismenya. Laki laki berseragam militer ini lalu menyudahi pidatonya yg berapi api setelah menyatakan tidak takut kepada ancaman pemerintah pusat yg telah mengangkangi konstitusi dengan membubarkan dewan konstituante hasil pemilu yg sah. Dia juga membalas menuding Djuanda sebagai penjilat Soekarno dan komprador para komunis di sisinya. Siapakah laki laki yg dengan berani mengacungkan kepalannya kepada pemerintah pusat ini…? dia adalah Kolonel Ahmad hussein sang harimau Kuranji.

Harimau kuranji sang pengawal PDRI, punggawa proklamasi 17 agustus di masa pelarian

Ahmad Husein dilahirkan di Padang pada 1 April 1925, dalam lingkungan keluarga usahawan Muhammadiyah. Pada tahun 1943 di usia yang masih sangat muda (18 tahun), Husein bergabung dengan Gyugun. Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia menjadi perwira termuda Gyugun di Sumatera Barat. Pada saat revolusi, Hussein aktif merekrut anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menjadikan rumah orangtuanya sebagai markas sementara BKR. Selanjutnya, perannya dalam perjuangan makin menonjol ketika ia menjadi Komandan Kompi Harimau Kuranji dan kemudian Batalyon I Padang Area. Pasukan Harimau Kuranji begitu populer karena keberaniannya di medan pertempuran menghadapi Inggris dan Belanda/ NICA. Meroketnya Divisi IX/banteng sebagai kesatuan terbaik di Sumatera pada masa revolusi fisik membuat karier militernya segera meroket. Pada pertengahan tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, Husein dipromosikan menjadi Komandan Resimen III/Harimau Kuranji yang membawahi tiga ribu pasukan. Kekecewaan Ahmad Husein dan kawan-kawan bermula ketika Tentara Republik Indonesia (TRI) berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Konsekuensinya, terjadi efisiensi berupaya penyusutan jumlah anggota besar-besaran. Husein sendiri merelakan dirinya turun pangkat dari Letkol ke Mayor.

image

Di masa inilah tentara kerajaan Belanda melancarkan agresi militernya yg ke II. Kekuatan  Republik yg memang telah lemah akibat perjanjian Renvile dikejutkan oleh sebuah aksi militer mendadak tepat ke jantung ibu kota Yogyakarta. Pagi pagi buta, saat kekuatan militer lengah Jenderal Spoor menurunkan pasukan terjun payungnya di lapangan terbang Maguwo. Dalam waktu singkat ibu kota Yogyakarta berhasil dikuasai, bahkan presiden Soekarno, wakil presiden merangkap Perdana menteri Mohammad Hatta beserta beberapa orang menteri lainnya ditangkap dan ditawan Belanda. Sementara itu PB. Jenderal Soedirman melarikan diri keluar kota untuk memulai perang gerilya. Seluruh kekuatan Indonesia baik sipil maupun militer lumpuh total dan republik yg masih sangat muda saat itu nyaris tamat riwayatnya. Beruntunglah beberapa jam sebelum ditawan presiden Soekarno sempat mengirim kawat kepada menteri kemakmuran MR. Syafrudin prawiranegara yg saat itu sedang berada di Bukit tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, disingkat PDRI.

Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus, Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup. Pada masa agresi militer Belanda II ini Ahmad hussein bersama anak buahnya berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari serangan Belanda. Kontak bersenjata menghadapi Belanda beberapa kali terjadi. Dalam pertempuran di Lubuak Selasih 11 Januari 1949, pasukan Hussein memperoleh kemenangan. Namun upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI. Ahmad hussein dan kompi Harimau kuranjinya yg ikut keluar masuk hutan mengawal PDRI kadang harus kucing kucingan dengan patroli Belanda. Tak jarang pula mereka musti babak belur bahkan lari lintang pukang bersama MR. Syafrudin untuk menyelamatkan diri karena jika tertangkap itu artinya selesai pulalah NKRI yg diproklamasikan 4 tahun yg lalu. Beruntunglah seluruh rakyat di ranah Minang kala itu membantu mereka seratus persen. Tak ketinggalan pula peranan ulama dan niniak mamak (*pemangku adat) juga tak kepalang besarnya dalam membantu mereka saat itu. Sebuah perjuangan yg mengharu biru, tak kalah mengharu birunya dengan kisah gerilya PB. Soedirman di pulau Jawa.

Akhir tahun 1949 Agresi militer Belanda berhenti, Soekarno dan Hatta dibebaskan, PBB mengakui kedaulatan Indonesia. Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy ending yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, MR. Syafruddin prawiranegara berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno. Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Alhamdulillah…, atas berkat pertolongan Allah nan maha pengasih jualah kiranya republik ini dapat diselamatkan. Pemerintahan kembali ke tangan dwi tunggal Soekarno – Hatta dan selesailah riwayat PDRI. Tak ada satu orangpun yg hadir pada saat penyerahan mandat itu menyangka kalau orang orang yg baru saja keluar masuk hutan dalam rangka menyelamatkan dan melarikan republik itu 10 tahun kemudian terpaksa keluar masuk hutan kembali. Namun kali ini bukan sebagai pejuang, namun sebagai orang orang yg di cap sebagai pemberontak dan harus segera ditumpas keberadaannya dari bumi pertiwi yg mereka bela mati matian ini. Benarlah adanya kata pepatah: Hujan sehari, dapat mengapus panas selama setahun…, gara gara nila setitik maka rusaklah susu sebelanga.

Awal mula kekecewaan  si anak tiri

Tersebutlah kiranya masa itu 1956 angka tahunnya, Indonesia tercinta ini saat itu telah 11 tahun merdeka adanya. Ranah Minang nan elok, nagari nan diapit gunung Merapi dan gunung Singgalang mulai berbenah mengobati luka luka akibat revolusi fisik. Hijau ranaunya nagari “darek” (*daerah Minang pegunungan dan pedalaman), curam dan terjalnya tebing tebing serta landainya pantai di nagari “pasisia” (*daerah pesisir ranah Minang) mulailah membenahi diri untuk menyongsong hari depan yg lebih baik. Banyaklah kiranya ketinggalan yg harus dikejar, banyak pula kain sobek nan perlu dijahit agar si buyuang dan si upik merasakan manisnya kue kemerdekaan dan legitnya sebuah kata berbunyi “pembangunan”. Agar tiadalah sia sia darah anak nagari tumpah di bumi pertiwi ini, agar tiada sia sia pulalah air mata bundo kanduang meratapi mayat si buyuang nan tertembus peluru “urang Balando”. Agar tiada terbuang percuma jualah adanya doa dan restu para ulama dan para angku niniak mamak, Minang sakato harus maju basamo pulo.

Namun apa daya, untung tak dapat di raih malangpun tak dapat dicegah. Keadaan ranah Minang tiadalah banyak berubah dari masa penjajahan dulu. Masyarakatnya tetaplah miskin, bahkan tak sedikit yg kelaparan, tak bergerak kondisinya dari masa nan telah lewat. Kesehatanpun tiadalah pula membaik, bahkan di masa masa setelah PDRI menurut cerita ayah saya merebaklah penyakit tukak “nambi”, sebangsa penyakit eksim yg sulit dicari obatnya. Sementara penyakit cacar air dan  cacing tambangpun merajalela menjangkiti anak nagari yg menjadi harapan kelanjutan negeri ini. Perumahanpun sulit di dapat, jangankan bagi orang sipil, bagi eks tentara yg ikut berjuang sajapun sulit adanya. Rakyat terpaksa hidup besempit sempit di rumah yg kecil sementara mereka terus beranak pinak. Rasanya kosong hampalah adanya janji janji manis kemerdekaan yg kerap kali di dengung dengungkan di masa revolusi fisik dahulu itu. Alam kemerdekaan ternyata tak seindah yg diharap harap dan dibayangkan, bahkan nyaris tak ada bedanya dengan masa penjajahan.

Sebuah hal yg sangatlah ironis adanya karena di kala itu nyatanya hasil bumi tanah Minang kabau berupa karet, beras, kopra dan minyak bumi melimpah adanya. Namun Semua pajak dan kekayaan diangkut oleh pemerintah pusat ke Jawa sementara anak nagari diam terpaku menahan lapar dan dahaga. sementara itu nun jauh di seberang selat sunda sana sedang dibangun proyek proyek mercusuar seperti Monas dan tugu pancoran atas perintah sang paduka presiden yg mulia, yg uangnya tentulah dikeruk dari bumi pulau sumatera dan lainnya. Maka orang Minang saat itu laksana anak tiri yg diabaikan beberadaannya, tak diberi kesempatan mencicipi manisnya kue pembangunan yg semuanya dilakukan di Jawa.  Bahkan gubernur sumatera tengah (*meliputi sumatera barat dan Riau sekarang) pun dijabat oleh seorang Jawa bernama Roeslan Mulyoharjo, “urang jawo” kalau bahasa pasaran urang awaknya. Jadi wajarlah kiranya kalau di masa itu ada sebuah perasaan di dada mereka bahwa setelah kepergian Tuan Belanda maka datanglah Tuan jawa. Wajar pulalah jika mereka merasa harga diri mereka seakan dipentalkan ke belakang, hasil tanahnya dibawa ke tanah seberang sementara anak nagari menderita hidup berkekurangan. Anak nagari yg juga babak belur memperjuangkan republik ini tentulah merasa dianak tirikan karena tak dapat mencicipi manisnya kue kemerdekaan seperti saudaranya di pulau Jawa.

image

Sementara itu sang paduka yg mulia presiden Soekarno semakin asyik masyuk dalam mimpi mimpi revolusionernya. Gaya berpolitik dan kebijakannya semakin condong ke arah kiri, blok timur, Peking di Cina dan Moskow di Russia. DN Aidit, Lukman dan Njoto, triumvirat PKI semakin mendapat tempat di sisinya, menjadi orang orang kepercayaannya. Warnanya semakin memerah, Kruscev digandengnya, Chou en lai di gamitnya, menjauhi yg putih dan hijau yg dari dulu setia membela dan mendukungnya. Rupanya telah lupalah adanya sang putera fajar ini bahwa baru 8 tahun yg lewat sajalah dia berpidato berapi api di depan corong RRI Yogyakarta menyerukan rakyat untuk memilih Soekarno – Hatta atau PKI Musso?. Saat Madiun affair terjadi, saat para ulama yg merestuinya sebagai pemimpin negeri muslim ini digiring ke pejagalan, disiksa dan digorok lehernya sampai mati. Kebijaksanaannyapun semakin cenderung otoritarian bagaikan raja raja jawa yg mana sabdanya adalah laksana keputusan dari Tuhan yg maha kuasa, tak boleh dibantah apalagi ditentang adanya.

Hal ini membuat Hatta sekalipun manjadi semakin jengah dengannya, semakin merasa tak lagi sejalan dengannya dan menjauh darinya. Namun putera asli Bukit tinggi ini lebih memilih untuk mundur daripada harus berseteru dengan kawan seperjuangannya ini. 1 Desember 1956 dia resmi melepaskan jabatannya, namun Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta yg menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaannya itu, yg reputasinya melegenda bahkan nyaris menjadi mitos itu , mulai hari itu juga resmi tanggal, berselisih faham berpisah jalan selamanya. Dan walaupun banyak usaha yg dilancarkan berbagai fihak agar mereka berdamai, agar Hatta kembali ke pemerintahan, agar dwi tunggal kembali bersatu menjadi nahkoda bangsa ini, tapi apa daya… biduk telah terlanjur terlongsong ke tengah lautan, sulit rasanya kembali ke tepian. Lalu Ketika Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih rakyat pada pemilu 1955 dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Hatta melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar rampung. Hatta melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka. Soekarno marah karena isi buku tersebut  dianggap menentang kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga dilarang untuk dibaca, dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk menyiarkan buku tersebut, dan barang siapa yang tidak mengindahkan larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu sendiri.

Rengekan dan protes si anak tiri nan tak diindahkan oleh ayahnya sendiri dan marahnya para banteng ranah Minang

Syahdan para eks divisi Bantengpun merasakan hal yg sama, prihatin dengan keadaan ranah Minang dan daerah daerah di luar Jawa yg semakin sengsara. Apalagi setelah restrukturisasi militer Divisi banteng nan gagah berani, yg ditakuti lawan dan disegani oleh kawan ini terpaksa rela di pangkas sedemikian rupa personilnya. Sebagian dari mereka dipensiunkan dini, seperti Kolonel Ismail lengah yg ditakuti oleh NICA di masa revolusi fisik dahulu. Sebagian lagi ditarik ke Jakarta dan sementara sisanya dilebur kedalam Divisi lain seperti Divisi Siliwangi sehingga tercerabut dari akarnya, terpisah dari induknya di Sumatera. Banteng yg dulu gagah dan sakti mandraguna itu kucar kacir personilnya, seakan dipaksa untuk rela dipotong kedua tanduknya dan bahkan bak digiring ke pejagalan saat statusnya diturunkan menjadi sebuah Brigade saja, yaitu Brigade Banteng dibawah pimpinan Letnan kolonel Ahmad Hussein. Sementara itu kekuatan militer nun jauh di seberang selat sunda sana dipupuk, dikembangkan dan dibangun sedemikian rupa. Maka tersebutlah Divisi Diponegoro, Brawijaya dan Siliwangi nan begitu besar dan lengkap persenjataanya. Bagaikan tungau dan seekor gajahlah kiranya jika jumlah personil dan persenjataannya dibandingkan dengan divisi Banteng yg tersisa, padahal Pulau Sumatera nyaris dua kali lipat pulau Jawa besarnya.

Keprihatinan ini memicu mereka para eks Divisi Banteng ini kemudian melakukan reuni untuk membicarakan nasib daerah asal mereka dan seluruh Indonesia pada umumnya. Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan, yg pertama dilaksanakan di Jakarta pada 21 September 1956 sedangkan yg Kedua di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956. Namun reuni resminya sendiri akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan ini kemudian penuh sesak dengan keluhan dan pembahasan mengenai keadaan sosial, politik dan ekonomi saat itu. Hasilnya reuni kemudian membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng. Anggota Dewan Banteng ini berjumlah 17 orang, diambil dari angka tanggal proklamasi agar nyatalah adanya bahwa mereka sedang memperjuangkan cita cita proklamasi 17 Agustus. Anggotanyapun tiadalah hanyalah orang orang eks Divisi Banteng yg notabene dari kalangan militer saja, melainkan juga dari kalangan sipil pemerintah daerah, alim ulama, cadiak pandai (*para cendikiawan), dan niniak mamak (*pemangku adat). Ini menandakan bahwa perjuangan Dewan Banteng ini di dukung oleh seluruh elemen masyarakat Minang, seluruh partai kecuali PKI, dan seluruh urang awak tanpa terkecuali. Dan memang begitulah kenyataannya, seluruh anak nagari mendukung perjuangan Dewan Banteng yg sedang berusaha menuntut hak mereka kepada pemerintah pusat ini, sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”.

Tapi alih alih memenuhi dan mengkoreksi diri sendiri setelah membaca rekomendasi yg diberi nama “Tuntutan Dewan banteng”  ini, Perdana menteri Ir. Djuanda beserta segenap anggota kabinet dari PNI dan PKI malah menganggapnya sebagai pemberontakan. Kolonel Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato berapi api di depan corong RRI Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, namun justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi. Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Selain itu dia juga mengecam Soekarno  karena kian memihak kepada komunis, membangun proyek proyek mercusuar dan menutup mata pada kesengsaraan rakyat terutama yg berada di luar Jawa. Surat rekomendasi itu sendiri baru diterima oleh presiden Soekarno saat dia sampai di Jakarta setelah kembali dari cutinya selama 2 minggu. Sungguh kenyataan yg ironis, disaat negara sedang bergolak maka paduka yg mulia pemimpin besar revolusi malah sedang asik menikmati gerak gemulainya tarian seorang gheisha yg kelak dikenal dengan nama Dewi Soekarno, isteri terakhir sang proklamator tersebut. Soekarno hanya tersenyum saja saat membaca surat rekomendasi tuntutan Dewan banteng yg kemudian hari memicu dibentuknya dewan dewan lainnya di daerah lain seperti Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Kol. Barlian), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol. Simbolon), dan Permesta di Sulawesi (Kol. Ventje Samual). Bagi Soekarno para kolonel tersebut hanyalah anak anak nakal yg sedang merengek rengek dan bertindak nakal sehingga perlu sedikit dijewer telinganya. Soekarno memang selalu memposisikan dirinya sebagai ayah di hadapan perwira perwira militer, angkatan darat khususnya.

Beberapa ikhtiar untuk mendamaikan konflik pusat dan daerah telah dilakukan, baik lewat lobi-lobi pribadi maupun lewat forum terbuka nasional seperti Munas bulan September 1957, Piagam Palembang dan lain-lain. Namun apalah daya, semua usaha itu mentah akibat sebuah kejadian yg menimpa Soekarno pada malam tanggal 30 November 1957. Saat menghadiri ulang tahun sekolah anaknya di Cikini seseorang melempar granat ke mobilnya. Paduka presiden seumur hidup itu selamat namun kejadian itu membuatnya merubah sikapnya yg semula agak lunak menjadi sangat keras terhadap lawan lawan politikya. Peristiwa yg dikenal dengan nama peristiwa Cikini itu menjadi salah satu alasannya untuk menangkapi lawan lawan politiknya dan otomatis itu artinya juga membalas protes para kolonel PRRI/Permesta dengan sebuah tindakan yg tegas. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang orang PKI untuk memukul telak lawan lawan politiknya yg selama ini menjadi duri dalam daging yg mengganjal hubungan antara mereka dan Soekarno.

Pasca peristiwa Cikini keadaan Jakarta bagaikan bara nan dapat meledak dan membakar siapa saja yg bertentangan dengan sang pemimpin besar revolusi. Fitnah yg berhembus entah dari mana menimpa setiap lawan politiknya terutama yg terkenal sangat memusuhi PKI. Rumah MR. Mohammad roem di Jakarta dikepung massa, untunglah dia beserta keluarganya dapat menyelamatkan diri lepas dari kepungan massa yg di sinyalir digerakkan oleh unsur unsur Pemuda rakyat dan SOBSI, organisasi underbouwnya PKI. Hal yg sama juga dialami oleh para tokoh Masyumi yg saat itu menjadi lawan politik Soekarno seperti Mohammad Natsir, mereka lalu mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan banteng. Hal ini sangatlah wajar jika mengingat sumatera tengah adalah basis massa Masyumi dan nyaris terbebas dari unsur unsur PKI sehingga mereka merasa aman dari ancaman orang orang PKI yg bersembunyi dibalik nama soekarnois. Bahkan seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia (*PSI) yg juga menjabat menteri keuangan yg dituduh korupsi oleh pihak militer juga ikut mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan Banteng. Maka berkumpulah para lawan politik Soekarno dan orang orang PKI yg sedang menjadi benalu di sisinya di Sumatera tengah untuk melancarkan perlawanan terhadapnya.—— bersambung ke bagian 2—–  (*Liga chaniago, akhir agustus 2013)

Sumber

Terkait : PRRI, Protes Si Anak Tiri Dan Catatan Luka Urang Awak (1)

Perang-Perang di Indonesia

B-25 Mitchell

PRRI/Permesta – Dalam sejarah TNI AU, pembumihangusan separatis PRRI/Permesta, (1958), menorehkan peperangan udara “spektakuler”. P-51 Mustang dan B-25 mencabik-cabik pertahanan PRRI/Permesta di Padang dan Manado. PRRI diembrioi dengan lahirnya Dewan Gajah dan Dewan Banteng, 20 dan 22 Desember 1955. Gerakan separatis ini disikapi Jakarta dengan membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah. Sikap Jakarta inilah yang dibalas “pemberontak” dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Februari 1958.

Memang seperti penyakit menular. Letkol Ventje Sumual mengumumkan SOB yang sekaligus menandai proklamasi Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), 2 Maret 1957. Jakarta segera membentuk operasi gabungan APRI. Di Sumatera digelar operasi “17 Agustus”, di Sulawesi digelar operasi “Merdeka”. P-51, B-25, dan C-47 Dakota disiapkan untuk operasi ini. Dari kedua kelompok, Permestalah yang menakutkan AURI. Karena memiliki beberapa P-51 dan B-26 yang diterbangkan pilot-pilot bayaran dari Amerika, Taiwan, dan Filipina.

Dalam menghadapi PRRI, AURI menyiapkan hingga 40 pesawat hampir seluruh kekuatan di Tanjung Pinang. Berturut-turut dalam operasi perebutan, B-25 dan P-51 menghujani dengan senapan mesinnya Lanud Simpang Tiga Pekanbaru (12 Maret), kota Medan (17 Maret), serta kota Padang (17 April). 17 hari kemudian, Bukittinggi juga jatuh ke tangan pasukan APRI.

Di Selebes, kembali AURI menggelar operasi dengan menidurkan radio Permesta di Manado (22 Februari 1958), merebut keunggulan udara di Mapanget, Tasuka, Morotai, dan Jailolo (5 Mei), hingga mandulnya Permesta 23 Mei. Begitu gencarnya pertempuran di darat maupun dari udara, sempat memancing pesawat Lockheed U-2 Dragon Lady. Pesawat ini pernah dimanfaatkan mengintai pulau Natuna yang disiapkan untuk menggempur Jakarta. Buntut perang ini memperburuk hubungan Jakarta-Washington. CIA ternyata berada dibelakang semua aksi itu.

P-51 Mustang

Lewat perang ini pula lahir ace kalau boleh menyebut pertama Indonesia. P-51 Mustang yang diterbangkan Kapten Udara IGN Dewanto menembak jatuh B-26 Permesta yang diterbangkan Allen Lawrence Pope. Peristiwa heroik ini terjadi 18 Mei 1958.

Trikora – Dengan lantang, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, 19 Desember 1961, Presiden Soekarno menyerukan, “… oleh karena Belanda masih melanjutkan kolonialisme di tanah air kita…, maka kami perintahkan kepada rakyat Indonesia, juga yang berada di Irian Barat, untuk melaksanakan Tri Komando.” Tiga tahap rencana operasi : infiltrasi, penghancuran, dan konsolidasi, segera disusun. Pesawat, kapal perang, radar, tank, senjata, disiapkan.

Guna memuluskan operasi, dibentuklah Komando Mandala yang membawahi unsur AD, AL, AU, dan Kohanudgab Mandala, 11 Januari 1962. Sebagai panglima komando mandala yang berada langsung di bawah Panglima KOTI Presiden Soekarno, dipercayakan kepada Mayjen Soeharto. Adapun wakil panglima mandala ditunjuk Komodor Laut Soebono dan Komodor Udara Leo Wattimena.

AU Belanda diperkuat 24 pesawat buru sergap Hawker Hunter Mk-06 yang berpangkalan di Biak, enam helikopter Aloutte, 10 Neptune, setengah skadron C-47 serta dua unit radar tipe 15 Mk-IV di Numfor dan pulau Wundi. Terbatasnya daya jangkau MiG-17 dan P-51, menjadi kendala bagi AURI, karena AU Belanda masih didukung AD dan AL.

Namun begitu, operasi-operasi pengintaian dan infiltrasi telah dilaksanakan. Seperti mengejar kapal selam di Morotai, menembak kapal asing, menyerang kapal Belanda di pulau Gag di perairan Irian Barat, sampai menerjunkan PGT dan RPKAD. Operasi penyusupan ini diberi nama Banteng Ketaton.

Dalam operasi penerjunan, pesawat C-47 selalu mendapat pengawalan dari P-51 dan B-25/26. Berhadapan dengan kekuatan udara Belanda pun sudah terjadi di sini. Seperti usai penerjunan di Kaimana, jatuh korban. Pesawat angkut C-47 yang diterbangkan Kapten Djalaluddin Tantu, ditembak jatuh ke laut dalam penerbangan pulang oleh Neptune Belanda. Namun begitu, AURI boleh berbangga. Karena secara keseluruhan, keunggulan udara dapat diraih.

Sekiranya AURI tidak siap, tentu tidak mungkin keunggulan di udara dicapai sehingga penyusupan-penyusupan lewat udara dapat dilakukan yang tidak jarang dilaksanakan juga dengan formasi C-130. Untuk menghadapi Operasi Jayawijaya, AURI sengaja menyiapkan unsur udaranya secara besar-besaran. Lihat saja, bomber (10 Tu-16 dan 10 Tu-16 KS), enam B-25 dan B-26 (empat cadangan), delapan IL-28 dengan dua cadangan. Unsur angkut dan SAR masing-masing delapan C-130 dengan dua cadangan, 20 C-47 Dakota, enam Mi-4 dan Bell-204, lima UF Albatros serta dua Twin Otter. Unsur serang pertahanan udara dan serang darat masing-masing disiapkan tujuh P-51, dan 18 MiG-17 Fresco. Disamping itu, AURI juga menyiapkan dua batalion pasukan tempurnya yang sangat disegani kala itu, Pasukan Gerak Tjepat (PGT). Radar-radar turut ditempakan di Morotai, Bula, dan Saparua.

Walau perang terbuka urung berkecamuk, beberapa pesawat AURI mengalami kecelakaan. Tercatat 2 P-51, 2 MiG-17, 1 C-47, 1 Albatros, 2 Il-28, dan 1 B-26, mengalami kecelakaan dalam operasi pembebasan Irian Barat. Peristiwa ini, memakan korban lebih kurang 20 penerbang beserta awak-nya. Beberapa kali penerjunan yang dilakukan di Kaimana, Fak Fak, Sorong, Klamono, Teminabuan, dan Merauke, juga mengakibatkan gugurnya 94 prajurit PGT.

Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI, di propinsi paling timur ini muncul gerombolan yang menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Lodewyk Mandatjan. Operasi kembali di gelar. Sebuah B-25 diterbangkan LU I Suwadji dan B-26 diterbangkan Letkol P Soedarman, menggempur OPM di desa Tindowi, 90 km dari Manokwari, Agustus 1965. Masih di bulan Agustus, B-26 mendapat tugas mengamankan sekaligus menolong satu regu Kopasgat dan Polisi yang dikepung 12.000 anggota OPM. Operasi sukses. Tidak ada yang terluka, Alhasil, operasi pembebasan Irian Barat menjadi catatan sejarah penting sebagai operasi gabungan terbesar yang pernah dirancang dan dilaksanakan ABRI (sekarang TNI).

Dwikora – Belum hilang penat dari bumi cendrawasih (konflik dihentikan 18 Agustus 1962), AURI sudah dihadapkan lagi kepada “pilihan politik” untuk menyiapkan alutsistanya menghadapi negara jiran Malaysia. Ini berawal dari pidato Soekarno yang mengatakan ingin membantu rakyat Kalimantan Utara yang menentang pembentukan Federasi Malaysia. Ajakan “perang” Soekarno yang terkenal dengan Dwikora ini, diucapkannya di Jakarta, 3 Mei 1964.

Tidak kalah hebat dengan Trikora, 8 Tu-16, 4 P-51, 9 B-25, 2 C-130, 11 C-47, serta 4 Il-14, dinyatakan siap. ALRI juga menyatakan kesiapannya dengan menempatkan ratusan kapal didukung pesawat terbang serta beberapa batalion marinir. Celakanya, kekuatan AURI harus berhadapan dengan AU Inggris dan AU Australia yang melindungi negara persemakmurannya. Kekuatan gabungan Inggris-Australia diduga terdiri dari 50-an bomber, 24 Hawker Hunter, 24 Gloster Javelin, 30 F-86 Sabre, serta 6 skadron pesawat angkut dan 12 helikopter. Belum dihitung skadron rudal Blood Hound serta 2 skadron pesawat stand by di Australia. Pertahanan Malaysia makin sempurna dengan dukungan pasukan darat dan laut (27 batalion, 16 batalion artileri, belasan kapal, serta pasukan Gurkha).

Sekali lagi, gelar pasukan segitu besar harus diakhiri di meja perundingan, seperti halnya Trikora. Meletusnya pemberontakan G 30S/PKI, telah menyita perhatian publik serta militer yang memaksa para elit negara harus segera menghentikan konfrontasi. Pasukan segera ditarik. Sebuah C-130 Hercules AURI diterbangkan Mayor Djalaluddin Tantu yang sekiranya menerjunkan 1 kompi PGT di Malaka, hilang pada tanggal 1 September 1964.

Penerjunan di Dili – Menurut beberapa pengamat militer Indonesia, operasi penerjunan di kota Dili, 7 Desember 1974, merupakan operasi lintas udara (Linud) terbesar yang pernah dilaksanakan TNI. Satu batalion pasukan tempur terdiri dari Grup-1 Kopassandha dan Brigade 18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur, diterjunkan di pagi buta dari sembilan pesawat angkut berat C-130 Hercules Skadron Udara 32 TNI AU.

Perebutan Dili diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan TNI dalam perebutan Benteng Batugade (17 Oktober). Garis besarnya, operasi ini dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dari Lanud Iswahyudi Madiun, dengan droping zone (DZ) Dili. Diterjunkan Grup-1 Kopassandha dan Yon Linud 501. Sortie berikutnya diberangkatkan dari Penfui Kupang dengan DZ Komoro. Ikut dalam sortie ini Yon 502 dan Baret Merah yang menurunkan Denpur-1, disebut Nanggala-5. Sortie terakhir, direncanakan juga dari Kupang.

Kalau selama Trikora, airborne operation bisa sukses karena didukung pesawat tempur. Nah, di Dili, ini masalahnya. Bantuan tembakan udara tidak bisa diharapkan dari P-51 karena digrounded. Sementara T-33-Bird dan F-86 belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26, hanya dua yang serviceable. Pilotnya juga sebanyak pesawatnya. Ujung-ujungnya, dua C-47 disulap menjadi AC-47 gunship dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, mendampingi B-26.

Begitulah. Tepat pukul 05.45, peterjun pertama melompat keluar dari ramp door pesawat. Beberapa prajurit langsung gugur, karena ketika masih melayang di udara disambut timah panas Fretilin dari bawah. Termasuk pesawat. Empat C-130 terkena dihantam senapan mesin ringan dari bawah. Bahkan load master T-1312, Pelda Wardjijo, gugur karena peluru menembus badan pesawat.

Pasukan yang diterjunkan dengan cepat menguasai Dili. Pukul 07.45, kembali sortie kedua diterjunkan di Komoro. Petang itu juga, pemerintah segera mengumumkan bahwa Dili telah dibebaskan.

Bagi Kopasgat TNI AU, operasi ini penting. Gelar Kopasgat terjadi dua hari kemudian, 9 Desember, ketika delapan C-130 kembali menerjunkan Kostrad, Kopassus, dan 156 Kopasgat pukul 07.25. B-26 melindungi penerbangan kali ini. Tugas Kopasgat adalah membebaskan lapangan terbang Baucau, atau lebih populer dengan Vila Salazar Baucau dalam bahasa Portugis.

Detasemen Kopasgat dipimpin Kapten (Psk) Afendi. Operasi ini sekaligus membuktikan kemampuan Kopasgat melaksanakan Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD). Hanya bertahan 23 tahun, propinsi termuda ini lepas dari RI setelah jajak pendapat, 30 Agustus 1999. Sebuah perjuangan yang dramatis sekaligus menyisakan sejuta pertanyaan.

Sumber: angkasa-online.com

Kisah Heroik Para Polisi Tameng Peluru Bung Karno

Bung Karno

Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan hari jadi ke 67, banyak polisi yang terjerat kasus dan memalukan kesatuan. Tapi banyak pula yang membuktikan kesetiaan luar biasa pada negara.
Salah satu kisah heroik para polisi ini adalah saat Detasemen Kawal Pribadi (DKP) berkali-kali menyelamatkan Presiden Soekarno dari percobaan pembunuhan.

Ajun Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo mengisahkan peristiwa tanggal 14 mei 1962 itu dalam buku Gerakan 30 September, pelaku, pahlawan dan petualang yang ditulis Wartawan senior Julius Pour, terbitan Kompas.
Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) ini baru menerima kabar dari Kapten (CPM) Dahlan. Laporan itu menyebutkan Kelompok Darul Islam merencanakan untuk membunuh Presiden Soekarno.
Saat itu Mangil memeriksa jadwal presiden Soekarno satu minggu kedepan. Mangil yakin, para pemberontak itu pasti akan menyerang Bung Karno saat sholat Idul Adha. Saat itu istana menggelar sholat Id, penjagaan relatif longgar dan semua pintu istana terbuka.

Maka Mangil bersiaga saat Idul Adha, Dia sengaja tidak ikut sholat Id. “Saya duduk enam langkah di depan bapak. Disamping saya duduk Inspektur Polisi Soedio, kami berdua menghadap kearah umat, sedangkan tiga anak buah, Amon Soedrajat, Abdul Karim dan Susilo pakai pakaian sipil dan berpistol duduk disekeliling bapak,” cerita Mangil.
Tiba-tiba saat ruku’, seorang pria bertakbir keras, dia mengeluarkan pistol dan menembak ke arah Bung Karno.
Refleks, semua pengawal berlarian menubruk Bung Karno. Amoen melindungi Bung Karno dengan tubuhnya.
Dor ! Sebutir peluru menembus dadanya Amoen terjatuh berlumuran darah.

Dor ! Pistol menyalak lagi. Kali ini menyerempet kepala Susilo. Tapi tanpa menghiraukan luka-lukanya, Susilo menerjang penembak gelap itu. Dua anggota DKP membantu Susilo menyergap penembak yang belakangan diketahui bernama Bachrum. Pistol milik Bachrum akhirnya bisa direbut DKP. Bung Karno berhasil diselamatkan. Begitu juga dengan dua polisi pengawalnya, untungnya walau terluka parah, Amoen dan Susilo selamat.

Bung Karno juga menceritakan serangan ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams. Beliau menyebutkan, berkali-kali Darul Islam mencoba membunuhnya. Mulai dari serangan pesawat udara, granat Cikini, dan akhirnya menyerang saat sholat Idul Adha. Bung Karno menilai mereka adalah orang-orang terpelajar yang ultrafanatik pada ideologi tertentu. Orang-orang yang mencoba membunuh Bung Karno di adili dan dihukum mati. Namun belakangan Soekarno memberikan amnesti dan membatalkan hukuman mati tersebut.

“Aku tidak sampai hati memerintahkan dia dieksekusi,” kata Bung Karno.

Pergolakan PRRI di Sumatera Barat

Kisah Tentara Banteng Raiders  Menyerang Kantor Dewan Banteng Masa Pergolakan PRRI

Penulis menyaksikan Tentara Banteng Raiders  sebagai bagian  dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mengambil alih  kantor Dewan Banteng dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PRRI) dibawah pimpinan almarhum Letkol TNI Ahmad Yani (terakhir Pangad berpangkat Jendral yang meninggal sebagai korban G30 S PKI)) dari rumah penulis yang lokasinya persis didepan kantor tersebut. Suatu pengalaman yang tidak pernah dapat dilupakan seumur hidup.

Kisah ini ditulis saat kunjungan terakhir  Bulan Agustus 2010 saat upacara penguburan almarhum Ibu tercinta di Padang Panjang, setelah acara tersebut  nostalgia melihat bekas rumah  yang sudah dijual saat pindah ke Jakarta  dan oleh pemiliknya  didirikan Hotel Ambacang, yang hancur saat gempa besar tahun 2009 , sedih rasanya melihat rumah dimana kami sekeluarga tinggal dan dibesarkan sejak tahun 1950 hanya tinggal puing-puing di televisi  dan saat itu berupa tanah yang sedang diratakan.

Sedangkan kantor Dewan Banteng PRRI yang sesudah dibebaskan APRI dijadikan kantor POM TNI KODAM Tujuh Belas  Agustus (saat ini KOREM SUMBAR) masih berdiri megah.

Kisah ini adalah cuplikan sebagian  dari buku elektronik kreasi penulis yang belum dipublikasikan. Beberapa kisah menarik sebagai berikut:

1. Kisah Ultimatum 10 Februari  dan Porklamasi PRRI 15 Februari 1958

2. Kisah Kapal Perang APRI Membombardir Kota Padang 14 Juli 1958

Kapal Perang APRI dalam Operasi Militer 17 Agustus, membombardir kota Padang dengan Mortir dari Kapal Perang APRI sudah hampir sepuluh hari show of force di lautan Hindia didepan Pantai Kota padang, penulis melihat ratusan kapal besar kecil tersebut.

Pada tanggal 15 Juli 1958, sekitar  jam 02:00 wib  dini hari anggota militer kantor Dewan Banteng di depan rumah penulis di jalan Bundo Kandung no 16 (saat itu Jalan Gereja) mengedor pintu membangunkan almarhum ayah untuk mengajak mengungsi ke Ladang Padi dan Sukarami Solok yang dijadikan Markas baru, tetapi ayah tidak mau ikut , mereka mengatakan tentara Pusat maksudnya APRI akan menyerang dan menembak Kota Padang dengan Mortir. Pagi harinya ayah berangkat ke Sukarami dengan Paman untuk menjemput Uang untuk membayar alat-alat tulis milik Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya yang diambil oleh Tentara Dewan Banteng.

Saat ayah berangkat menuju Sukarami, jam 08:00 wib pagi tanggal 16 Juli 1958, terdengar tembakan Mortir yang bunyinya BOOM BOOM ….Sing..Sing…. ,bila bunyi mendesing berarti peluru mortir sudah lewat dan selamat. Kemudian siang hari suasana tenang, mulailah kami, saya dan kakak naik sepeda melihat rumah yang jadi korban, kantor Tentara bagian Zeni di pinggir Pantai Padang hancur, Rumah di Simpang Enam hancur, ini tembakan salah arah sebenarnya untuk Kantor KOMDAK (saat ini POLDA) PRRI di jalan Nipah, satu lagi peluru mortir jatuh di belakang Bioskop Karya tapi tidak meledak, salah arah sebenarnya ditujukan ke Kantor Dewan Banteng didepan rumah ,syukur rumah kami selamat.

Sore harinya syukur ayah selamat pulang kerumah dan berhasil memperoleh pembayaran atas alat tulis miliknya, saya salut pada tentara Dewan Banteng atas kejujuran mereka karena biasa saat genting seperti itu umumnya maen ambil semaunya dengan gratis.

Ayah membawa makanan lezat dari Sukaramai namanya Dendeng Batokok (diketok), masih say ingat saat makan malam dengan teman kakak ,tembakan mortir kembali mualai lagi, pembantu rumah tangga Kami namanya EKA ,saat bunyi BOOM BOOM segera sembunyikan kepalanya dibawah tungku Masak dari beton tetapi rokenya (bahsa slank minag buat bokong) masih kelihatan. Segera para wanita Ibu ,kakak dan adik sembunyi diruang perlindungan yang sudah diperdsiapkan satu minggu yang lalu dibuat dalam tumpukan karung berisi pasir mengeliling temapt tidur, tetapi karena seranggan bom mortir tambah genjar,serta lubang perlindingan sangat pengap, Para wanita dari keluarga kami malam tersebut saya dan akak lelaki mengantarkan mereka berlindung dirumah Paman di kompleks  kampung Pondok Namanya (sekarang jalan Niaga), hal ini dipurtuskan ayah berdasarkan pengalaman saat serangan pendudukan jepang tahnun 1942 yang lalu, Warga  di kampung Pondok juga telah mempersiapkan diri dengan perlindungan Polisi Rakyat (saat ini Satpam).

3. Kisah Penyerangan Kantor Dewan Banteng PRRI dikota Padang oleh Tentara Banteng Raiders.17 April 1958

Sejak pagi hari beberapa pesawat terbang melayang-layang diudara, penduduk kota Padang sangat gembira, karena ada pengumuman diradio bahwa ada bantuan pesawat terbang dari Armada ke tujuh Amerika Serikat yang sudah mangkal di Perbatasa dekat kepulauan RIAU, untuk menyelamatkan ladang minyak Caltex di Rumai Pakan Baru milik mereka, tetapi kemudian ternyata itu pesawat APRI dari operasi Militer untuk melindungi pendaratan Tentara Payung di Lapangan terbang Tabing dan pendaratan Marinir dan Banteng raiders  dengan kapal Amfibi di wilayah dekat lapangan terbang di muara sunggai Batng Kuranji di Air Tawar dekat kompleks UNAND (saat ini UNAS) dan Universitas Bung Hatta.(info dari koleksi buku lama milik penulis). Tentara PRRI lari liwat selokan dan berusaha menembak Kapal Terbang dengna senjata modern hadiah dari luar Negeri seperti Thompson, juga ada Basoka dan juggle riffle serta Mitraliur dsbnya yang penulis tidak kenal namanya ,yang didaratkan liwat kapal selam dua minggu yang lalu dalam kontainer yang tiba di panati Padang,banyak rakyat yang menyaksikan termasuk penulis karena tempat itu dekat kediaman.

Malam hari lampu mati, saya,ayah dan kakak lelaki Edhie serta pembantu Lelaki si Panjang  (sudah menjadi pembantu sejak saat Ayah masih kecil). Suasana sangat sepi tidak ada bunyi apapun, tidak ada satupunmanusia dan kendaraan dijalan depan rumah, gelap mencekam . Kami berempat melihat dari ruangan tamu depan rumah dengan  jendela  kaca ke arah Kantor Dewan Banteng,pembantu si Panjang ketakuatn dan  menepok nyamuk yang  mengigitnya sampai dilarang ayah untuk buat suara dengan berkata bahwa bila ribut akan ditangkap dan dibunuh Tentara Pusat (maksudnya APRI) .

Sekitar jam 11.00 malam, tiba-tiba terdengan bunyi ledakan beberapa buah granat diiringi suara derap sepatu bot tentara, saya melihat tentara dengan wajah yang sudah digelapkan dan memakai penyamaran berlari berliku-liku menuju kantor Dewan Banteng, setalh setenga jam suar ribut tembakan ,kemudian suasana jadi sunyi lagi. Kamipun pergi tidur,pagi-pagi jam enam pagi waktu melihat keluar halaman rumah, sungguh kaget ada lebih kurang limaratus tentara Banteng Raiders tidur bergelimpangan diahalman rumah yang luasnay 3500 meter persegi, tidur pulas dengan senjata dan ranselnya dan yang lainnya madi dengan tela njang terjun kedlam sumur air tanah milik kami sampai airnya hasib terkuras, tetangga kami yang tinggal dipaviliun rumah ,kemudian bercerita bahwa putrinya tertawa cekikikan karena mengintip tentara banteng Raiders mandi telanjang masuk sumur sampai dilarah ayahnya.

Saya salut komandan Banteng raiders dan anak buahnya tidak membangunkan kami, dan dengan ramah meyalami kami semua, mereka berkata kami sudah sepuluh hari tidak mandi,mohon maaf air sumurnya kotor dan hasibis karena anak buahnya sangat gerah,rupanya tentara PRRI tidak memberikan perlawan,mereka sudah lari kemarkasnya yang baru di Sukaramai Solok dan Muarapanas.

Pagi harinya tentara Banteng Raiders dari APRI saya lihat patroli menyisir kota Padang dalam bentuk regu berjalan berbaris satu persatu dengan senjata Karaben dengan sangkur terhunus ,kasihan senjatanya masih kuno sisa perang dunia kedua jauh dibandingkan dengan milit tentara PRRI. Sinag hari rakyat sudah mulai ramai dijalan  dan kemudian diperintahkan agar selama satu bulan smapai 17 Agustus 1958 bendera harus dinaikkan siang hari dan diturunkan malam hari. Sungguh saya terharu melihat perjuang Tentara APRI dalam rangka melindungi Sang Saka Merah Puti,kendatipun PRRI tetap mengunakan bendera yang sama .

Penulis melihat tukang rokok didepan rumah,dekat bekas  kantor Dewan banteng yang sudah dijadikan Markas POM TNI, dimarahi dan dihukum push up dan menghormat bendera Merah Putih karena bender dan tiangnya jatuh dihembus angin,juga malamnya ayah penulis dibawa Ke KODIM Padang untuk menerima teguran dan menanda tangani pernyataa agar tidak lupa menurunkan bendera Merah Putih mmalam hari yang ditaruk di tingkat dua dekat jendela Toko Percetakan dan Alat Tulis miliknya.

Kisah lengkap akan diadd ke web blog penulis, setelah dikoreksi oleh pembaca web tersebut akan diedit dan diterbitkan dalam bentuk buku elektronik edisi terbatas pribadi.Kisah tentang pergolakan PRRI sudah banyak ditulis anatra lain dalam koleksi penulis Buku PRRI dan PERMESTA, Buku Operasi Militer tujuh Belas Agustus Menumpas PRRI, ” Buku Ahmad Yani Sebuah Kenang-kenangan “tulisan Ibu Ahmad Yani  dengan sekelumit kisah profile Ahmad Yani.

Almarmuh Ahmad Yani menempa dan memantapkan Korps Banteng Raiders yang kemudian tahun 1958 dipimpinnya dalam operasi militer untuk memulihkan keamanan Sumatera Barat yang menjadi terganggu karena adanya PRRI. Pak Yani berangkat operasi tanggal 14 April 1958 dengan motto  “Bagi saya hanya ada dua alternatif, pertama : berkubur didasar lautan dan kedua ialah mendarat dikota Padang”.” (hal 170-197), Buku Autobiografi Kolonel Simbolon, Kisah PRRI dlam Majallah Angkatan darat 1958, serta beberapa koleksi arsip-arsip PRRI yang penulis temui saat bertugas di Sumatera Barat 1974-1989, termasuk koleksi pribadi foto rumah penulis dan Kantor Dewan banteng tahun 1958 serta koleski uang PRRI, banyak jenisnya ada dengan stempel walinegeri, beberapa jenis  Tanda tangan dan  salah satunya denagn stempel PRRI tanpa tanda tangan terbitan tahun 1959 saat pemerintah RI menarik seluruh uang dan didevalausi uang lima ratus dan seribu rupiah jadi  lima puluh dan seratus rupiah baru,tetapi pecahan seratus kebawah tidak didevalausikan , terpaksa PRRI yang memiliki banyak uang pecahan besar tersbut membuhuhkan stempel dan tanda tangan , lihat illustrasi dibawah ini.

Bila pembaca ingin membaca kisah yang lengkap tentang Pergolakan PRRI dan Operasi Militer  Tentara Banteng Raiders dibawah Pimpinan Alamarhum Jendral Ahmad Yani, silahkan klik web blog penulis dan ajukan permintaan buku elektronik terbatas tersebut sebagai pesanan sebab jumlahnya terbatas hanya seratus buku, bila PT Gramedia berkenan membeli Hak Cipta buku ini. akan diterima dengan senang hati.

Terima kasih atas kesedian pembaca membaca kisah singkat ini yang masih belum rapi dan masih banyak kekurangannya sehingga saran, tambahan ifo  dan koreksi dari Pembaca sangat penulis dambakan, agar dapat diedit jadi lebih sempurna mungkin maklum saya bukan penulis profesional.

Sekian @hakcipta Dr Iwan Suwandy 2010.

Sumber

Dewan Banteng dan PRRI

Ini merupakan rangkaian tulisan Syafri Segeh di Padang Ekspress, Sangat penting juga bagi generasi muda minangkabau memahami PRRI.

Dewan Banteng dan PRRI (1)

Oleh : Syafri Segeh, Wartawan Senior Sumatera Barat

WALAUPUN antara Dewan Banteng yang dibentuk tanggal 20 Desember  1956, 52  tahun yang lalu, dan Pemerintah  Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diproklamirkan oleh Dewan Perjuangan (bukan oleh Dewan Banteng) tanggal 15 Pebruari 1958, 50 tahun yang lalu, ibarat mata uang logam yang satu sisinya hampir sama dengan sisinya yang lain, namun berbeda tujuan, “seiring batuka jalan”.

Maksudnya walaupun Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng di satu sisi, tetapi di sisi lain Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang memproklamasikan PRRI. Dewan Banteng dibentuk bertujuan untuk membangun Daerah sedangkan PRRI membentuk Pemerintahan tandingan melawan Pemerintah Jakarta yang sah waktu itu.

Gagasan membentuk Dewan Banteng timbul di Jakarta pada 21 September 1956 dari sejumlah Perwira Aktif dan Perwira Pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah dulu setelah mereka melihat nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang Kemerdekaan melawan Belanda tahun 1945 -1950, keadaan Kesehatan amat sederhana, anak-anak mereka banyak yang menderita penyakit dan kematian.

Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentera Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Para perwira aktif dan perwira pensiunan dari eks. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang Kemerdekaan, hidup mereka semakin susah,tidak bertemu janji keadilan dan kemakmuran bersama itu.Pemerintah Pusat lebih mementingkan Daerah Pulau Jawa ketimbang Daerah diluar pulau Jawa dalam hal pembagian “kue” pembangunan, sedang daerah di luar pulau Jawa adalah penghasil devisa yang terbanyak.

Pertemuan sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan eks. Divisi Banteng di Jakarta itu kemudian dilanjutkan dengan mengadakan Reuni di Padang dari perwira-perwira aktif dan pensiunan eks. Divisi Banteng pada tanggal 20 –24 Nopember 1956 yang pada pokoknya membahas masaalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah. Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan dari eks. Divisi Banteng itu akhirnya membuat sejumlah keputusan yang kemudian dirumuskan di dalam tuntutan Dewan Banteng.

Untuk melaksanakan keputusan-keputusan Reuni itu,maka dibentuklah suatu Dewan pada tanggal 20 Desember 1956 yang dinamakan “ Dewan Banteng”mengambil nama Banteng dari Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Di dalam perang Kemerdekaan tahun 1945 -1950 melawan Belanda dulu di Sumatera Tengah dibentuk sebuah Komando militer yang dinamakan dengan Komando Divisi IX Banteng.

Sesudah selesai perang Kemerdekaan dan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1950, maka Komando Divisi Banteng ini diciutkan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh dan Jawa Barat. Pengalaman yang sangat menyedihkan dialami oleh Batalyon “Pagar Ruyung” yang sesudah bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukannya dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan induk pasukannya Divisi Banteng diputus.

Terjadi berbagai hal sehingga ada yang meninggal dunia dan ditahan. Komando Divisi Banteng makin lama makin diciutkan, sehingga akhirnya tinggal satu Brigade yang masih memakai nama Brigade Banteng, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein. Kemudian pada bulan April 1952 Brigade Banteng diciutkan menjadi satu Resimen yang menjadi Resimen Infanteri 4 di dalam Komando Tentera Teritorium (TT) I Bukit Barisan (BB) di bawah Komando Panglimanya Kolonel Simbolon.Letkol. Ahmad  Husein diangkat kembali menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB itu.

Pemecahan Batalion-batalion dan pembubaran Komando Divisi Banteng itu menimbulkan bibit-bibit dendam dari para pejuang perang Kemerdekaan melawan Belanda yang bernaung di bawah panji-panji Divisi Banteng itu. Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang dari Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.

Lengkapnya susunan Pengurus Dewan Banteng itu adalah :Ketua,Letkol, Ahmad Husein,Komandan Resimen Infanteri 4, Sekretaris Jenderal Mayor (Purn) Suleman, Kepala Biro Rekonstruksi Nasional Sumatera Tengah, sedangkan anggota-anggotanya adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa, Kepala Polisi Sumatera Tengah, Sutan Suis, Kepala Polisi Kota Padang, Mayor Anwar Umar, komandan Batalion 142 Resimen 4. Kapten Nurmatias Komandan Batalyon 140, Resimen Infanteri 4. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung, Bupati 50 Kota, Ali Luis Bupati d/p di Kantor Gubernur Sumatera Tengah, Syekh Ibrahim Musa Parabek Ulama, Datuk Simarajo, Ketua Adat (MTKAAM).

Kolonel (Purn) Ismael Lengah, Letkol (Purn) Hasan Basri (Riau), Saidina Ali Kepala Jawatan Sosial Kabupaten Kampar, Riau, Letnan Sebastian Perwira Distrik Militer 20 Indragiri, Riau, a. Abdulmanaf, Bupati Kabupaten Merangin, Jambi, Kapten Yusuf Nur, Akademi Militer, Jakarta dan Mayor Syuib, Wakil Asisten II Staf Umum Angkatan Darat di Jakarta.

Selain itu Dewan Banteng didukung oleh segenap Partai Politik, kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI), juga didukung oleh segenap lapisan masyarakat seperti para pemuda, alim ulama, cadiak pandai, kaum adat sehingga waktu itu lahirlah semboyan,” timbul tenggelam bersama Dewan Banteng”. (Sumber)

Next>

Trikora: “Dua Hari Gempuran, Menang”

Trikora: “Dua Hari Gempuran, Menang”

Suasana di Antonov Room, Klub Eksekutif Persada Halim siang itu awal September, terasa emosional. Kalau biasanya hanya dihadiri para purnawirawan TNI AU yang tergabung dalam Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP-AURI), maka siang itu, seorang kolonel purnawirawan yang selama 34 tahun “lenyap” seperti ditelan Bumi, hadir di hadapan mereka. Kolonel (Pur) Theodorus Hendrikus Gottschalk, kelahiran Semarang 25 Maret 1918, dengan hangat menyapa dan memeluk erat setiap purnawirawan yang menghampiri maupun yang dihampirinya.

Bisa dikata, tidak satupun penerbang TNI AU angkatan Kalijati periode 1950-an yang tidak kenal Gottschalk. Dialah instruktur pertama sekolah penerbang Lanud Kalijati (sekarang Lanud Suryadarma) setelah dipindahkan dari Lanud Andir, Bandung (sekarang Lanud Hussein Sastranegara). Sementara komandan pertama Mayor Ahmadi.

Sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar 1949, Belanda mengeluarkan maklumat yang berisi himbauan kepada seluruh personel militer Belanda di Indonesia untuk membuat pilihan: bergabung dengan TNI atau kembali ke Belanda. Sersan Penerbang Th. H. Gottschalk memilih himbauan pertama. Penerbang P-40N Kitty Hawk Skadron 120 Militaire Luchtvaart diterima AURIS 10 Mei 1959.

Gottschalk mengisahkan secara khusus masa-masa indahnya selama mengabdi di TNI AU kepada Adrianus Darmawan, Beny Adrian, dan Donna CH. Asri. Wawancara sedianya berlangsung di Klub Eksekutif Persada Halim. Karena banyaknya teman-teman lamanya yang ingin bercengkerama sampai mengganggu jalannya wawancara, kami akhirnya sepakat untuk melanjutkan obrolan santai ini esoknya di sebuah guest house, masih di Halim Perdanakusuma. Dengan bahasa Indonesianya yang sedikit “rumit”, Angkasa menyajikan petikan wawancaranya berikut ini.

T : Anda disebut-sebut sebagai orang yang paling berjasa dalam merintis Sekolah Penerbang. Bisa diceritakan?

J : Suatu hari saya dipanggil Pak Surya (Komodor Suryadarma, KSAU pertama, red). Dia bilang, jalankan (tugas sebagai kepala sekolah, red) baik-baik. Padahal saya sendiri tidak punya bekal yang cukup walau semasa di KNIL pernah jadi instruktur. Kurikulum tidak ada, referensi juga tidak. Namun pegangan saya yang utama adalah murid itu sendiri, pesawat yang kedua dan ketiga baru instrukturnya. Seperti pernah disodorkan kepada saya beberapa nama untuk di wash out. Saya bilang, jangan dulu. Saya cek mereka, memang anaknya kurang berani tapi saya lihat kalau naik sepeda motor kok berani. Saya bilang, ‘Kamu laki-laki atau di celana kamu ada apa?’ Eh, dia marah. Hasilnya, dia jadi berani hingga akhirnya terbang.

T : Tapi sebelum di Kalijati, katanya pendidikan dilakukan di Andir,  Bandung?

J : Betul, hanya dua bulan dengan siswa Mulyono, Pracoyo dan Hadi Sapandi. Mereka fighter dan merupakan angkatan pertama fighter. Setelah itu baru saya diperintahkan segera ke Kalijati untuk membentuk flying school. Angkatan pertama saya terbang dengan 20 murid diantaranya Pedet Sudarman, Sompil Basuki, Waluyo, dan Sutopo. Pagi dengan kelas bintara sore kelas perwira.

T : Sebenarnya apa modal Anda hingga berani menerima tugas berat itu?

J : Saya tidak tahu. Waktu masih di ML, baru terima brevet penerbang saya sudah jadi instruktur. Di sini juga, hingga akhirnya saya jadi Komandan Sekolah Instruktur Penerbang pertama tahun 1958. Namun yang paling penting adalah starting point murid untuk jadi penerbang itu karena apa. Itu sangat mempengaruhi keterampilannya.

T : Alasan Anda sendiri memilih bergabung dengan AURI?

J : Diawali dari pertemuan saya dengan Wiweko Supono dan Ashadi Tjahyadi di Andir Bandung. Kedua orang ini ditugasi mengurusi pesawat-pesawat B-25 Mitchell, P-51 Mustang, AT-16 Harvard, dan C-47 Dakota yang dihibahkan Belanda ke AURI. Wiweko dan Ashadi tidak tahu siapa yang harus menerbangkan. Beliau meminta sukarelawan penerbang Belanda tapi tidak ada yang mau. Hanya saya yang bersedia. Karena ini teman-teman Belanda panggil saya pembelot. Wiweko tanya, you mau masuk AURI? Saya gembira sekali, karena saya tidak suka kembali ke Belanda dan ini kesempatan bagi saya untuk tinggal di Indonesia. Kalau ke Belanda sebagai instruktur, itu berarti tugas. Kalau tinggal di Indonesia, saya ikut membangun AURI. Lebih menarik dan tantangan besar. Saya tidak suka kembali, ayah juga sudah jadi WNI. Di sini saya membangun sesuatu yang besar, sebuah angkatan udara.

T : Bisa Anda sebutkan satu-dua misi operasi di AURI?

J : Saya ikut hampir semua misi dengan Harvard, bukan Mustang karena kebetulan saya di pendidikan. Kenapa Harvard yang sebenarnya pesawat latih? Ceritanya waktu Kalijati tidak aman dari gerakan DI/TII, saya minta bantuan Mustang menyerang. Sayang Mustang telat dan mereka telah lari. Saya berpikir, kenapa tidak Harvard dipersenjatai dengan senapan mesin dan pelucur roket. Insiatif ini ternyata membawa keuntungan. Buktinya ketika Permesta meletus di Sulawesi, Harvard diperintahkan Pak Surya ke Sumatera untuk menggantikan tugas Mustang yang harus digeser ke Timur. Waktu itu penerbangnya masih berstatus kadet. Saya pimpin sendiri para siswa.

T : Apakah Anda tidak khawatir mengingat penerbang masih berstatus siswa?

J : Cerita ini menarik. Malah sebelum ke Sumatera, kami beroperasi juga di Flores dan Timor. Problem saya waktu ke Sumatera adalah murid-murid yang masih baru dengan rata-rata baru mengantongi 30 jam terbang serta belum tahu cara menembak. Sebelum ke Medan, mereka saya latih penembakan dari udara di Palembang. Hidung pesawat kami cat warna-warni. Operasi ini sempat membuat kaget pihak asing. Mereka pikir, Mustang dan B-25 dipindahkan ke Timur, kok, malah sekarang muncul pesawat-pesawat lain? Tapi saya mau katakan, sebenarnya pelajaran penembakan udara yang masuk dalam kurikulum sekolah waktu itu tidak betul. Materi itu adalah porsinya training operational, bukan sekolah penerbang. Namun ini semua karena kebutuhan yang mendesak.

Theodorus Hendrikus Gottschalk merupakan satu dari jutaan saksi mata Perang Pasifik. Saat itu dia ditempatkan di Skadron 120 Militaire Luchtvaart yang dibentuk tahun 1943 dan berpangkalan di Merauke sebelum dipindahkan ke Biak 19 Juni 1945. Gottschalk meraih Groot Militaire Brevet dan Waarnemer Brevet Kalijati Juli 1941. Karena Kalijati semakin tidak aman dari Jepang, mereka dikirim ke Australia dengan kapal laut (1942). Australia pun sama. Jadilah mereka dikirim ke Jackson Mississippi, AS hingga mendapat brevet penerbang operasional.

Tahun 1943 Gottschalk dikirim ke Inggris untuk memperkuat korps udara Sekutu dalam menghadapi AU Jerman. Hanya dua bulan, Spitfire tidak sempat diterbangkannya hingga dikembalikan ke AS. Di AS Gottschalk menjadi instruktur penerbang Belanda selama enam bulan. Setelah itu dia kembali ke Australia. Akhir 1945, bersama 39 penerbang lainya Gottschalk menerbangkan ferry 40 North American P-51 Mustang dari Brisbane ke Jakarta dengan rute Brisbane-Darwin-Kupang-Jakarta. Pada 10 Mei 1950, Gottschalk resmi pindah ke AURIS dan pangkatnya dinaikkan jadi letnan udara I pada 1 Juli 1950. Gottschalk pernah menjadi Panglima Korud IV, Biak, Papua selama empat tahun (1963-1967). Tahun 1968, Gottschalk diberhentikan dengan hormat setelah menjabat Ditjen Litbangau. Tidak lama kemudian dia meninggalkan Indonesia.

T : Menarik juga menerawangi peran dan posisi Anda ketika kampanye Trikora di Irian Barat?

J : Untung Anda menanyakannya. Waktu itu saya Pamen (perwira menengah) Urusan Persiapan Staff College (cikal bakal Seskoau) yang akan didirikan di Lembang. Tiba-tiba saya dapat surat untuk menghadap Leo Wattimena, Panglima AULA (Angkatan Udara Mandala). Leo bilang, you ikut ke Irian bantu kami buat rencana operasi, khususnya penyerangan Biak. Saya akhirnya jadi staf oprasi Pak Leo.

T : Apakah ada yang meragukan “loyalitas” Anda, mengingat Anda indo-Belanda?

J : Pak Leo sendiri yang tanya soal ini. Saya bilang bahwa tidak ada keraguan pada diri saya, saya setia kepada AURI dan Indonesia.

T : Bisa Anda sampaikan pandangan Anda jika konflik berubah jadi perang terbuka?

J : Kepada perwira operasi saya sampaikan bahwa fighter Belanda hanya day fighter bukan night fighter. Kita punya bomber Tu-16 untuk bom landasan mereka. AURI punya B-25 dan P-51, tapi itu bukan tandingannya (jet Hawker Hunter). Juga muncul kekhawatiran Tu-16 bakal ditembak Hunter. Saya bilang tidak mungkin karena Belanda tidak punya airborne radar. Serangan ke Biak sebagai pusat pertahanan Belanda dapat dilaksanakan dengan airborne assault yang mendahului pendaratan armada laut dan pasukan darat. Teori ini akhirnya diakui. Saya berdebat lama dengan Leo.

T : Bagaimana dengan kapal induk Karel Doorman?

J : Kapan berangkatnya kapal itu kami tidak tahu. Buat apa takut, Tu-16 punya guidance bom dan Karel Doorman merupakan “baja besar” yang dengan gampang dihantam rudal. Mereka pasti mati!

T : Kesimpulannya?

J : Kita pasti menang, itu analisa saya. Dalam dua hari gempuran, keunggulan di udara akan diraih. Mereka hanya punya dua landasan di Biak dan Sorong yang dengan gampang bisa dihancurkan Tu-16 agar fighter-nya tidak sempat naik. Begitu juga dengan pasukan darat mereka. Coba lihat ketika PGT dan RPKAD diterjunkan di pedalaman. Itu kan propaganda. Namun Belanda terpancing dan mengejar hingga Biak kosong. Kita bisa lihat peta kekuatan dari sini. Ketika saya balik ke Belanda, saya dengar dari beberapa veteran bahwa tentara Belanda yang dikirim ke Papua ternyata bukan professional soldier tapi milisia.

T : Ada yang meragukan kesiapan AURI saat itu. Katanya untuk Tu-16, yang disiapkan penerbang Rusia?

J : Itu tidak benar. Memang ada orang Rusia, tapi kami sudah sepenuhnya operasional.

T : Mengenang masa lalu, momen apa yang paling hebat dalam hidup Anda sebagai fighter?

J : Perang Dunia II dan di Irian Barat.

T : Maksud Anda tentu Perang Pasifik. Sebagai penerbang P-40, apakah Anda tidak khawatir menghadapi Zero?

J : Tidak, malah saya berharap sekali bisa ketemu. Kami diajarkan dogfight menghadapi Zero. Zero (A6M Mitsubishi “Zero”) itu manuvernya baik sekali pada kecepatan 400 mil per jam, jangan fight di bawah kecepatan itu, you akan kalah. Jadi harus fight dengan kecepatan di atas 400.

eks KNIL(Pasukan Belanda yang menjajah Indonesia) jadi republiken… (Sumber)

Hashasin, Namanya Melegenda di Timur Tengah

Jakarta – Majalah Times memasukkan Hashishin dalam 10 pasukan elite sepanjang zaman. Siapa mereka? Bagaimana sepak terjangnya dan benarkan mereka adalah pengisap ganja atau hashis?

Hashishin atau hashasin, namanya melegenda di Timur Tengah pada tahun 1092-1265. Sejarah soal kelompok ini bercampur dengan dongeng dan mitos. Namun yang pasti, kelompok ini merupakan pembunuh yang sangat terlatih. Memiliki kemampuan tinggi untuk meneror dan menghabisi lawan-lawan mereka.

Seorang tokoh sekte Islamiyah, Hasan-i-Sabbah lah yang mendirikan gerakan ini. Hassan sangat populer di kalangan Sekte Islamiyah, dia memiliki banyak pengikut. Dia mendirikan Hashasin untuk melawan lawan politiknya, terutama dinasti Saljuk yang beraliran Sunni.

Namun karena saat itu Perang Salib melanda Timur Tengah, kemudian para pengikut Hassan ini ikut memerangi ksatria salib dari Eropa.

Kata Hashisin, merupakan sindiran yang diberikan lawan-lawannya. Hashis, berarti pengisap ganja. Mitos menyebutkan mereka adalah pemabuk dan pengisap ganja. Namun sebenarnya, nama yang benar adalah Hashasin, yang berasal dari kata Asasiyun, yaitu orang yang berpegang teguh pada iman.

Ada tiga urutan dalam organisasi Hashasin, yang paling atas disebut Muhibbin. Golongan ini adalah yang paling setia pada Hassan. Merekalah pembunuh yang paling terlatih. Mampu bergerak cepat, menguasai berbagai bahasa dan mampu menggunakan berbagai senjata. Tapi keahlian yang paling ditakuti adalah menggunakan belati pendek melengkung. Ratusan korban mereka tewas dengan belati tertancap di dada.

Hashasin membangun jaringan mereka di seluruh Timur Tengah. Bergerak di dalam sel-sel bawah tanah, misi mereka penuh kerahasian. Kehadiran mereka menghadirkan teror bagi musuh-musuhnya. Mereka bisa menyamar menjadi apa saja demi kesuksesan misi mereka. Korban pertama mereka adalah seorang pejabat Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk yang dibunuh tahun 1092 di Baghdad. Selanjutya korban-korban mereka terus berjatuhan. Tapi Hashasin tidak melawan rakyat jelata, mereka hanya meneror lawan-lawan politik mereka.

Sosok Hashasin masuk dalam Film Prince of Persia. Penuh magis, mematikan dan menebar horor. Mungkin memang seperti itu Hashasin bekerja pada masanya.

Markas mereka dinamakan Benteng Alamut. Sebuah kastil megah di Persia, di tempat inilah Hasan-i-Sabbah melatih para pengikut setianya. Marco Polo, seorang penjelajah Eropa menggambarkan kastil ini seperti surga, dengan segala kenikmatan di dalamnya. Dia menceritakan Hassan memberikan ganja untuk memabukkan para pengikutnya. Beberapa tulisan menggambarkan kastil ini juga dipenuhi wanita cantik yang menggoda.

Sepak terjang Hashasin selama ratusan tahun akhirnya berakhir. Serangan Bangsa Mongol tahun 1257 ke Alamut menghancurkan benteng ini, dan menghancurkan sebagian besar catatan tentang Hashasin. Selanjutnya, Kesultanan Ottoman menghancurkan sisa-sia kekuatan Hashasin. Berakhirlah kisah kelompok elite ini.

Tapi namanya abadi, kata Assassin dalam bahasa Inggris yang berarti pembunuh diambil dari nama kelompok ini, Hashasin. Sebagai pengingat kehebatan kelompok ini dalam melumpuhkan lawan-lawan mereka.

Sumber : Disini

Pembongkar Konspirasi PKI – RRC

Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI. Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965.

180px-Panjaitan

Pria kelahiran Balige, Tapanuli yang bernama lengkap Donald Isac Panjaitan, ini masuk militer pada jaman pendudukan Jepang. Setelah lebih dulu mengikuti latihan Gyugun, ia selanjutnya ditugaskan di Gyugun Pekanbaru, Riau. Setelah kemerdekaan RI, ia merupakan salah seorang pembentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Di TKR, ia mengawali kariernya sebagai komandan batalyon, selanjutnya ia sering berpidah tugas. Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, ia diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara & Teritorial (T&T) I/Bukit Barisan di Medan. Ia juga pernah bertugas sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman. Terakhir ia bertugas sebagai Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ketika peristiwa sadis itu menimpa dirinya.

Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.

Penganut Kristen ini, terkenal sangat taat beragama. Karenanya, dia juga salah satu perwira di jajaran TNI AD yang tidak menyukai PKI sekaligus yang menolak pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani sesuai rencana PKI. Dan karena itulah dirinya dimusuhi dan dibunuh oleh PKI.

Dengan bertameng alasan dipanggil oleh Panglima Tertinggi Presiden Soekarno, tujuh perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September atau pagi dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hendak diculik oleh sekelompok berpakaian Pengawal Presiden yang kemudian diketahui adalah pasukan PKI. Enam perwira tinggi itu berhasil diculik, namun Jenderal A.H. Nasution berhasil lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban peristiwa itu.

Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan pemanggilan mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada pimpinan tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun terlebih dahulu berpakaian resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon doa kepada Tuhan. Namun belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya dengan peluru.

Ia bersama enam perwira lainnya, lima diantaranya perwira tinggi yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu perwira pertama, ajudan Jenderal Nasution yakni Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean pada malam itu gugur sebagai bunga bangsa demi mempertahankan ideologi Pancasila.

Pencarian yang dilakukan di bawah pimpinan Soeharto (Mantan Presiden RI yang waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad), ditemukanlah jenazah Panjaitan di Lubang Buaya, terkubur massal di dalam satu sumur tua yang tidak dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi, kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Brigadir Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Mayor Jenderal.

Kini di Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, berdiri Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan atas peristiwa itu. Dan pada era pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. (Sumber)